Mongabay.co.id

Sejarah Memilukan Asal Mula Istilah “Tree Hugger” atau Para Pemeluk Pohon

Treehugger India

Treehugger di India pada awal 1940an | Sumber Better India

 

 

Ketika mendengar istilah “pemeluk pohon” apa kira-kira yang terlintas di benak kita? Bisa jadi adalah orang-orang yang dianggap ‘terlalu’ bersemangat melindungi alam, agar sang pohon tak diganggu. Atau mungkin, terbayang Leonardo DiCaprio yang begitu aktif berkampanye menyelamatkan hutan Amazon dan Leuser.   

Ternyata, istilah “Tree Hugger” [pemeluk pohon] diciptakan jauh sebelum era kita, tepatnya pada pertengahan abad ke-18. Para pemeluk pohon pertama adalah 294 laki-laki dan 69 perempuan dari cabang Hinduisme Bishnoi, yang pada 1730, meninggal ketika mencoba melindungi pohon-pohon di desa mereka agar tidak diubah menjadi bahan baku untuk membangun sebuah istana. 

Ajaran Bishnoi sangat menghormati kesucian dan kesakralan semua bentuk kehidupan, dan prinsip mereka termasuk juga larangan membunuh hewan dan menebang pohon hidup. Mereka pun menyembah pohon Khejri, Prosopis cineraria, yang dianggap sebagai kekuatan komunitas yang hidup di gurun ini. 

Dalam perkembangannya, Raja Jodhpur, sebagaimana dikutip dari Women’s Earth Alliance, mengirimkan tentara ke Desa Bishnois untuk menebang pohon hijau guna membangun istana barunya. Saat tentara mulai menebang pohon Khejri dengan kapak, seorang wanita Bishnoi bernama Amrita Devi berlari untuk menghentikan penebangan. Dia memeluk pohon Khejri untuk melindunginya dan memohon para tentara untuk berhenti. Para prajurit awalnya meminta suap sebagai ganti menghentikan penebangan, namun Amrita Devi tidak tergerak, dan memberi tahu mereka bahwa suap menyuap merupakan penghinaan terhadap kepercayaannya. 

Para tentara itu melakukan kekerasan dan memukulnya dengan kapak hingga tewas. Ketika ketiga putrinya menyaksikan kebrutalan sang tentara dan melihat sang ibu tewas, mereka bergegas dan memeluk pohon juga, tanpa ampun, para tentara pun membunuh mereka saat masih memeluk pohon. 

Berita kejadian itu menyebar cepat dan membuat banyak masyarakat bergabung, memeluk pohon dalam protes tanpa kekerasan. Para prajurit terus membunuh orang tanpa ampun, baik tua maupun muda, yang meninggal melindungi pohon suci yang mereka cintai.

Mereka benar-benar memeluk pohon, menempel dan tak melepaskannya, bahkan hingga nafas terakhir. Kematian mereka tidak sia-sia. Ketika sang raja mengetahui pembantaian itu, dia begitu terpukul, lalu bertobat dan melarang membunuh hewan dan menebang pohon di wilayah kaum Bishnois. 

Bahkan sampai hari ini, orang dapat melihat Black Buck yang terancam punah, burung merak dan kehidupan liar lainnya serta tutupan pohon tempat komunitas Bishnois tinggal di Rajasthan. Tidak mengherankan bahwa Bishnois dianggap sebagai salah satu konservasionis paling awal di dunia. 

Baca: Menanam Pohon, Membangun Peradaban Manusia

 

Gerakan Chipko, gerakan perempuan untuk melindungi pohon dan hutan di India. Foto: Wikipedia Commons/NA/CC BY-SA 4.0

 

Kisah nyata abad ke-18 itu menginspirasi kisah lain, jauh setelahnya. Tepatnya di tahun 1970-an.

“Tanah adalah milik kita. Air adalah milik kita. Hutan-hutan ini milik kita. Nenek moyang kita membesarkan mereka. Kitalah yang harus melindungi mereka.” Sebuah lagu dari Gerakan Chipko di India, yang begitu terkenal liriknya.

Gerakan Chipko adalah contoh bagus dari gerakan Gandhi yang didasarkan pada prinsip-prinsip satyagraha tanpa kekerasan. Chipko berarti memeluk [cling], dan gerakan ini identik dengan gambaran abadi tentang wanita pedesaan yang memeluk pohon untuk menghentikan deforestasi yang merajalela. 

Di wilayah Uttarakhand di Garhwal Himalaya pada 70-an, terjadi degradasi lingkungan yang cepat karena penebangan komersial. Menjadi jelas, terutama bagi perempuan, bahwa penebangan merusak hutan mereka dan mengancam akses mereka ke sumber daya hutan utama yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup mereka sehari-hari. 

Gerakan Chipko terjadi di Garahwal Himalaya, sebuah wilayah dengan hutan lebat yang sejak lama menjadi sumber penghidupan masyarakat lokal. Masyarajat di daerah itu memiliki tradisi budaya kuat menghormati alam, dengan ritual keagamaan yang ditujukan untuk pohon, sungai, gunung, dan dewa desa setempat. 

Penduduk desa mengumpulkan kacang-kacangan, buah-buahan, dan umbi-umbian, serta bahan bakar, kayu untuk rumah, dan pakan ternak. Mereka juga mengakui hutan sebagai kunci untuk konservasi air dan tanah. 

Hutan-hutan di India telah lama menjadi salah satu sumber daya paling penting di negara itu, menjamin mata pencaharian masyarakat yang tinggal di hutan dan pedesaan serta menjaga keseimbangan ekologis. Di bawah pemerintahan kolonial Inggris, undang-undang diperkenalkan – dikenal sebagai Undang-undang Hutan India tahun 1878 dan 1927- untuk memungkinkan pemerintah mengelola sumber daya alam. 

Undang-undang ini memberikan hak kepada negara untuk secara eksklusif mengontrol penggunaan kawasan tertentu, yang berdampak sangat negatif terhadap masyarakat secara tradisional, bergantung pada hutan untuk kelangsungan hidup mereka.

Baca: Kapur Barus, Pohon Kamper, dan Kejayaan Nusantara

 

Para wanita yang berpartisipasi pada gerakan Chipko tahun 1974 di Desa Reni, India. Foto: Wikimedia Commons/Reni Village/CC BY-SA 3.0

 

Gerakan terbesar dimulai pertengahan 1973. Penebangan hutan yang makin tak terkendali membuat penduduk desa mulai mengorganisir gerakan dalam kelompok-kelompok kecil untuk melawan penebangan. Masyarakat makin marah atas kebijakan pemerintah saat itu, yang  tidak mengizinkan petani dan penggembala setempat menebang pohon untuk kayu bakar atau untuk pakan ternak demi tujuan tertentu. 

Namun, di saat yang sama sebuah perusahaan manufaktur olahraga diberi izin untuk menebang pohon dan menggunakannya untuk membuat peralatan olahraga secara massal. Hal inilah yang memicu gerakan tersebut.   

Saat itulah aktivis lingkungan dan sosial Gandhian Chandi Prasad Bhatt, pendiri organisasi koperasi Dasholi Gram Swarajya Sangh, memimpin gerakan Chipko pertama di dekat Desa Mandal tahun 1973. 

Dia bergabung dengan ratusan perempuan, yang berada di garis depan perlawanan, berkumpul untuk melindungi hutan komunitas mereka dan membentuk rantai manusia untuk memeluk pohon-pohon tua yang menjulang tinggi. Lingkungan seperti ini secara inheren terkait dengan kelangsungan hidup mereka; para wanita tersebut menyadari bahwa mata pencaharian dan kesejahteraan mereka terkait perlindungan ekologis. 

Baca juga: Mengenal Nothofagus, Pohon yang Menjadi Sorotan UNESCO di Papua

 

Pohon tidak hanya bermanfaat bagi kehidupan manusia tetapi juga untuk kehidupan satwa, lingkungan, dan Bumi tempat kita hidup. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Para demonstran memeluk pohon agar tidak ditebang, memberi nama gerakan “Chipko,” yang dalam bahasa Hindi berarti “memeluk”. Tak menunggu lama, demonstrasi mulai menyebar ke seluruh India. 

“Gerakan perempuan miskin ini bukanlah gerakan konservasi semata, tetapi gerakan untuk menuntut hak masyarakat lokal atas sumber daya lokal mereka. Para wanita menginginkan hak pertama atas pohon, yang menurut mereka adalah dasar untuk kelangsungan hidup mereka sehari-hari. 

“Gerakan mereka menjelaskan kepada orang-orang India, bahwa bukan kemiskinan, tetapi ekonomi ekstraktif dan eksploitatif yang menjadi pencemar lingkungan terbesar,” tulis Sunita Narain, Direktur Pusat Sains dan Lingkungan di New Delhi. 

Gerakan Chipko mendapatkan publikasi luas saat dipimpin Sunderlal Bahuguna, seorang aktivis lingkungan, yang menghabiskan hidupnya mengadvokasi para penduduk desa untuk memprotes perusakan hutan dan pegunungan Himalaya. Usahanya itulah yang membuat Perdana Menteri Indira Gandhi melarang penebangan pohon. Bahuguna paling diingat untuk slogan “ecology is the permanent economy” [ekologi adalah ekonomi yang permanen].

Dampak dari gerakan Chipko telah menyebar jauh dan luas di luar negara bagian Uttarakhand dan menyebabkan pemerintah mengeluarkan larangan penebangan pohon selama 15 tahun sampai tutupan hijau yang habis oleh deforestasi dipulihkan. Dan warisan memeluk pohon terus berlanjut hingga hari ini, begitu pula dengan tantangan akses masyarakat terhadap hutan kemasyarakatan dan ancaman dari degradasi hutan yang berkelanjutan. [Berbagai sumber]

 

 

Exit mobile version