Mongabay.co.id

Selain Ikan, Inilah “Kekayaan” Luar Biasa Perairan Pulau Nangka

 

Baca sebelumnya: Laut adalah Sumber Kehidupan Masyarakat Pulau Nangka

**

 

Selama belasan abad, Selat Bangka merupakan perairan yang sibuk. Berbagai kapal Sriwijaya, Tiongkok, India, Timur Tengah, dan Eropa melintasi selat ini. Tidak heran, banyak bangkai kapal yang tenggelam di selat antara Pulau Bangka dan Pulau Sumatera, akibat dihantam badai, menabrak karang, dijarah perompak [lanun], perang, atau terbakar.

Aryandini Novita, arkeologi bawah laut dari Balai Arkeologi [Balar] Sumatera Selatan, kepada Mongabay Indonesia menjelaskan tentang kapal karam yang mungkin paling banyak berada di wilayah perairan Sumatera. Mulai dari Selat Malaka, Selat Gelasa, Selat Karimata, dan Selat Bangka.

Di Selat Bangka, salah satu wilayah yang diduga banyak kapal karam adalah perairan Pulau Nangka di Desa Tanjung Pura, Kecamatan Sungaiselan, Kabupaten Bangka Tengah, Kepulauan Bangka Belitung. Namun, di perairan yang kaya jenis ikannya, hingga saat ini baru dua kapal karam tua yang diketahui.

“Eksplorasi Perairan Pulau Nangka [324 hektar], termasuk pulau sekitarnya yang tidak berpenghuni yakni Pulau Tikus [200 meter persegi], Pulau Begadung [50 hektar] dan Pulau Pelepas [45 hektar] memang sulit dilakukan, sebab merupakan perairan keruh hampir sepanjang tahun. Ada dua sungai besar mengalir ke arah perairan ini, Sungai Selan di Pulau Bangka dan Sungai Air Sugihan di Pulau Sumatera,” kata Umam Komarullah, peneliti terumbu karang dari Serumpun Karang Konservasi, kepada Mongabay Indonesia, Rabu [11/8/2021].

Dia mengatakan, hanya Oktober-November perairan jernih, tapi arusnya sangat kencang dengan kedalaman 18-20 meter. Tentunya penyelam memiliki banyak kesulitan. “Adanya kapal karam, selama ini berdasarkan keterangan warga atau nelayan di Pulau Nangka dan sekitarnya,” ujarnya.

 

Perahu nelayan bersandar di sekitar Pulau Begadung yang berdekatan dengan Pulau Nangka. Pulau Begadung merupakan pulau yang banyak dikunjungi wisatawan lokal. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Beberapa tahun lalu, Aryandini Novita, bersama sejumlah rekannya melakukan penelitian kapal karam di sekitar Pulau Pelepas. “Kami menemukan bangkai kapal besi, kami perkirakan awal abad ke-20. Kami tidak lagi menemukan nama kapalnya. Tidak ditemukan benda-benda berharga [bersejarah] dari kapal tersebut.”

Dia menuturkan, saat itu tim mengalami kesulitan karena faktor cuaca. “Angin kencang dan arus kuat sehingga jarak pandang pendek. Saat itu Oktober,” katanya kepada Mongabay Indonesia, Kamis [12/8/2021].

Marsidi [66], tokoh masyarakat Pulau Nangka, kepada Mongabay Indonesia, Sabtu [07/8/2021], menjelaskan dirinya hanya tahu dua lokasi kapal tua yang karam, yakni satu kapal kayu serpihan atau tidak berbentuk lagi, dan satunya kapal besi. Keduanya berada di perairan antara Pulau Begadung dan Pulau Pelepas.

“Saya menyebutkan dua lokasi itu karena pernah melihatnya, di sana banyak didapatkan ikan,” katanya.

Dijelaskan Marsidi, tahun 1980-an hingga 1990-an, banyak pemburu harta karun melakukan penyelaman di perairan Pulau Nangka, Pulau Begadung dan Pulau Pelepas. Mereka mencari harta karun dari kapal-kapal yang karam. Berbagai informasi didapatkan masyarakat Pulau Nangka, ada yang mengatakan para pemburu harta karun itu mendapatkan hasil, tapi ada juga informasi sebaliknya.

 

Perkiraan lokasi bangkai kapal besi yang tenggelam, di tengah Pulau Begadung dan Pulau Pelepas. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

“Tapi kami di sini saat itu tidak peduli dengan kapal karam. Bahkan kami menilai mereka [pemburu harta karun] itu orang aneh. Bagi kami mencari ikan di laut, jauh lebih jelas hasilnya dibandingkan mencari harta karun dari kapal karam,” jelasnya.

Marsidi percaya jika banyak kapal karam di perairan sekitar Pulau Nangka, Pulau Begadung dan Pulau Pelepas. “Sangat mungkin banyak kapal karam, sebab di sini banyak karang, dan pada musim tertentu arusnya cukup deras, apalagi posisi perairan di sini merupakan tutup botol dan tikungan Selat Bangka,” katanya. “Beberapa tahun lalu, ada kapal karam yang baru di sekitar [tenggara] Pulau Pelepas,” lanjutnya.

“Setahu saya, kapal karam itu, hanya kapal besi di sekitar pulau ini,” kata Sani, penjaga mercusuar di Pulau Pelepas. “Dulu, saya pernah dengar ada orang menyelam di perairan di sekitar pulau ini untuk mencari harta karun di dalam kapal karam. Tapi saya tidak tahu apakah berhasil atau tidak,” lanjutnya.

Mercusuar di Pulau Pelepas dibangun kolonial Belanda pada 1893, tiga tahun Ratu Wilhelmina menggantikan ayahnya, Raja Willem, yang wafat. Karena Ratu Wilhelmina masih berusia muda [18 tahun], dia pun didampingi ibunya Ratu Emma. Maka, pada plat baja yang tertempel di pintu masuk Mercusuar Pulau Pelepas yang tidak bisa dinaiki lagi itu, tertulis nama Ratu Wilhelmina dan Ratu Emma.

Selain kapal laut, terdapat bangkai pesawat terbang tempur milik Jepang, di barat Pulau Begadung. “Saya pernah melihatnya, tapi sudah tidak lagi utuh. Tinggal sayap dan beberapa bagian badan pesawat. Katanya itu pesawat terbang milik Jepang yang jatuh karena ditembak sekutu dari Pulau Nangka,” kata Ansor Sumin [43], warga Pulau Nangka.

 

Pulau Tikus, diapit Pulau Nangka dan Pulau Begadung. Antara Pulau Tikus dan Pulau Begadung terdapat terumbu karang yang disebut warga lokal sebagai Karang Aji Ali dan Husin. Foto: Nopri Ismi Mongabay/ Indonesia

 

Terumbu karang dan penyu

Selama dua hari, Minggu-Senin [08-09/8/2021] Mongabay Indonesia, mendatangi lokasi kapal karam dan terumbu karang di perairan sekitar Pulau Nangka, Pulau Begadung, dan Pulau Pelepas. Perairan yang keruh membuat semua yang ada di dalam laut tidak terlihat.

Berdasarkan pengetahuan masyarakat Pulau Nangka, disebutkan beberapa lokasi terumbu karang di perairan sekitar Pulau Begadung dan Pulau Pelepas, yakni Karang Kasar, Saleh, Cit Bok Ali, Haji Ali, Husin, Pasir Padi, Perigi Kapal, Basim, Batu Putih, dan Dalem.

“Sebagian karang itu dinamakan orang yang kali pertama menemukannya. Karang-karang itu sangat akrab dengan kami, sebab di sanalah kami mencari ikan,” kata Ansor Sumin.

Dijelaskan Umam Komarullah, terumbu karang di Perairan Pulau Nangka umumnya karang tepi atau fringing reef. Karang tumbuh di sekitar pulau dengan rataan terumbu yang cukup luas. Tingginya pengaruh buangan sedimentasi dari sungai-sungai besar dari Pulau Sumatera dan Pulau Bangka menyebabkan tingkat kekeruhan di perairan ini. 

Dampaknya turunnya salinitas, rendahnya penetrasi cahaya yang masuk ke dalam kolam perairan sehingga terumbu karang harus beradaptasi dengan lingkungan tersebut. “Terumbu karang sekitar Pulau Pelepas, Pulau Begadung, dan Pulau Tikus kondisinya sedang-baik,” katanya.

 

Seorang nelayan tengah menjaring ikan di Karang Perigi Kapal, di selatan Pulau Nangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Di selatan Pulau Pelepas, luas terumbu karang tepinya kisaran 100-200 meter dari pantai. Terdapat 15 bentuk pertumbuhan atau lifeform dan 16 genus karang keras. Substrat dasar perairan didominansi karang hidup Large Polyp Stone [LPS] dari kelompok lifeform Coral Massive [CM], Coral Encrusting [CE], dan Dead Coral Algae [DCA], serta dasar berpasir dan terdapat Rubble [R]. Kedalaman maksimalnya sekitar sembilan meter. 

“Karang hidup umumnya berupa Porites, Goniopora, Platygyra, Favia, Favites, Galaxea, dan lainnya, serta biota asosiasi terumbu seperti Sponge dan Diadema. Berdasarkan tutupan karang kondisinya baik,” kata Umam.

Di sisi timur Pulau Pelepas, kondisi terumbu karangnya sedang, luasnya sekitar 100-200 meter dari pantai. Ditemukan 10 bentuk pertumbuhan dan delapan genus karang keras. Kelompok karang hidup dan biota asosiasi terumbu sama seperti di sisi selatan Pulau Pelepas.

Terakhir, terumbu karang di sisi selatan Pulau Begadung dan sebelah utara Pulau Tikus. Terumbu karang di sini juga terumbu karang tepi. Luasnya sekitar 100-200 meter dari pantai. Ditemukan delapan bentuk pertumbuhan dan 7 genus karang keras. 

“Kelompok karang hidupnya sama seperti di sekitar Pulau Pelepas, termasuk biota asosiasi terumbu. Berdasarkan tutupan karangnya, kondisinya baik,” kata Umam.

 

Penyu sisik yang menjadikan Pulau Begadung sebagai lokasi bertelur. Foto: Nopri Ismi/ Mongabay Indonesia

 

Sukarni [42], Kepala Dusun Pulau Nangka mengatakan, Pulau Begadung masih tempat penyu sisik dan belimbing bertelur. Jaring kami sering tersangkut penyu, tapi kami lepaskan lagi. “Masyarakat di sini juga tidak begitu suka makan telur penyu, sehingga kami tidak memburunya. Entah kalau mereka [nelayan] yang berlabuh di sekitar Pulau Begadung.”

Beberapa tahun lalu, pernah datang kelompok nelayan dari Pulau Bali yang memburu penyu di sini. “Kami tidak mencegah tapi tidak mau membantu mereka. Akhirnya beberapa hari kemudian mereka pergi,” kata Sukarni.

Wahyu Adi, peneliti dan dosen Manajemen Sumber Daya Perairan Universitas Bangka Belitung, beberapa waktu lalu kepada Mongabay Indonesia  mengatakan bahwa Pulau Begadung merupakan satu dari 14 titik sebaran sarang penyu alami di Kepulauan Bangka Belitung. Pulau lainnya antara lain Pulau Semujur, Pulau Panjang, Pulau Ketawai, Pantai Merapin, Pulau Gelasa, Pulau Lepar, Pulau Pongok, Pulau Salma, Pulau Langer, Pulau Piling, Pulau Lengkuas, dan Pulau Pesemut.

“Pantai berpasir di Pulau Begadung, yang kemiringan sekitar 24-31 derajat, serta adanya naungan vegetasi, sebagai peneduh, merupakan tempat yang cocok untuk penyu bertelur. Suhu dan kelembaban yang stabil, sangat baik untuk telur penyu,” katanya.

Dijelaskan Adi, penurunan populasi penyu di Pulau Bangka, disebabkan beberapa hal. Dimulai meningkatnya penjualan atau konsumsi telur, perubahan fungsi pantai [misalnya menjadi lokasi wisata], juga adanya alat penangkapan ikan tidak ramah lingkungan yang membuat penyu terjaring. 

“Ditambah lagi rusaknya ekosistem tempat makan penyu, terumbu karang, dan padang lamun.”

 

Pulau Nangka, Pulau Tikus, Pulau Begadung, dan Pulau Pelepas yang berada di tutup botol Selat Bangka. Foto: Google Earth

 

Jangan dibangun hotel

Berdasarkan Peraturan Daerah RZWP3K [Renzana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil] Kepulauan Bangka Belitung tahun 2020, Pulau Nangka selain ditetapkan sebagai zonasi perikanan budidaya, juga sebagai zonasi wisata olahraga air. Sementara perairan sekitar Pulau Tikus, Pulau Begadung dan Pulau Pelepas, dijadikan zona wisata alam pantai atau pesisir dan pulaupulau kecil.

Pada Minggu [09/8/2021] terlihat banyak wisatawan lokal yang berkunjung ke Pulau Nangka dan Pulau Begadung. Mereka menghabiskan liburan di sejumlah pantai yang ada di dua pulau tersebut.

“Kami senang saja wisatawan datang. Tapi, ya itu, mereka banyak meninggalkan sampah, terutama plastik,” kata Ansor Sumin, warga setempat.

Ansor Sumin berharap, destinasi wisata yang akan dikembangkan tidak dengan membangun infrastruktur, seperti hotel dan tempat hiburan. Dampaknya banyak, mulai keamanan, sampah, hingga aktivitas kami sebagai nelayan. “Jadi biarkan saja seperti sekarang ini. Hanya penataan sampah yang perlu diperbaiki,” katanya.

Tidak ada tiket untuk berkunjung ke Pulau Nangka, Pulau Begadung, dan Pulau Pelepas. Namun, biaya transportasi relatif cukup mahal, satu trip kisaran Rp600-800 ribu [pulang-pergi].

“Angkutan itu dikelola Kelompok Sadar Wisata Desa Tanjung Pura, bukan masyarakat di Pulau Nangka. Jadi, kami tidak bisa memberikan keputusan atas tingginya biaya yang dikeluhkan pengunjung ke sini,” ujarnya.

Jika pelancong berkunjung ke Pulau Nangka, ada keuntungan yang didapatkan warga. Misalnya, mereka belanja ke warung kelontong atau makanan yang dikelola warga, termasuk membeli ikan dari nelayan untuk dibakar. 

“Kalau yang ke Pulau Begadung atau Pulau Pelepas tidak ada. Mereka langsung dari daratan [Pulau Bangka] dan tidak mampir ke Pulau Nangka,” papar Ansor.

 

 

Exit mobile version