Mongabay.co.id

Beras Aruk, Tercipta Saat Jepang Menguasai Pulau Nangka

 

Baca sebelumnya: 

Laut adalah Sumber Kehidupan Masyarakat Pulau Nangka

Selain Ikan, Inilah “Kekayaan” Luar Biasa Perairan Pulau Nangka

**

 

Meskipun Indonesia kaya sumber daya alam, ternyata bangsa ini pernah mengalami krisis pangan. Salah satunya ketika Jepang menguasai Indonesia pada masa Perang Dunia II. Rakyat terpaksa mencari dan mengonsumsi pangan pengganti beras, seperti umbut kelapa, umbut pisang, ubi gadung beracun, dan lainnya.

“Semua hasil bumi dari pulau ini, saat Jepang berkuasa diambil. Ikan, padi, umbi kayu, juga buahan. Padahal hasil padi ladang di pulau ini sangat sedikit karena lahannya tidak luas, cukup untuk kebutuhan keluarga. Saat Jepang berkuasa itu, leluhur kami kelaparan karena pangan dirampas,” kata Marsidi [66], tokoh masyarakat Pulau Nangka, kepada Mongabay Indonesia, Senin [09/8/2021].

Lalu, ada warga yang menyembunyikan beberapa potong ubi kayu [ketela pohon] pada aliran sungai kecil, ketika Jepang datang hendak mengambil semua hasil bumi di Pulau Nangka.

Beberapa hari kemudian, warga tersebut mengambil ubi kayu yang direndam. Saat diangkat ubi sudah busuk, artinya tidak bisa lagi dibakar dan direbus. Dia pun meremas atau menghancurkan ubi tersebut hingga menjadi bubur.

“Melihat bubur itu si warga teringat pengolahan sagu. Lalu, dia memasukan ubi ke dalam karung yang tujuannya agar kering. Setelah itu ditumbuknya dengan antan, lalu dijemur. Nah, saat penjemuran itu dia mengaruk-aruknya dengan kedua tangan. Tujuannya agar cepat kering. Ternyata, arukan tersebut membentuk butiran-butiran kecil seperti beras,” kata Marsidi.

Butiran-butiran itu kemudian disangrai, sebelum direbus. Hasilnya seperti nasi. Sejak itu, masyarakat Pulau Nangka memanfaatkan ubi kayu dijadikan beras. “Yang kemudian disebut “beras aruk” karena dibuat dengan cara diaruk-aruk,” jelasnya.

 

Beras aruk, bahan utamanya ubi kayu atau ketela pohon yang dibuat masyarakat Pulau Nangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Keberadaan beras aruk diketahui tentara Jepang. Mereka mengambilnya, dan memerintahkan warga untuk menanam banyak ubi kayu. Ternyata, tentara Jepang juga memerintahkan warga lain di Pulau Bangka untuk menanam ubi kayu dan membuat beras aruk.

“Menurut leluhur kami, selama masa kedatangan Belanda [setelah 1945], masyarakat terus mengonsumsi beras aruk. Bahkan, saat krisis pangan antara 1960-an hingga 1965, akibat kemarau panjang dan situasi politik, beras aruk juga menjadi makanan pokok di sini, mungkin di seluruh Pulau Bangka,” jelasnya.

Itu kisah yang kami dengar. Setahu kami, tradisi membuat dan mengonsumsi beras aruk sejak masa pendudukan Jepang, bukan saat agresi Belanda. “Kalau di masa penjajahan Belanda, Kepulauan Bangka Belitung ini tidak pernah krisis pangan. Makanan melimpah,” katanya.

Saat ini, di Pulau Nangka tetap diproduksi beras aruk, meski tidak dikonsumsi setiap hari. Hanya dihidangkan jika ada tamu. “Tapi mereka yang punya penyakit semacam diabetes, membeli dan mengonsumsinya setiap hari. Sebab beras ini kandungan gulanya rendah,” kata Zaineb [60], warga Pulau Nangka, pembuat obat herbal.

Asula Wati [58], pembuat beras aruk mengatakan, dia mampu memproduksi 100 kilogram per bulan. Beras aruk dibuat bersama anggota keluarganya. “Butuh waktu dan caranya tradisional, sehingga produksi kami terbatas. Beras aruk bisa disimpan hingga setahun, asalkan disimpan di tempat kering.”

Di sini, harga jualnya Rp20 ribu per kilogram. “Sementara di Kepulauan Bangka Belitung, dihargai Rp50-60 ribu per kilogram,” terangnya.

 

Nampan dari anyaman bambu yang digunakan untuk mengayak beras aruk. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Kandungan gizi

Dikutip dari situs BPTP [Balai Pengkajian Teknologi Pertanian] Kepualuan Bangka Belitung, beras aruk dinilai lebih baik dibandingkan padi. Sebab, ubi kayu lebih unggul kandungan nutrisinya, seperti kadar lemak, kalsium, zat besi, vitamin A dan C, dibandingkan padi.

Disebutkan dari 100 gram beras aruk, kandungan gizinya adalah energi [353,0 kkal], protein [0,6 gram], lemak [0,8 gram], karbonhidrat [85,9 gram], abu [0,2 gram], air [12,5 gram], serta BBD atau bahan dapat dicerna [111 persen].

Dijelaskan BPTP, di Kepulauan Bangka Belitung, semua jenis ubi kayu dapat diolah menjadi beras aruk, kecuali ubi kayu karet yang kadar asam sianida tinggi. Sebaiknya, ubi kayu yang diolah berumur sekitar satu tahun.

Tahapannya, ubi kayu dikupas, dipotong per 7-8 cm, dicuci bersih kemudian direndam selama tiga hari agar lebih lunak. Perendaman sebaiknya menggunakan air mengalir atau wadah, yang airnya diganti setiap hari.

Setelah direndam, ubi kayu dihancurkan dengan cara diremas bersama air di sebuah baskom. Tujuannya, agar pati dan serat sumbu terlepas, tersisa bubur ubi kayu. Bubur itu kemudian dimasukkan ke karung, lalu diperas agar kering dan padat.

 

Di masa pendudukan Jepang, masyarakat di Pulau Nangka mengalami kesulitan pangan. Ubi kayu akhirnya menyelamatkan warga setelah dijadikan beras aruk. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Selanjutnya, ditumbuk hingga halus, dan diayak dengan ayakan kasar. Hasil ayakan dihampar lalu diaruk dengan arah melingkar, menggunakan lima jari hingga membentuk butiran-butiran kecil seperti beras.

Butiran-butiran kecil tersebut disangrai hingga tampak agak transparan. Terakhir, dijemur di bawah sinar matahari sampai kering. 

Sejak sepuluh tahun lalu, Pemerintah Kepulauan Bangka Belitung mengembangkan beras aruk sebagai pangan lokal. Beberapa wilayah dikenal sebagai sentra beras aruk seperti Desa Kemuja Kabupaten Bangka, Desa Tempilang, Kabupaten Bangka Barat, dan Desa Gadung Kabupaten Bangka Selatan.

Dalam beberapa tahun terakhir, pengolahan beras aruk sudah tidak lagi tradisional, menggunakan teknologi.

Misalnya, mesin TTG [Teknologi Tepat Guna] untuk memproduksi beras aruk yang disumbangkan Politeknik Manufaktur Negeri Bangka Belitung/Polmanbabe] kepada keluarga yang memproduksi beras aruk di Desa Tempilang, Kabupaten Bangka Barat. Mesin ini berupa pemeras tepung, mesin penumbuk, pengayak, dan pencetak.

 

Bahan obat-obatan di Pulau Nangka, ada yang diambil bagian akar, daun, kulit maupun buah pohon. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Obat-obatan

Selain memprooduksi beras aruk, Pulau Nangka juga dikenal dengan obat-obatan herbalnya. “Kami menggunakan 33 jenis akar, dedaunan, dan kulit tanaman yang tumbuh di Pulau Bangka Belitung. Sekitar 11 jenis yang kami beli atau berasal dari luar,” kata Zaineb.

Obat-obatan yang diproduksinya itu digunakan dengan cara direbus atau dijadikan makanan [disayur]. “Misalnya obat-obatan bersalin [melahirkan], gangguan alat produksi, penyakit jantung, paru-paru, dan lainnya.” 

Ramuan ini merupakan “ilmu warisan” keluarga turun menurun. “Tidak ada catatan. Semuanya berdasarkan ingatan. Dan, sebagian besar tanaman obat itu ada di Pulau Nangka ini,” katanya.

Dijelaskan Zaineb, sebenarnya hampir semua tanaman atau tumbuhan di dunia ini berkhasiat sebagai obat. “Meskipun ada tanaman tertentu dikatakan beracun, tapi dapat jadi obat dalam takaran tertentu,” jelasnya.

Selain tanaman, masyarakat Pulau Nangka juga mengonsumsi  sejumlah hewan laut seperti teripang hitam. Caranya, teripang hitam dikeringkan, dijemur. Lalu diiris, kemudian dijadikan masakan, seperti sup atau direbus biasa. “Gunanya meningkatkan daya tahan tubuh dan fisik,” katanya.

Zaineb berharap, keragaman tanaman hutan dan buah yang ada di Pulau Nangka, juga hasil laut tetap lestari. 

“Jangan sampai hilang, baik diganti tanaman lain atau habis karena adanya bangunan. Sebab obat-obatan herbal tetap dibutuhkan manusia, minimal mencegah kita jangan sampai sakit. Misal, selama pandemi corona ini, kami selalu mengonsumsi rebusan kunyit dan serai,” jelas ibu enam anak.

 

 

Exit mobile version