Mongabay.co.id

Kebun Cengkih dan Jalur Rempah Nusantara di Pulau Nangka

 

 

Baca sebelumnya: 

Laut adalah Sumber Kehidupan Masyarakat Pulau Nangka

Selain Ikan, Inilah “Kekayaan” Luar Biasa Perairan Pulau Nangka

Beras Aruk, Tercipta Saat Jepang Menguasai Pulau Nangka

**

 

Di masa lalu, Bangsa Indonesia [Nusantara] berjaya dengan rempah-rempah, seperti lada, kayu manis, pala, dan cengkih. Di Kepulauan Bangka Belitung, bukan hanya lada [Piper nigrum] yang ditanam masyarakatnya, ada juga cengkih atau cengkeh [Eugenia aromatic O.K]. Pohon ini banyak ditanam di pulau-pulau kecil jalur maritim [rempah] di Kepulauan Bangka Belitung. Bagaimana kondisinya saat ini?

“Kami terus bertahan, meskipun belasan tahun lalu, banyak pohon cengkih yang ditebang warga karena harganya merosot,” kata Sukarni [42], Kepala Dusun Pulau Nangka, Desa Tanjung Pura, Kecamatan Sungaiselan, Kabupaten Bangka Tengah, Selasa [10/8/2021] lalu.

Pulau Nangka, merupakan satu dari 49 pulau kecil berpenghuni di Kepulauan Bangka Belitung. Di provinsi ini terdapat 950 pulau. Sekitar 470 pulau sudah bernama, dan 51 pulau berpenghuni. Pulau Bangka dan Pulau Belitung, dua pulau besar yang berpenghuni.

Pulau Nangka yang luasnya 324 hektar, sekitar 52 hektar dijadikan warga sebagai kebun cengkih. Berdasarkan pemantaun Mongabay Indonesia, pohon-pohon milik sekitar 100 kepala keluarga tersebut, sebagian besar ditanam belasan tahun lalu, sebagian lagi baru ditanam. Tingginya kisaran 1,5 hingga 15 meter. Rata-rata setiap kepala keluarga memiliki setengah hektar kebun cengkih.

“Saat ini harga jual dari dusun kami sekitar Rp50-60 ribu per kilogram. Setiap tahun rata-rata dihasilkan 10 ton cengkih kering,” katanya.

 

Cengkih bagi masyarakat Pulau Nangka bukan hanya dijual sebagai sumber ekonomi, tetapi juga digunakan sebagai bahan obat-obatan dan kuliner. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Diceritakan dia, pohon cengkih sudah ditanam di Pulau Bangka sejak masa Kolonial Belanda. Tapi sebagian pohon ditebang di masa pendudukan Jepang di Indonesai saat Perang Dunia II. Banyak kebun dijadikan kebun ubi kayu atau ketela pohon. Sebab saat itu krisis pangan.

Pada awal 1970-an, warga kembali menanam pohon cengkih ketika tingginya permintaan untuk industri rokok. Namun tahun 1990-an, ketika Orde Baru mendirikan Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh [BPPC], harga cengkih anjlok hingga ribuan rupiah per kilogram. 

“Banyak warga kecewa, menebang dan menggantinya dengan tanaman lain, seperti lada dan buah. Tapi ternyata hasilnya tidak baik. Lalu, seiring membaiknya harga, warga kembali menanam cengkh,” jelasnya.

Bibit yang pertama kali ditanam di Pulau Nangka berasal dari Sulawesi. “Kami tidak tahu jenis pohon cengkih yang ditanam di sini. Hanya cengkih yang hasilnya baik di sini,” kata Sukarni.

 

Keberagaman tanaman di halaman rumah warga Pulau Nangka terlihat dari cengkih, kelapa, pisang, dan bunga. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Kebun cengkih di pulau-pulau kecil 

Selain di Pulau Nangka, pulau yang ditemukan kebun cengkih adalah Pulau Kelapan di Kabupaten Bangka Selatan. Hal ini dibenarkan Umam Komarullah, peneliti terumbu karang dari Serumpun Karang Konservasi. 

“Berdasarkan penelitian kami terkait terumbu karang pada pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Bangka, yang ditemukan kebun cengkih, selain Pulau Nangka adalah Pulau Kelapan,” katanya kepada Mongabay Indonesia, Rabu [11/8/2021].

Yanto [40], nelayan dari Dusun Tuing, Kabupaten Bangka, yang belasan tahun mencari ikan di Perairan Kepulauan Bangka Belitung hingga Teluk Lampung, mengatakan pulau-pulau kecil lain yang ia lihat ada kebun cengkihnya adalah Pulau Selat Nasik dan Pulau Gersik, dekat Pulau Belitung. 

“Bisa juga, pulau-pulau kecil lain di sekitar Pulau Bangka dan Belitung yang ada masyarakatnya, terdapat kebun cengkih. Tapi saya tidak melihatnya. Saya hanya melihat di empat pulau itu,” ujarnya.

Baik Umam Komarullah maupun Yanto, menyebutkan warga yang berkebun cengkih di Pulau Kelapan, Pulau Selat Nasik, dan Pulau Gersik, mayoritas keturunan Suku Bugis [Sulawesi]. “Berbeda di Pulau Nangka yang ditanam warga keturunan beragam suku,” kata Umam.

Pulau Kelapan, Pulau Selat Nasik, dan Pulau [gugusan] Gersik berada di Selat Gaspar, selat yang memisahkan Pulau Bangka dengan Pulau Belitung. Sementara Pulau Nangka berada di Selat Bangka, selat yang memisahkan Pulau Sumatera dengan Pulau Bangka.

Di masa lalu, Selat Bangka dan Selat Gaspar, merupakan salah satu jalur maritim [rempah] di Nusantara.

“Berdasarkan sebaran bangkai kapal tua [dagang] di Kepulauan Bangka Belitung, yang paling banyak di Selat Gaspar dan Selat Bangka.  Jadi, diperkirakan, saat itu dua selat tersebut sangat ramai atau jalur padat perdagangan di masa lalu,” kata Aryandini Novita, arkeologi bawah laut dari Balai Arkeologi [Balar] Sumatera Selatan.

 

Masyarakat di Pulau Nangka tetap menjaga mangrove, ini terlihat banyak ditemukan pohon perepat berusia ratusan tahun. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Bukan andalan

Sejak dahulu, cengkih bukan komoditas andalan Kepulauan Bangka Belitung.  Berdasarkan buku tentang Cengkih Indonesia 2018-2020, ada sepuluh provinsi penghasil cengkih terbesar di Indonesia, yakni Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Aceh, dan Maluku Utara.

Di buku tersebut, ditulis bahwa Kepulauan Bangka Belitung memiliki luas kebun cengkih [perkebunan rakyat] 18 hektar, dengan produksi satu ton per tahun. Data ini sama dari tahun 2018, 2019 dan 2020. 

Data tersebut perlu diperbarui lagi, dikarenakan di Pulau Nangka, yang dikunjungi Mongabay Indonesia, luas kebun cengkih milik masyarakat sekitar 52 hektar dengan produksi sekitar 10 ton per tahun.

Kepulauan Bangka Belitung masih mengandalkan lada sebagai komoditas rempahnya. Dikutip dari katadata.co.id, Badan Pusat Statistik [BPS] menyebutkan, pada 2020 kepulauan yang juga dikenal sebagai produsen pasir timah ini, merupakan produsen lada terbesar di Indonesia sebanyak 33,8 ribu ton atau 37,6 persen dari total produksi nasional.

Indonesia yang ratusan tahun menjadi sentra rempah seperti lada dan cengkih, saat ini berdasarkan data Badan Pusat Statistik [BPS] yang dikutip dari cnbcindonesia.com, sepanjang Januari-Juni 2021, mengimpor lada dari Vietnam, Thailand, Australia, Malaysia, dan negara lainnya. Sementara cengkih diimpor dari Madagaskar, Singapura, dan Inggris.

Keberadaan kebun cengkih di pulau-pulau kecil di Kepulauan Bangka Belitung, sepertinya belum mendapat perhatian para peneliti perkebunan atau rempah. Mongabay Indonesia belum menemukan artikel penelitian terkait perkebunan cengkih di pulau-pulau kecil di Selat Gaspar dan Selat Bangka tersebut.

“Kami sadar Kepulauan Bangka Belitung sangat mengandalkan timah dan lada. Tapi bagi kami, cengkih adalah kehidupan kami, selain ikan dari laut. Selama puluhan tahun, cengkih telah menghidupi bahkan pernah mensejahterakan kami,” kata Marsidi [66], tokoh masyarakat Pulau Nangka, kepada Mongabay Indonesia, Sabtu [07/08/2021].

“Kami sangat membutuhkan bantuan pemerintah dalam meningkatkan produksi cengkih. Baik terkait pengetahuan, seperti merawat pohon, bunga, maupun pupuknya. Selama ini kami hanya mengandalkan pengetahuan yang diwariskan orang tua atau leluhur. Persoalan saat ini adalah terkait iklim yang memengaruhi produksi cengkih,” katanya. 

 

Perahu, bagan ikan, jaring, pancing, pohon cengkih, dan pelabuhan, merupakan penanda kehidupan masyarakat multikultural di Pulau Nangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Harus dilestarikan

Dr. Yenrizal Tarmizi, pakar komunikasi lingkungan dari UIN Raden Fatah Palembang, mengatakan kebun cengkih yang ada di sejumlah pulau kecil di Kepulauan Bangka Belitung harus dijaga, dilestarikan. Sebab, itu bisa jadi merupakan salah satu jejak jalur rempah di Nusantara.

“Kebun cengkih juga mempertahankan keberadaan masyarakat bahari di pulau-pulau kecil tersebut, yang multikultural. Masyarakat yang memiliki kemampuan mencari hidup di laut dan di darat, serta berniaga,” katanya.

Yenrizal percaya, kebun cengkih itu dapat menjadi inspirasi bagi generasi hari ini dan mendatang di Kepulauan Bangka Belitung, untuk mengembalikan Indonesia menjadi sentra rempah-rempah dunia, seperti masa lalu. “Mengembalikan peran Nusantara sebagai bangsa pengusung ekonomi berkelanjutan,” katanya.  

Kebun-kebun cengkih perlu dilestarikan. Penelitian bagaimana sejarah terbentuknya sejumlah kebun di berbagai pulau kecil di Kepulauan Bangka Belitung, harus dilakukan.

“Kita pasti akan menemukan atau memahami bagaimana proses penyebaran pengetahuan cengkih. Termasuk pula pelayaran, perkapalan, serta proses pembauran,” papar Aryandini Novita.

 

 

Exit mobile version