Mongabay.co.id

Ini Tantangan Menyeimbangkan Fungsi Ekonomi dan Ekologi di Laut Nusantara

 

Pembangunan perikanan yang berkelanjutan harus menjadi panduan dasar bagi masa depan sektor kelautan dan perikanan di Indonesia. Program jangka panjang tersebut akan menjalankan dua misi sekaligus, yakni untuk kemakmuran perekonomian dan juga kelestarian ekosistem.

Langkah tersebut diyakini akan bisa mewujudkan tata kelola perikanan berkelanjutan yang selama ini sudah dicanangkan oleh Pemerintah Indonesia. Oleh itu, diperlukan transformasi strategi dan perencanaan yang tepat dan efisien untuk Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI).

Direktur Kelautan dan Perikanan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Sri Yanti mengatakan bahwa perlunya dilakukan transformasi, karena WPPNRI adalah bagian dari subsektor perikanan tangkap yang selama ini sudah memberikan banyak manfaat bagi semua sektor kehidupan di Indonesia.

Selain menyediakan sumber protein hewani, perikanan tangkap juga menjadi indikator pertumbuhan ekonomi nasional, sumber pendapatan masyarakat, dan memberikan peluang lapangan pekerjaan bagi masyarakat yang ada di pesisir.

Empat peran tersebut, menjadikan perikanan tangkap sebagai subsektor yang sangat penting dan harus terus diperhatikan tata kelolanya. Termasuk, dengan mewujudkan tata kelola yang berkelanjutan, agar ekonomi bisa berjalan bersama dengan ekologi.

Terlebih, saat ini Pemerintah fokus untuk mengelola sumber daya kelautan dan perikanan melalui kebijakan berbasis sains dan implementasi berbasis masyarakat. Langkah tersebut akan membutuhkan data dan informasi yang akurat, riset/kajian yang memadai, dan sarana prasarana, serta sumber daya manusia.

Dengan panduan seperti itu, maka WPPNRI harus bisa menjadi basis spasial dalam pembangunan perikanan berkelanjutan. Sementara, melaksanakan transformasi kelembagaan dan fungsi WPPNRI juga akan meningkatkan kualitas WPPNRI yang ada saat ini.

“Itu juga menjadi bagian dari upaya pencapaian agenda pembangunan satu, yaitu memperkuat ketahanan ekonomi untuk pertumbuhan yang berkualitas,” jelas dia dalam webinar nasional tentang tata kelola perikanan berkelanjutan, Senin (24/8/2021).

baca : Perikanan Berkelanjutan untuk Masa Depan Laut Dunia

 

Ilustrasi. Sebuah kapal yang menangkap ikan dengan jaring super trawl (pukat hela). Foto : Greenpeace

 

Jika WPPNRI bisa menjadi basis pengelolaan untuk kelautan dan perikanan, itu tak hanya akan mewujudkan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan semata. Lebih dari itu, juga akan ada manfaat lain yang menjadi bagian dari kerangka pikir optimalisasi WPPNRI.

Meski demikian, untuk bisa mencapai perikanan yang berkelanjutan, ada tahapan dan proses yang harus dilewati terlebih dahulu, dengan melaksanakan tahapan utama, yaitu menjadikan WPPNRI sebagai basis utama pengelolan kelautan dan perikanan.

Rincinya, optimalisasi WPPNRI akan memerlukan pengelolaan perikanan tangkap dan budi daya; pengguatan industri dan daya saing; pengembangan riset dan SDM perikanan; serta peningkatan mutu dan sistem perkarantinaan.

Kemudian, harus ada dukungan dari eksternal, seperti industri galangan kapal; energi, air, dan lahan; SDM; permodalan; dan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Pada saat bersamaan, dukungan juga harus ada dari lingkungan laut dan pesisir yang harus dijaga dengan baik.

Terakhir, WPPNRI bisa menjadi basis pengelolaan, jika ada data dan informasi yang akurat terkait sumber daya kelautan dan perikanan (SDKP); serta pengawasan dan penegakan hukum yang konsisten dalam pemanfaatan SDKP.

Syarat lainnya, juga mencakup dukungan sistem pengawasan terpadu vessel monitoring system (VMS); penguatan sistem peradilan perikanan; mahadata (big data); dan tata ruang di darat dan laut.

Selain dukungan dari banyak pihak, pelaksanaan WPPNRI sebagai basis pengelolaan harus selalu menerapkan prinsip yang ada. Misalnya pendekatan khas untuk mengelola perairan Indonesia dan sesuai dengan karakteristik sistem sosial ekologisnya.

Kemudian, melaksanakan penguatan pengelolaan yang menjadi proses penguatan data, dan kapasitas bagi pemangku kepentingan untuk memperkuat kebijakan berbasis sains. Lalu menerapkan prinsip integrasi dengan mendorong pemanfaatan lintas sektor secara optimal.

Prinsip keempat, yakni kerangka regulasi adalah tentang dasar hukum penetapan kelembagaan yang harus sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku di level nasional, ataupun daerah. Dan terakhir, prinsip keterlibatan multi pihak adalah hadirnya seluruh pemangku kepentingan dalam penentuan kebijakan teknis skala WPPNRI.

baca juga : Bisakah Perikanan Tuna, Cakalang, dan Tongkol Dikelola dengan Berkelanjutan?

 

Proses penangkapan satu dari enam kapal ikan asing berbendera Vietnam yang ditangkap di Laut Natuna Utara pada Minggu (16/5/2021) oleh kapal pengawas KP Hiu Macan 01. Foto : Ditjen PSDKP KKP

 

Meski demikian, Sri Yanti mengungkapkan masih ada tantangan dalam melaksanakan pengelolaan WPPNRI dan kondisi tersebut membuat kerangka pengelolaan WPPNRI masih belum optimal dilaksanakan di lapangan.

Sejumlah tantangan yang dimaksud, di antaranya adalah praktik pengelolaan perikanan yang masih dilakukan secara terpusat, baik dari sisi regulasi, kelembagaan, maupun investasinya. Lalu, kendala implementasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang memberikan kewenangan kepada provinsi untuk mengelola laut.

Tantangan berikutnya, adalah kurangnya data terkait WPPNRI yang bisa menentukan arah kebijakan. Saat ini, WPPNRI hanya dijadikan sebagai basis perhitungan stok, dan belum difungsikan sebagai basis perhitungan upaya penangkapan ikan (fishing effort).

“Pemanfaatan hasil litbang (penelitian dan pengembangan) untuk perikanan (juga masih) kurang optimal,” tegas dia.

Dengan semua persoalan yang masih ada sampai sekarang, Sri Yanti menyimpulkan bahwa kebijakan pengelolaan WPPNRI dan pemanfaatan sumber daya kelautan harus disesuaikan dengan karakteristik wilayah, dan juga senantiasa memperhatikan prinsip perikanan berkelanjutan.

Kemudian, juga harus selalu memperhatikan ketersediaan data untuk mendukung pelaksanaan WPPNRI. Oleh karena itu, data perlu diperbaiki untuk menentukan effort sesuai dengan prinsip keberlanjutan. Serta, melibatkan semua pemangku kepentingan dalam melaksanakan pengelolaan kelautan dan perikanan.

perlu dibaca : Ini Upaya Mewujudkan Perikanan Berkelanjutan. Bagaimana Praktiknya?

 

Seorang pedagang melintas diantara tumpukan ikan bandeng (Chanos chanos) di Pasar Ikan, Lamongan, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Penangkapan Terukur

Pada kesempatan yang sama, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono juga menyebutkan bahwa mengelola sumber daya perikanan di WPPNRI sudah seharusnya dilakukan dengan menerapkan kebijakan penangkapan ikan yang terukur. Kebijakan tersebut akan menjadi model implementasi prinsip ekonomi biru di Indonesia.

Menurut dia, “Prinsip tersebut diyakini akan menjaga posisi Indonesia sebagai pemasok utama ikan di pasar dunia.” Terlebih, dengan adanya penerapan batas ukuran ikan yang diperdagangkan melalui jalur ekspor, maka itu bisa membantu Indonesia untuk tumbuh besar di pasar dunia.

Kebijakan untuk melaksanakan penangkapan ikan secara terukur di 11 WPPNRI, dilakukan karena Pemerintah ingin melaksanakan pengelolaan sumber daya perikanan dengan lebih baik. Hal tersebut dilakukan, karena nilai sumber daya perikanan di Indonesia disadari tidaklah sedikit.

“Itu meliputi terukurnya angka produksi dan batasan penangkapan yang menunjukkan ketahanan ekosistem untuk mendukung ketahanan pangan,” jelas dia.

Terukurnya nilai produksi yang menunjukkan ketahanan ekonomi, serta terukurnya nilai pendapatan dan kesejahteraan nelayan, itu menunjukkan bahwa ketahanan sosial-ekonomi masyarakat juga sudah bisa dibaca dengan baik.

Dengan kata lain, kebijakan penangkapan terukur diharapkan bisa menciptakan distribusi pertumbuhan di wilayah dan mendongkrak pertumbuhan ekonomi secara nasional. Kebijakan tersebut, diyakini akan mendorong pengelolaan sektor kelautan dan perikanan menjadi lebih tertata untuk kesehatan laut.

baca juga : Meski Eksportir Terbesar, Perikanan Gurita Indonesia Belum Berkelanjutan

 

Nelayan saat membongkar ikan tongkol di kapal. Disaat ikan tongkol banyak, harga yang awalnya Rp18 ribu/kg bisa turun hingga Rp13-14 ribu/kg. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Trenggono menjelaskan, dalam menerapkan kebijakan penangkapan ikan terukur, akan dilakukan sejumlah pengaturan. Di antaranya, pengaturan area penangkapan ikan, jumlah ikan yang ditangkap, jumlah kapal yang dapat melakukan penangkapan.

Kemudian ada juga pengaturan pelabuhan tempat pendaratan ikan dan sekaligus pengaturan jenis alat penangkapan ikan (API) yang diperbolehkan. Semua pengaturan itu diawasi dengan teknologi pengawasan yang terintegrasi.

Diketahui, kebijakan penangkapan ikan terukur adalah satu dari tiga program terobosan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) periode 2021-2024. Penangkapan terukur menjadi bagian dari prorgam Peningkatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sumber daya perikanan tangkap untuk peningkatan kesejahteraan nelayan.

Dua program lainnya, adalah pengembangan perikanan budi daya untuk peningkatan ekspor yang didukung riset kelautan dan perikanan, dan pembangunan kampung-kampung perikanan budi daya tawar, payau dan laut berbasis kearifan lokal.

 

Strategi Tepat

pada kesempatan yang sama, Penasihat Senior The Tropical Landscapes Finance Facility (TLFF) untuk Program Perikanan Berkelanjutan M. Zulficar Mochtar menjelaskan, penerapan kebijakan penangkapan ikan secara terukur akan memerlukan strategi yang tepat dan efisien.

Strategi tersebut mencakup optimasi kajian stok sumber daya ikan (SDI) dan data; penguatan strategi pemanenan (harvest strategy); kontrol pengelolaan berbasis data; penguatan regulasi pemanfaatan; dan penguatan perizinan. Selain itu, strategi lain adalah pemetaan status dan tantangan yang saat ini ada.

Untuk melaksanakan strategi pertama, harus ada pemetaan yang komprehensif berkaitan dengan sumber daya perikanan secara spesifik yang mencakup spesies apa saja. Kemudian, harus juga dipetakan spesies apa saja yang masih belum tercatat dalam pendataan yang dilakukan.

Selain itu, paling penting harus dilakukan adalah bagaimana melakukan pemutakhiran data secara reguler melalui kajian stok ikan. Dengan demikian, optimasi bisa dilakukan untuk memetakan stok SDI dan data.

Untuk strategi yang kedua, adalah bagaimana melaksanakan e-logbook untuk memantau secara detail ukuran kapal, ukuran, dan panjang; melaporkan indikator kesehatan stok ikan secara realtime; dan aturan pengendalian panen berbasis indikator.

Menurut Zulficar Mochtar, strategi-strategi tersebut akan bisa memberikan panduan untuk melaksanakan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dengan penerapan kebijakan penangkapan ikan secara terukur.

baca juga : E-logbook, Cara Perbaikan Data Perikanan Tangkap Indonesia

 

Suasana bongkar muat di Pelabuhan Perikanan Tegal, Pantai Utara Jawa. Foto: Wahyu Mulyono

 

Pentingnya mengelola data stok perikanan juga diungkapkan Ketua Komisi Nasional Pengkajian Sumber daya Ikan (Komnas Kajiskan) Indra Jaya yang turut hadir pada kesempatan yang sama. Menurut dia, perikanan yang berkelanjutan akan berkaitan erat dengan penilaian stok ikan dan status SDI, baik ikan demersal atau ikan karang.

Hal tersebut, mengacu pada pilar perikanan berkelanjutan yang mencakup stok ikan (penangkapan ikan dan biomassa); tindakan pengelolaan perikanan yang efektif; dan proses bisnis yang berkelanjutan. Adapun, dalam menentukan stok ikan, terlebih dahulu harus dilakukan kajian stok ikan.

Pengkajian stok ikan, mencakup proses pengumpulan, analisis, dan pelaporan tentang sebaran populasi ikan untuk menentukan pengaruh penangkapan ikan (atau pengaruh lainnya) terhadap populasi ikan, serta penetapan status stok.

Adapun, lokasi pengkajian untuk menentukan status stok ikan secara nasional dilakukan di seluruh WPPNRI yang ada di 11 titik wilayah perairan, terdiri dari WPPNRI 571, 572, 573, 711, 712, 713, 714, 715 716, 717, dan 718.

Menurut Indra Jaya, kunci utama agar pengelolaan perikanan berkelanjutan bisa berjalan sukses, adalah tergantung bagaimana pengelolaan perikanan dilakukan dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).

“Sehingga dapat menghasilkan estimasi SA (stock assesment) yang akurat. Dengan kata lain, perlu penguatan pendataan,” jelas dia.

 

Sekelompok nelayan di pantai Jimbaran, Bali. Foto : shutterstock

 

Adapun, data yang diperlukan di antaranya adalah jumlah ikan yang ditangkap, upaya atau kapasitas penangkapan, kelimpahan spesies ikan atau kondisi stok, biota lain yang tertangkap bersama ikan, dan kecenderungan/tren pada butir-butir di atas.

Dalam penilaian dia, penguatan pendataan perikanan akan menjadi proses yang harus terus dilakukan dengan terus memperluas cakupan wilayah pemantauannya. Cara tersebut diyakini akan bisa menjamin keberlanjutan stok ikan.

Untuk bisa menjamin keberlanjutan tersebut, maka indikator penting yang harus terus ada dalam pengkajian stok ikan, adalah nilai estimasi hasil tangkapan atau catch per unit efffort (CPUE); dan data biologi yang mencakup ukuran, TKG, dan rasio potensi pemijahan (spawning potential ratio/SPR).

CPUE sendiri adalah adalah suatu metode yang digunakan untuk menentukan hasil jumlah produksi perikanan laut yang dirata-ratakan dalam tahunan. Produksi perikanan di suatu daerah mengalami kenaikan atau penurunan produksi dapat diketahui dari hasil CPUE.

Kemudian, TKG yang biasa digunakan untuk menghitung data biologi ikan, adalah indikator yang menunjukkan tingkat kematangan seksual ikan. Sementara, SPR merupakan indeks reproduksi relatif yang digunakan untuk mengetahui kondisi stok pada perikanan yang telah dieksploitasi.

Indra Jaya menegaskan bahwa akurasi estimasi data menjadi sangat penting dalam memberikan gambaran yang lengkap tentang status stok dan apa yang dialami oleh stok akibat tekanan penangkapan.

“Sehingga dapat digunakan untuk menilai tingkat keberlanjutan stok dan keberlanjutan perikanan,” pungkas dia.

 

Exit mobile version