- Mengelola potensi perikanan tuna menjadi tantangan yang harus dilaksanakan dengan baik oleh Indonesia dalam kurun waktu enam tahun terakhir ini. Selama waktu tersebut, Indonesia dituntut harus terus meningkatkan jumlah produksi dengan cepat
- Di saat yang sama, Indonesia juga terus mengalami penurunan jumlah armada perikanan tuna. Hal tersebut ditegaskan oleh organisasi pengelolaan perikanan regional (RFMO) bahwa sejak 2015 dan hingga kini jumlah armada belum pulih kembali
- Untuk menjawab tantangan yang ada, Pemerintah Indonesia kemudian menyusun rencana pengelolaan perikanan tuna, cakalang, dan tongkol (RPP TCT). Sejak 2019, penyusunan dokumen dilakukan dan terus berlangsung hingga sekarang
- Di sisi lain, meski Indonesia menjadi negara produsen tuna terbesar di dunia, namun faktanya Indonesia tak berjaya pada kinerja ekspor yang hanya mampu menduduki urutan enam dunia berdasarkan nilai produksi, dan tujuh dunia berdasarkan volume produksi
Penyusunan dokumen Rencana Pengelolaan Perikanan Tuna, Cakalang, dan Tongkol (RPP TCT) terus dikebut Pemerintah Indonesia. Dokumen tersebut akan menjadi arah dan pedoman dalam pelaksananaan pengelolaan sumber daya ikan (SDI) dalam bidang penangkapan TCT.
Dokumen yang sudah disusun dari 2019 tersebut, akan memuat status perikanan dan rencana strategis pengelolaan perikanan dalam bidang penangkapan TCT. Penyusunan dokumen dilakukan berdasarkan potensi, distribusi, komposisi jenis, tingkat pemanfaatan TCT, lingkungan, dan sosial-ekonomi.
“Juga, isu pengelolaan, tujuan pengelolaan perikanan, dan rencana langkah-langkah pengelolaan.” Demikian penjelasan Direktur Pengelolaan Sumber daya Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan Trian Yunanda dalam kegiatan webinar yang dilaksanakan Mongabay, pekan lalu.
Menurut dia, penyusunan dokumen RPP TCT juga dilakukan dengan membuat kesepakatan antara Pemerintah dan pemangku kepentingan. Sebelum mencapai kesepakatan, proses panjang lebih dulu harus dilalui untuk mendapatkan kesepahaman dalam RPP TCT.
Proses penyusunan dokumen sendiri secara bertahap terus berjalan dengan memulainya dari tahapan membentuk tim penyusun, menyusun dokumen awal, konsultasi publik, perumusan dokumen final, penetapan dokumen final, implementasi, dan monitoring serta evaluasi.
baca : Pengelolaan Stok Tuna Berkelanjutan Berbuah Sertifikat MSC

Dengan mengikuti tahapan yang benar, tujuan pembuatan dokumen RPP TCT diharapkan bisa tercapai pada masa mendatang, di antaranya adalah aspek sumber daya, tata kelola, dan persyaratan dasar. Ketiganya menjadi bagian dari pengelolaan perikanan TCT.
Adapun, yang dimaksud dengan aspek sumber daya, adalah mewujudkan pengelolaan TCT dan ekosistemnya berjalan secara berkelanjutan. Kemudian, tata kelola adalah mendorong peningkatan kepatuhan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan penangkapan TCT, hasil tangkapan sampingan (bycatch), dan hasil tangkapan yang terkait secara ekologi (Ecologically Related Species/ERS).
“Sementara, aspek terakhir adalah tentang terpenuhinya persyaratan pasar untuk TCT,” tambah dia.
Untuk bisa mencapai ketiga tujuan tersebut, diperlukan data yang akurat tentang jumlah produksi TCT setiap tahunnya. Contohnya, produksi TCT Indonesia yang berjalan pada 2018 dengan jumlah mencapai 1.538.845 ton, dan secara global di tahun yang sama produksinya mencapai 7,9 juta ton.
Dengan penyusunan RPP TCT, diharapkan juga ada perbaikan penggunaan alat penangkapan ikan (API) tidak ramah lingkungan. Salah satunya, penangkapan tuna mata besar dan/atau madidihang berukuran kecil (juvenile) bisa berkurang dengan menggunakan purse seine yang menggunakan rumpon.
Di saat yang sama, harmonisasi ketentuan pelarangan spesies hiu tertentu dalam lima tahun terakhir juga diharapkan bisa terlaksana. Sasaran tersebut ditujukan untuk wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI) 571, 572, 573, 713, 714, 715, 716, dan 717.
Kemudian, untuk tuna sirip biru, sasarannya adalah pemantauan hasil tangkapan bisa terlaksana berdasarkan ketentuan Komisi Konservasi Tuna Sirip Biru Selatan (CCSBT). Pemantauan dilakukan di seluruh lokasi potensial pendaratan tangkapan jenis ikan tersebut dalam lima tahun terakhir, yaitu di WPP-NRI 571, 572, dan 573.
Secara umum, RPP TCT akan memuat 170 Rencana Aksi TC di Samudera Hindia, 155 rencana Aksi TC di Perairan Kepulauan, 173 Rencana Aksi TC di Samudera Pasifik, dan 52 Rencana Aksi Tongkol di WPPNRI. Seluruh rencana aksi tersebut diharapkan bisa mewujudkan tata kelola TCT yang berkelanjutan.
baca juga : Momen Krusial Penentuan Kuota Tangkapan Tuna Indonesia

Belum Maksimal
Di sisi lain, walau proses penyusunan RPP TCT masih terus berlangsung hingga sekarang, namun tahapan sosialisasi dinilai masih belum maksimal. Hal tersebut diungkapkan oleh praktisi perikanan tuna Hendra Sugandhi.
Menurut penilaian dia, walau RPP TCT sudah disosialisasikan kepada publik, termasuk para pelaku usaha, namun itu belum menggambarkan bahwa semua usulan sudah terakomodasi. Salah satu indikatornya, karena waktu pembahasan dilakukan tanpa banyak diskusi dan itu membuat pembahasan tidak detail, bahkan terkadang masih ada pasal yang terlewatkan.
“Sering kali pasal yang bermasalah baru disadari pelaku usaha saat mengalami hambatan dan pasal peraturan tersebut saat implementasi. Mekanismenya, revisi perbaikan sering kali harus menunggu lama, yang menimbulkan dampak negatif bagi pelaku usaha,” jelas dia.
Selain tahapan sosialiasi, data potensi ikan juga masih bermasalah. Pada Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 50 Tahun 2017 disebutkan bahwa angka potensi ikan pelagis mengalami kenaikan dengan jumlah besar dari 2.087.900 ton menjadi menjadi 3.233.300 ton atau naik hingga 182,3 persen. Data tersebut, di luar data potensi ikan untuk tuna dan cakalang.
Namun anehnya, dengan jumlah yang meningkat fantastis tersebut, status tingkat pemanfaatan ikan pelagis besar ternyata memburuk di semua WPP-NRI, dengan status fully-exploited dan over-exploited. Untuk menjelaskan lebih detail, Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas KAJISKAN) sedang mengaji ulang angka potensi stok ikan nasional.
Kegiatan tersebut diharapkan ke depannya bisa menghasilkan kajian lebih akurat dan bisa dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, data potensi ikan bisa menjadi pedoman dalam mengelola pemanfaatan sumber daya ikan nasional.
baca juga : Harga Tuna Anjlok Terdampak COVID-19, Nelayan Maluku Minta Pemerintah Atur Pasar Penjualan

Selain persoalan di atas, Hendra Sugandhi juga menyoroti armada kapal untuk perikanan tuna dan cakalang. Hingga sekarang, belum ada pemetaan, strategi, ataupun target KKP dalam bentuk kuantitatif yang realistis, seperti berapa kapasitas produksi kapal ikan tuna yang akan beroperasi di WPP-NRI, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), maupun laut lepas.
Bahkan, sejak 2015 organisasi pengelolaan perikanan regional (RFMO) sudah mencatat jumlah armada tuna Indonesia mengalami penurunan tajam dan masih belum pulih seperti sediakala hingga sekarang. Tak hanya itu, ada 151 kapal yang tidak aktif hingga hari ini, dan itu menggambarkan bahwa ada selisih yang besar antara kapal yang terdaftar resmi dan kapal yang masih aktif.
Khusus untuk armada tuna milik Indonesia yang terdaftar di RFMO pada 2021 dan berukuran di atas 30 GT, di antaranya sebanyak 524 unit dengan tonase mencapai 56,959 GT tercatat ada di Komisi Tuna Samudera Hindia (IOTC), dan 176 unit dengan tonase 15.002 GT di CCSBT.
Selain itu, sebanyak 22 unit bertonase 2.138 GT tercatat di Komisi Perikanan Pasifik Tengah dan Barat (WCPFC), namun tidak ada kapal Indonesia yang tercatat pada Komisi Tuna Tropis Antar-Amerika (IATC). Dengan demikian, total hanya ada sebanyak 373 kapal tuna yang masih aktif melakukan penangkapan sampai sekarang.
Adapun, jumlah kapal dengan API TCT yang masih aktif di Indonesia adalah sebanyak 18.113 unit. Dengan rincian, 2.823 unit adalah kapal dengan izin dari Pemerintah Pusat, 5.496 unit dari izin Pemerintah Provinsi, dan sebanyak 9.794 unit adalah kapal yang mendapatkan izin dari Bukti Pencatatan Kapal Perikanan (BPKP).
Dengan jumlah armada aktif tersebut, kapasitas penangkapan TCT per 9 Juli 2021 berdasarkan izin dari Pemerintah Pusat, Provinsi, dan BPKP adalah sebanyak 247.722 gros ton (GT).
Selain jumlah armada yang belum mengalami pemulihan, hasil tangkapan tuna yang dilakukan Indonesia juga berjalan fluktuatif selama sepuluh tahun terakhir. Tercatat, pada 2013 tangkapan menjadi yang tertinggi selama periode waktu tersebut dengan jumlah 846.680 ton, dan 776.792 ton pada 2019.
Dengan fakta jumlah dan kapasitas penangkapan GT yang masih minim di laut lepas dibandingkan dengan negara lain, Indonesia dinilai hebat karena berhasil menduduki peringkat pertama untuk jumlah hasil tangkapan di dua RFMO, kecuali CCSBT yang menempati urutan lima dunia.
perlu dibaca : Potensi Besar Ekspor Tuna dari Sumatera Barat

Namun, di saat yang sama, kinerja ekspor tuna Indonesia justru sebaliknya. Dari data yang ada, Indonesia hanya berhasil menempati urutan enam dunia berdasarkan nilai produksi, dan urutan tujuh dunia berdasarkan volume produksi.
Kemudian, persoalan lain adalah Indonesia menjadi negara eksportir yang pernah mendapatkan penolakan produk tuna sebanyak 407 ton senilai USD1,841,000 atau setara Rp26,6 miliar. Penolakan ini mengindikasikan ada permasalahan penanganan mutu ikan tuna dari hulu ke hilir yang harus diperbaiki.
“Juga, volume bersih ekspor tuna cenderung merosot selama enam tahun terakhir. Strategi optimasi perikanan tuna harus terintegrasi dari hulu ke hilir dan sangat penting dirumuskan, namun jauh lebih penting adalah implementasinya agar optimal dan berkelanjutan,” tegas dia.
Tentang kegiatan ekspor tuna yang selama ini menjadi komoditas paling diminati dibandingkan tongkol dan cakalang, Indonesia juga dinilai harus terus meningkatkan pengelolaan dengan terus mendorong adopsi perikanan berkelanjutan.
Praktik Negatif
Sementara, dalam pandangan Pengamat Perikanan M Zulficar Mochtar, untuk mewujudkan pengelolaan perikanan tuna yang ideal dan berkelanjutan, diperlukan upaya ekstra keras dengan menggabungkan kekuatan regulasi dan praktik di lapangan.
Perlunya ada kombinasi yang kuat, karena sampai sekarang praktik perikanan tuna masih dihantui praktik penangkapan ikan secara ilegal, tak dilaporkan, dan tidak sesuai regulasi (IUUF). Kemudian, masih adanya praktik pengelabuan ukuran kapal perikanan tuna.
“Praktik mark down masih marak untuk kapal-kapal armada tuna,” ungkap pria yang pernah menjabat Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP itu.
Tak hanya itu, tantangan juga belum hilang karena masih ada armada perikanan tuna menjalankan praktik dengan izin ilegal, kapal mangkrak, dan juga melakukan praktik perbudakan. Praktik tersebut merusak tata kelola perikanan tuna yang sedang diarahkan menuju keberlanjutan.
Pengelolaan yang berkelanjutan juga akan sangat bergantung kepada regulasi pengelolaan perikanan di lingkup nasional, regional, dan internasional. Karenanya, kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku di masing-masing area, juga menjadi kunci untuk pengelolaan yang baik.
“Jadi sorotan juga, adalah Indonesia memiliki sistem rantai dingin yang lemah. Produksi ikan ada di Timur, namun fasilitas rantai dingin ada di Barat. Jadi berpengaruh kepada kualitas ikan yang diproduksi,” tutur dia.

Di sisi lain, program subsidi perikanan yang dijalankan oleh Pemerintah Indonesia juga dinilai harus dipertimbangkan lagi. Mengingat, program tersebut bisa mengancam pengelolaan perikanan yang berkelanjutan.
Apalagi, saat ini Indonesia masuk dalam daftar sepuluh negara di dunia yang memberikan subsidi perikanan. Persoalan tersebut menjadi satu dari sekian banyak persoalan yang masih ada dalam pengelolan perikanan, termasuk dalam perikanan tuna.
Menurut Zulficar Mochtar, Indonesia harus mencari formula yang tepat untuk bisa mewujudkan pengelolaan perikanan tuna yang berkelanjutan. Mengingat, Indonesia harus bisa bertransformasi bukan sekedar sebagai produsen besar di dunia, namun juga pemilik merek tuna terbaik.
Bagi Asosiasi Perikanan Pole & Line dan Handline Indonesia (AP2HI), salah satu cara agar pengelolaan perikanan tuna bisa terus ditingkatkan dan berkelanjutan, adalah melalui sertifikat marine stewardship council (MSC) yang selama ini menjadi tolok ukur bagi produk yang akan diekspor.
Dengan mendapatkan sertifikat eco label, diharapkan kesadaran tentang pengelolaan perikanan tuna yang berkelanjutan bisa terus meningkat. Dengan demikian, tujuan untuk mengenalkan produk tuna dari Indonesia dengan menggunakan API ramah lingkungan bisa tercapai.
Menurut Ketua AP2HI Janti Djuari, sertifikat eco label seperti MSC bisa menjadi alat untuk mencapai pengelolaan perikanan TCT yang berkelanjutan. Karenanya, sertifikat eco label juga bisa menjadi salah satu pertimbangan untuk dilakukan, agar pengelolaan perikanan tangkap nasional bisa semakin baik.
Namun demikian, Janti Djuari menyebutkan kalau setifikat eco label akan menjadi mubazir jika pengelolaan perikanan di sektor wilayah masih belum terkendali. Contohnya, adalah jumlah rumpon dan API di area yang sama, dan memicu kepunahan API yang sudah bersertifikat.
Dari data yang dimiliki AP2HI, rumpon tersebar di hampir semua WPP-NRI dan paling banyak tersebar di WPP-NRI 713 (perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali), 714 (perairan Teluk Tolo dan Laut Banda), 715 (perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau), 716 (perairan Laut Sulawesi dan sebelah Utara Pulau Halmahera), dan 573 (perairan Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa hingga sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian Barat).