Mongabay.co.id

Kapur Barus, Pohon Kamper, dan Kejayaan Nusantara

 

 

Jauh sebelum pala dan cengkih terkenal, sesungguhnya kapur barus yang dihasilkan pohon kamper [Dryobalanops camphora], yang merupakan tumbuhan khas Nusantara, telah menjadi primadona masyarakat Eropa dan Timur Tengah. 

Pohon ini berperawakan besar dengan diameter batang berkisar 70 sentimeter. Tingginya dapat mencapai 62 meter ini.  

Dalam Jurnal Sejarah dan Budaya [2017], berjudul “Politik Historiografi” Sejarah Lokal: Kisah Kemenyan dan Kapur dari Barus, Sumatera Utara, karya Ichwan Azhari dijelaskan bahwa keberadaan kapur barus sudah menjadi barang penting sejak abad ke-2 Masehi. 

Begitu juga latar belakang penamaan kapur barus yang berasal dari wilayah bernama Barus. 

“Tempat ini bahkan telah diberitakan oleh Claudius Ptolemaeus pada abad ke-2 Masehi dalam bukunya Geographyke Hyphegeiss yang menyebut Barus sebagai Barousai,” tulis jurnal tersebut.

Besarnya peminat pedagang asing pada kapur barus di masa lalu terbukti dari keberadaan Prasasti Tamil yang ditemukan di Desa Lobu Tua, Kec. Andam Dewi, tahun 1873 oleh kontrolir Belanda di Barus bernama Dr. J.Brandes.

Berdasarkan analisis epigrafi yang dilakukan Y. Subbrayalu dijelaskan bahwa prasasti itu dari perkumpulan pedagang Tamil yang bermukim di Lobu Tua  bernama “Yang ke Lima Ratus dari Seribu Arah” dengan tarikh 1010 Saka atau 1008 M.  

“Meskipun dalam prasasti tidak disebutkan jenis komoditas dagang adalah kapur barus maupun kemenyan, akan tetapi prasasti itu dapat menjadi bukti keberadaan kelompok pedagang Tamil yang mendiami Lobu Tua hampir tiga abad. Tujuannya, untuk mendapatkan kapur barus dan kemenyan dari sumbernya langsung,” jelas Ichwan dalam laporannya.

Barus merupakan wilayah di kecamatan di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Sejak abad ke-2 Masehi sudah dikenal oleh orang Yunani sebagai bandar niaga bernama Baraosai yang menghasilkan bahan-bahan wewangian atau kamper. 

Mulai abad ke-4 sampai ke-10 Masehi, Barus menjadi pusat perdagangan komoditas kamper dunia, dari China sampai kawasan Laut Tengah meliputi Indochina, Asia Tenggara, India, Persia, Timur Tengah, bahkan Afrika. 

Catatan sejarah menyebutkan, kapur barus telah menjadi barang yang bernilai sangat penting sehingga mampu menarik perhatian banyak orang Eropa dan Timur Tengah untuk berdatangan ke Barus. Bahkan Marco Polo, penjelajah berkebangsaan Italia mengatakan bahwa, harga kapur barus semahal emas dengan berat yang sama, pada masa itu.

Baca: Pohon-pohon Langka Indonesia, Bagaimana Nasibnya?

 

Butiran kapur barus yang dihasilkan dari pohon kamper. Foto: Shutterstock

 

Persebaran

Dalam penelitian Budi Prasetyo berjudul Populasi Pohon Kapur [Dryobalanops camphora Colebr.] di Ambang Kepunahan, disebutkan pohon ini memiliki beberapa ciri morfologi, yakni berbatang tegak, lurus, bulat, dan terdapat resin. Jika daun diremas akan mengeluarkan aroma wangi. 

“Bunga biseksual, berukuran 5 milimeter, berwarna putih, terdapat dalam malai yang pendek,” tulis laporan ini.

Habitatnya banyak terdapat di hutan dengan ketinggian sampai 300 meter di atas permukaan laut, di lereng-lereng bukit dan di pegunungan bertekstur tanah yang mengandung pasir. Persebarannya mulai dari semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Kalimantan [Sarawak, Brunei, Sabah, dan Kalimantan Timur].

“Selain dikenal sebagai pohon kapur barus, pohon ini di kawasan Kalimantan memiliki nama lokal kapur, kapur anggi, kapur bukit, kapur peringii, kapur ranggi, keladan, kladan, dan telajin.”

Ada hal menarik pohon kamper ini, ia memiliki 12 sinonim nama, yaitu Dryobalanops sumatrensis, Laurus sumatrensis, Arbor camphorifera, Dipterocarpus dryobalanops, Dipterocarpus teres, Dryobalanops aromatica, Dryobalanops junghuhnii, Dryobalanops vriesii, Pterigium teres, Laurus sumatrensis, Shorea camphorifera dan Shorea costata. 

Baca juga: Mengenal Nothofagus, Pohon yang Menjadi Sorotan UNESCO di Papua

 

Inilah pohon kamper yang menghasilkan kapur barus. Foto: Shutterstock

 

Beragam manfaat

Beragam kemanfaatan kapur barus telah digunakan untuk keperluan manusia.  Masyarakat Mesir misalnya, mereka memanfaatkan kapur barus sebagai pengawet jasad manusia yang telah meninggal dengan cara melumuri dengan balsem [ramuan hasil campuran kapur barus dengan rempah-rempah dari Ophir] di sekujur tubuh mayat tersebut. 

“Sejarah mencatat bahwa jasad raja-raja Mesir sejak abad ke-7 sampai dengan abad ke-16 Masehi diawetkan dengan menggunakan kapur barus, termasuk diantaranya mumi Ramses II dan Ramses III,” tulis Budi.

Selain itu masyarakat Timur Tengah termasuk Arab dan Mesir menggunakan kapur barus untuk bahan baku dalam pembuatan obat-obatan dan parfum. Sedangkan orang-orang China menggunakan kapur barus sebagai penguat, penguat syahwat, dan untuk radang mata. 

Mengutip penjelasan LIPI, kapur barus berasal dari pohon kamper atau kayu kamper dengan nama ilmiah Cinnamomum camphora yang termasuk dalam Suku Lauraceae. Kerabat dekatnya adalah tumbuhan alpukat, kayu manis. Di Kebun Raya Cibodas, dapat tumbuh dengan baik di ketinggian 1.300 – 1.425 m dpl. 

Pohon kamper mengandung senyawa kimia volatil di seluruh bagian tubuhnya. Kayu dan daunnya yang didistilasi uap akan menghasilkan minyak atsiri. Pohon ini memiliki enam varian senyawa kimia berbeda, yaitu: kamper, linalool, 1,8-sineola, nerolidol, safrola, dan borneol.

 

Dryobalanops aromatica. Foto: Agusti Randi/FPLI dan Arief Hamidi/FPLI

 

Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [LIPI] telah memasukkan pohon kamper dalam daftar 12 spesies endemik pohon di Nusantara terancam punah. 

Dalam Buku Strategi Konservasi 12 Spesies Pohon Prioritas Nasional 2019-2029 yang disusun Arief Hamidi, Kesumadewi Sri Yulita, dan kolega dijelaskan bahwa penyusunan daftar ini didorong oleh kawasan hutan primer yang semakin menyusut akibat konversi lahan, eksploitasi sumber daya alam, dan perubahan iklim global.

Spesies pohon ditetapkan sebagai langka berdasarkan empat kriteria, yaitu kelangkaan, tingkat ancaman, manfaat dan nilai, dan tingkat tindakan konservasi. Pohon kemper terdaftar pada nomor urut 6.

 

Exit mobile version