Mongabay.co.id

Menanti Perbaikan Aturan PLTS Atap

Gerakan satu juta panel surya atap. Gerakan ini sebenarnya mendapatkan respon positif dari masyarakat, sayangnya, belum ada regulasi mendukung dari pemerintah. Bahkan, ada aturan yang malah menyulitkan. Foto : buletin Kementerian ESDM

 

 

 

 

Yohanes Bambang Sumaryo, memutuskan berhenti jadi pelanggan PLN setelah enam tahun pakai pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap. Karena ada aturan yang membatasi Bambang ‘panen’ listrik sebanyak mungkin dari energi surya.

“Saya sepenuhnya off grid (tak terhubung dengan jaringan listrik PLN) sekarang, karena regulasi,” kata Ketua Bidang Advokasi dan Edukasi Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) ini dalam diskusi, baru-baru ini.

Regulasi yang Bambang maksud adalah Peraturan Menteri ESDM No 49/2018 tentang PLTS atap yang memandatkan PLN hanya membeli 65% dari listrik yang dihasilkan. Bagi Bambang ini membatasi ‘panen’ listrik dari matahari.

Dengan jadi off grid, keluar dari jaringan PLN, Bambang bisa memanen sebanyak mungkin energi matahari dan pakai untuk keperluan sehari-hari di rumah.

Konsekuensinya, dia harus memasang daya hampir dua kali lipat daya sebelumnya, dan mengintegrasikan dengan baterai yang terisi pada siang hari untuk malam hari. Dengan begitu, dia dapat memanen energi surya semaksimal mungkin dan hemat biaya tagihan listrik bulanan.

Pelanggan seperti Bambang, saat ini belum diatur dalam Permen ESDM 49/2018 ini.

Selain keluhan yang dialami Bambang, sejumlah kendala masih dijumpai di lapangan.

Proses penggantian kWh meter menjadi kendala paling umum dialami pengguna PLTS atap sektor residensial. Survei singkat Institute for Essential Services Reform (IESR) pada perusahaan engineering, procurement and construction (EPC) PLTS atap menunjukkan, lebih 60% harus menunggu minimal satu bulan dan tak sedikit yang di atas tiga bulan.

“Dari beberapa informasi konsumen, mereka harus menunggu 3-4 bulan,” kata Mada Ayi dari Masyarakat Konservasi dan Efisiensi Energi Indonesia (MASKEEI).

Padahal dalam permen, maksimal 15 hari kerja setelah sertifikat laik operasi (SLO) diterima, PLN harus menyediakan perangkat ini.

Pelanggan komersial dan industri juga mengalami kesulitan terkait permintaan naik ke tingkat pelanggan premium tanpa dasar jelas dan pemberlakuan SLO untuk instalasi di bawah 500 kWp.

“Di beberapa lokasi, PLN malah minta upgrade listrik ke lebih mahal untuk dapat net metering itu. Jadi harus bayar lebih mahal,” kata pendiri start up penyedia energi terbarukan Xurya, Eka Himawan.

Menurut dia, selain beban hanya 65% listrik akan dibeli, permintaan upgrade dari PLN praktis menggugurkan keekonomian PLTS.

“Ini energi kerakyatan. Dibangun oleh rakyat untuk rakyat. Kenapa harus dipersulit?” kata Eka.

Keekonomian masih menjadi salah satu faktor penting bagi masyarakat dan berbagai pihak, disamping motivasi lain seperti pelestarian lingkungan dan persepsi bahwa PLTS merupakan teknologi keren dan hi-tech.

Perbaikan regulasi yang meningkatkan keekonomian, terbukti menjadi pendorong utama naik pesatnya instalasi PLTS atap di sektor industri. Di Permen 49/2018 menurunkan biaya paralel kapasitas dari 40 jam per bulan jadi lima jam perbulan.

 

Baca juga: Bagaimana Perkembangan Pemanfataan Energi Surya Atap?

 

Target penurunan emisi

Dengan tenggat waktu yang tinggal empat tahun mencapai target energi terbarukan dan pengurangan emisi sesuai komitmen dalam nationally determined contributions (NDC), partisipasi berbagai pihak, terutama masyarakat, sangat penting dan tak terelakkan.

Fabby Tumiwa, Ketua Umum AESI mengatakan, PLTS atap salah satu kontribusi nyata masyarakat untuk capai target itu, yang dapat dilakukan cepat di seluruh Indonesia, tanpa gunakan anggaran pemerintah.

Instalasi kumulatif 1 GWp PLTS atap dapat menyerap 20.000-30.000 tenaga kerja per tahun dan mampu menciptakan permintaan untuk pengembangan industri surya dalam negeri. Juga, menurunkan emisi gas rumah kaca 1,05 juta ton per tahun.

PLTS atap juga dapat menjadi solusi strategis pemerintah untuk penyediaan akases energi yang berkualitas, berkelanjutan dan tak membebani anggaran negara.

Pemerintah, katanya, dapat mengganti subsidi listrik untuk rumah tangga atau kelompok penerima subsidi lain dengan PLTS atap hingga mereka dapat pakai listrik cukup untuk kegiatan produktif bahkan tak perlu membayar listrik.

“PLN akan diuntungkan dengan kelebihan listrik yang dapat diekspor, dalam jangka panjang subsidi listrik akan hilang seluruhnya,” kata Fabby.

Pemasangan 1 GWp PLTS atap untuk penggantian subsidi listrik juga akan menurunkan subsidi listrik hingga Rp1.3 triliun per tahun.

KESDM hingga kini masih merevisi Permen 49/2018. Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi KESDM, dalam berbagai kesempatan mengatakan, draf terbaru revisi Permen 49/2018 akan mengembalikan tarif ekspor impor listrik net-metering menjadi satu banding satu sesuai peraturan direktur PLN sebelum permen keluar.

Kalau begitu, berarti PLN akan membeli semua listrik produksi PLTS atap, tidak hanya 65% seperti yang dialami Bambang.

Selain itu, dalam draf revisi, periode reset kelebihan transfer listrik diperpanjang dari tiga, menjadi enam bulan. Ada pula penyederhanaan proses pendaftaran dan penggantian kWh meter. Dua hal ini jadi keluhan bagi calon pemasang PLTS atap.

Bagi AESI, perbaikan ini penting dan mendesak guna memaksimalkan pemanfaatan energi surya yang punya potensi mencapai 19,8 TWp. Hal ini juga mendukung pencapaian target 23% bauran energi terbarukan pada 2025 sesuai target Perpres No 22/2017.

“PLTS atap dapat mendukung pencapaian target energi terbarukan yang dicanangkan presiden melalui gotong royong masyarakat.”

 

Baca juga: Kala PLTU Batubara Picu Perubahan Iklim dan Ancaman Kesehatan Masyarakat

 

Fabby bilang, potensi teknis dan minat tinggi masyarakat dan pelaku usaha ikut mendukung program pemerintah melalui pemasangan PLTS atap harus direspon dengan regulasi yang kondusif.

Bagi konsumen rumah tangga, katanya, ketentuan ekspor impor satu banding satu dari dan ke jaringan PLN akan mempercepat waktu pengembalian investasi pelanggan. Proses perizinan yang jelas dan tak berbelit juga kepastian mendapatkan exim meter yang diterapkan seragam di seluruh Indonesia hingga calon pengguna dapat kepastian.

Perubahan ada dalam draf, katanya, sudah mengakomodasi masukan berbagai pihak untuk meningkatkan daya tarik dan keekonomian PLTS atap hingga bisa diadopsi lebih luas oleh masyarakat. Terkait waktu reset kelebihan transfer listrik, AESI usul agar waktu enam bulan diperpanjang setidaknya satu tahun.

Asosiasi, katanya, juga mengapresiasi langkah pemerintah mendorong peran aktif masyarakat gunakan energi terbarukan dengan perbaikan permen itu.

Dia bilang, survei pasar IESR di Jabodetabek, Surabaya, Bali dan Jawa Tengah, menemukan aspirasi calon pengguna PLTS atap untuk tingkat keekonomian, kini lebih baik. Mayoritas responden menginginkan periode balik modal investasi di bawah tujuh tahun.

“Dominan 3-5 tahun,” kata Fabby.

Hal ini, tak dapat dipenuhi regulasi saat ini. Dengan jadikan tarif ekspor listrik setara tarif impor, periode balik modal dapat diperpendek satu atau dua tahun.

“Bila pemerintah serius ingin menunjukkan dukungan pada pemanfaatan energi surya, peraturan harus merefleksikan tingkat keekonomian yang menarik, juga kejelasan produk.”

Rasionalitas keekonomian dengan tarif net-metering satu banding satu ini seringkali jadi kekhawatiran PLN. Bila banyak masyarakat pakai PLTS atap, kurangi pemasukan PLN. Kondisi kelebihan pasokan di beberapa wilayah, ditambah penurunan permintaan listrik dan pertumbuhan sales listrik tak tercapai juga banyak terungkap sebagai alasan.

Dari simulasi IESR menunjukkan, kalau ada total instalasi 1 GWp PLTS atap, pemasukan PLN hanya akan berkurang 0,25% dengan tarif net metering satu banding satu dan 0,58% dengan tarif satu banding 0,65%.

“Pemerintah harus mengubah model bisnis dengan kemajuan teknologi yang sudah ada seperti blockchain yang memungkinkan masyarakat menjual listrik peer to peer (p2). PLN harus membuat sistemnya menjadi lebih menarik.”

 

Baca juga: Industri Listrik Surya Bisa jadi Solusi Pemulihan Pasca Pandemi

Surya atap di Jakarta. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

*****

Foto utama:  Surya atap, energi rakyat, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sayangnya, sekarang aturan masih tak bersahabat hingga pemerintah perlu segera lakukan perbaikan regulasi. Foto: dari buletin Ditjen EBTKE Kementerian ESDM

Exit mobile version