Mongabay.co.id

Ada Apa dengan Perdagangan Hiu dan Pari di Indonesia?

Konservasi global menempatkan Indonesia dalam posisi yang strategis, khususnya isu-isu mengenai keberlangsungan populasi hiu dan pari (selanjutnya disebut sebagai hiu saja). Indonesia sebagai salah satu episentrum biodiversitas laut [1], hampir 20% keragaman hiu (119 dari 509 living hiu; 106 dari 633 pari) memilih Indonesia sebagai distribusi mereka. Mulai dari spesies laut lepas, berasosiasi dengan karang dan jenis sendetari [2,3].

Sisi lain, Indonesia harus menerima kenyataan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan volume pendaratan hiu yang signifikan (Gambar 1). Total pendaratan hiu di Indonesia mencapai 1.2 juta ton dalam kurun waktu 2009-2019 [4].

 

Gambar 1. Sepuluh negara dengan pendaratan hiu dan pari tertinggi dalam kurun waktu 2009-2019 [5].

 

Hasil kajian terhadap aktifitas perdagangan hiu dan pari di Indonesia menemukan beberapa ketimpangan. Paling tidak ada tiga ketimpangan yang bisa teridentifikasi, yakni i) ketimpangan volume pendaratan dan ekspor, ii) ketimpangan lokasi pendaratan utama dan penyuplai utama produk perdagangan, serta iii) statistik perdagangan ekpor dan impor yang dilaporkan oleh negara lain (Gambar 2).

Kajian ini merupakan hasil kerjasama antara Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut (Dit. KKHL) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Centre for Environment, Fisheries and Aquaculture Science (Cefas), University of Salford (UoS) dan Wildlife Conservation Society – Indonesian Program (WCS-IP) dengan pendanaan Illegal Wildlife Trade (IWT) Challenge Fund number IWT057.

baca : Mencari Formula Tepat untuk Kelola dan Konservasi Hiu dan Paus agar Tidak Punah

 

Gambar 2. Infografis ketimpangan yang berhasil diidentifikasi dalam perdagangan hiu dan pari di Indonesia dan dugaan penyebabnya [6].

 

Ketimpangan Pendaratan dan Ekspor

Indonesia dengan peringkat ke-4 sebagai negara dengan populasi manusia yang tinggi, memiliki komunitas tradisional yang berasosiasi dengan laut yang signifikan [7]. Fakta ini, membuat pengelolaan dan konservasi hiu di Indonesia sangat problematik. Secara umum hiu tertangkap sebagai tangkapan sampingan (by-catch), serta ada pula komunitas yang memang menjadikan hiu sebagai tangkapan utama. Beberapa tahun terakhir, hiu sebagai tangkapan sampingan bergeser maknanya karena mempunyai nilai ekonomis tersendiri (desired-catch).

Masih banyak masyarakat pesisir dan urban yang menggantung hidup dari hiu baik sebagai nelayan penangkapan, pengolah atau konsumen yang membelinya karena harganya terjangkau. Hampir seluruh bagian tubuh hiu dimanfaatkan (zero-waste), mulai dari sirip, daging, kulit, tulang, minyak hati, jeroan, gigi bahkan hingga limbah olahan [8].

Pemanfaatannya pun beragaman, mulai dari kuliner prestise, pangan yang terjangkau, suplemen, aksesoris dan pakan hewan. Selain manfaat langsung (direct value), hiu pun mempunyai nilai ekonomis dari wisata hiu yang menjadi tren belakangan ini (indirect value) [9].

Jika membandingkan data pendaratan dan ekspor hiu, diperoleh kesenjangan yang signifikan. Selama 7 tahun (2012-2018), volume ekspor produk hiu hanya sekitar 4% (30,560 ton) dari volume pendaratan sebesar 771,009 ton (Gambar 3a). Kesenjangan ini paling tidak mengindikasikan tingginya konsumsi domestik produk-produk hiu (Gambar 3b).

baca juga : Perdagangan Hiu : Ambiguitas Perlindungan di Indonesia (1)

 

Gambar 3. Tren pendaratan dan perdagang hiu dan pari di Indonesia selama 2012-2018 [5, 10] (a) dan Susi; pengolah ikan asap generasi ketiga di Tegal untuk dijajakan di pasar (b).

 

Ketimpangan Pendaratan Utama dan Penyuplai Utama

Ketimpangan juga nampak jika kita bercermin dari data pendaratan dan data perdagangan domestik. Pendaratan hiu dan pari tertinggi berlokasi di WPP 711 (Laut Natuna Utara) dan WPP 712 (Laut Jawa), namun lokasi yang menjadi penyuplai utama produk hiu dan pari adalah Provinsi Papua (WPP 718) dan Provinsi Bali (WPP 573) (Ganbar 4a).

Informasi anekdotal menunjukkan bahwa banyak hiu dan pari yang ditangkap di Indonesia Timur dikirim ke Jakarta menggunakan kapal kargo, di mana mereka dicatat sebagai “produk” bukan tangkapan oleh Otoritas di Jakarta.

Selain itu, Provinsi Aceh tidak menunjukkan catatan perdagangan domestik (Gambar 4b), yang mengindikasi perdagangan yang tidak dilaporkan (unreported) antar provinsi atau bahkan perdagangan internasional dengan negara-negara perbatasan, seperti Malaysia dan Singapura.

perlu dibaca : Perdagangan Hiu : Pasar Memicu Kepunahan (3)

 

Gambar 4. Ketimpangan pendaratan utama (a) dan penyuplai utama produk (b) hiu dan pari.

 

Ketimpangan Ekspor dan Pelaporan Impor

Merujuk kembali volume ekspor produk hiu sebesar 30,560 ton, dimana secara umum terbagi dua komoditas yakni produk sirip dan daging. Kedua komoditas ini memiliki tujuan pasar yang berbeda, komoditas sirip memiliki pasar utama yakni Hong Kong sedangkan komoditas daging hiu dipasarkan utamanya ke negara tetangga Malaysia dan China.

Jika dilihat lebih detil, ada perbedaan signifikan antara pelaporan ekspor oleh Indonesia dan negara pengimpor. Rata-rata kesenjangan komoditas sirip dan daging masing-masing sebesar 54.4% (1,462 ton) dan 47.1% (13,138 ton) dari volume ekspor yang dilaporkan oleh Indonesia (2,689 ton dan 27,871 ton). Perbedaan ini diestimasi bernilai 43.6 million US$ untuk sirip dan 21 million US$ untuk komoditas daging hiu (Gambar 5a & 5b).

baca juga : Perdagangan Hiu Marak di TPI Brondong, Berikut Foto-fotonya

 

Gambar 5. Aktifitas ekspor, pelaporan impor dan ketimpangan [5] produk sirip (a) dan daging (b).

 

Perbedaan ini ditenggarai disebabkan oleh pendataan yang tidak sistematik dan seragam di berbagai level otoritas mulai dari pendaratan hingga proses ekspor yang masing-masing otoritas memiliki pengkodeaan sendiri. Kondisi yang dapat menyebabkan ada data yang “tercecer”. Pendataan memang bukan perkara mudah dan harus disadari berbiaya tinggi. Biaya yang tinggi seharusnya menjadi pertimbangan untuk merevitalisasi pendataan mulai dari hulu ke hilir, sehingga akan memudahkan pelaporan, penelusuran dan pengawasan.

Perbedaan tersebut juga bisa terjadi akibat aktifitas perdagangan illegal. Istilah perdagangan illegal untuk komoditas hiu merupakan area abu-abu. Karena perdagangan produk dari jenis hiu yang masuk daftar CITES dibatasi dan diawasi. Disebut perdagangan illegal bila produk tersebut diperdagangan secara internasional tanpa quota, namun tetap legal bila diperdagangkan domestik.

Lain hal untuk spesies yang berstatus perlindungan penuh, jenis ini tidak boleh dimanfaataan secara ekstraktif dan bersanksi hukum bila dimanfaatkan baik untuk keperluan domestik apalagi internasional.

Adapula spesies yang berstatus tindakan konservasi, yakni jenis tersebut harus dilepaskan kembali bila tertangkap oleh alat tangkap tertentu di wilayah pemanfaatan yang ditetapkan. Contohnya hiu tikus (Alopias pelagicus) yang harus dilepaskan kembali jika tertangkap rawai tuna di wilayah perairan yang menjadi otoritas Indian Ocean Tuna Commission (IOTC).

Pengawasan sangat diperlukan untuk menjaga kredibilitas kepatuhan Indonesia sebagai suatu entitas negara. Pengawasan perdagangan hiu sangat menantang dan sarat hambatan. Hiu (hiu dan pari) memiliki ciri yang hampir serupa dan sulit dibedakan antara jenis yang diperbolehkan dan jenis yang terbatas pemanfaatannya. Karena di Perairan Indonesia tercatat terdapat 119 spesies hiu dan 106 spesies pari. Memilah 34 jenis dari 225 spesies bukanlah perkara mudah.

Kondisi ini diperumit dengan kenyataan bahwa produk turunan hiu sangatlah beragam, sebut saja sirip basah, sirip kering, sirip kupas dan hissit. Sangat mungkin produk-produk tersebut hilang kunci indentifikasi spesies, hingga diperlukan analisis genetik yang tidak murah dan memakan waktu.

baca juga : Perdagangan Hiu Marak di TPI Brondong, Berikut Foto-fotonya

 

Salah satu penjual hiu menunggu pembeli di TPI Brondong, Lamongan, Jawa Timur. Hampir setiap hari ada aktifitas jual beli hiu di TPI yang berada di pesisir Lamongan tersebut. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Melestarikan hiu dan pari, menjamin kemanusiaan

Mengingkat peran penting hiu baik secara ekologis maupun sosial-ekonomi, maka keberlangsungannya perlu diperhatikan. Saya ingat betul Almarhum Dharmadi (peneliti pada Pusat Riset Perikanan BRSDM KKP, sedikit dari orang yang mendedikasikan hidupnya untuk meneliti hiu dan pari) berkata “Pengelolaan dan konservasi sejatinya mengelola manusia, maka sangat penting melibatkan manusia dalam mengambil keputusannya”.

Sangat muluk (utopis), bila pengelolaan dan konservasi dituntut harus bisa membahagiakan setiap pihak. Paling tidak ruang partisipatif perlu dibuka seluas-luas, sehingga mampu memfasilitasi tanpa diskriminasi. Tidak elok pula bila pengelolaan dan konservasi bersifat memaksa satu arah tanpa memberikan alternatif. Wisata bisa menjadi salah satu solusi, namun bila tidak direncanakan dengan baik manfaatnya tidak akan optimal. Karena wisata membutuhkan fasilitas pendukung serta kesiapan sosial untuk menghadapi akulturasi budaya yang mungkin asing bagi komunitas lokal.

Aksi pengelolaan dan konservasi juga dapat berupa pengaturan penangkapan. Baik berupa penetapan jumlah maksimal mata pancing, pelepasan kembali dengan mempertimbangan keselamatan nelayan, penggunaan alat penunjang untuk mengurangi tangkapan sampingan dan hiu serta penetapan kawasan konservasi bagi habitat penting hiu. Opsi terakhir perlu perencanaan yang matang dan harus merangkul masyarakat, agar kawasan konservasi tidak dipandang sebagai “pencaplokan wilayah” serta membagun pemahaman manfaat dan peran penting kawasan konservasi. Wilayah konservasi perlu dipahami sebagai area penahan (buffer zone), area pemulihan (recovery zone) dan area penunjang (supporting zone) bagi masyarakat setempat.

Salah satu instrumen global untuk melakukan pengelolaan dan konservasi hiu adalah instrumen perdagangan. Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) merupakan badan resmi yang memiliki peraturan mengikat mengenai perdagangan hewan dan tumbuhan. Saat ini terdapat 48 species yang perdagangan dibatasi (controlled species) yang termasuk dalam appendix I dan II. Adapun 30 spesies dari 48, hidup di perairan Indonesia. Jumlah tersebut ditambah 4 spesies pari tawar yang dilindungi penuh di Indonesia menurut KEPMEN-KP No.1/2021 dan PERMEN-LHK No.20/2018. Sehingga terdapat 34 spesies hiu dan pari yang terbatas pemanfaatannya. Beberapa jenis hiu dan pari dalam daftar CITES juga berstatus perlindungan penuh di Indonesia, yakni hiu paus dan pari manta.

Peningkatan jumlah spesies hiu dan pari yang masuk dalam CITES, membuat pengawasan perdagangan semakin menantang dan membutuhkan peningkatan kapasitas pemantauan mualai dari penangkapan hingga konsumen/importir. Skenario saat ini memerlukan upaya untuk: i) meningkatkan resolusi taksonomi statistik pendaratan dan perdagangan, ii) standarisasi kode HS berbasis produk untuk memfasilitasi penamaan yang konsisten di antara otoritas; iii) memperluas kemampuan teknologi (misalnya pengujian DNA) untuk identifikasi produk yang akurat; iv) perlunya pertimbangan aspek sosial-ekonomi perikanan dalam penyusunan langkah-langkah konservasi dan pengelolaan yang lebih efektif.

menarik dibaca : Kisah Para Pemburu Hiu Pulau Ambo [1]

 

Perburuan hiu dilakukan karena sudah turun temurun, ditambah ada pemodal yang menyediakan perahu. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sadar akan potensi dan tantangan besar yang dihadapi dalam pengelolaan dan konservasi hiu, sudah sepatutnya Indonesia sebagai bangsa bahu-membahu melestarikan hiu dengan apa yang kita miliki. Keberhasilan pengelolaan dan konservasi diukur dengan bagaimana masyarakat memahami manfaat tindakan konservasi.

Penelitian perlu digalakkan dan menjadi unsur penting penyusunan kebijakan. Penguatan lini pengawasan sangat diperlukan bagi bangsa bahari seperti Indonesia, dimana tantang geografis menjadi pertimbangan penting sekaligus keunggulan Indonesia. Sosialisasi yang humanis setidaknya harus sering terlihat sehingga upaya pengelolaan dan konservasi dapat mencapai tujuan utamanya, yakni manusia dan alam bisa saling menghargai dan mengambil manfaat satu sama lain.

 

***

 

Tulisan ini telah diterbitkan pada jurnal Marine Policy Science Direct, Volume 133, November 2021 :  Prasetyo, A. P., McDevitt, A. D., Murray, J. M., Barry, J., Agung, F., Muttaqin, E., & Mariani, S. (2021). Shark and ray trade in and out of Indonesia: Addressing knowledge gaps on the path to sustainability.

 

REFERENSI

  1. Suharsono, Biodiversitas Biota Laut Indonesia. 2014, Jakarta: Lemaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
  2. Ali, A., et al., Biodiversity and habitat preferences of living sharks in the Southeast Asian Region. Indonesia Fisheries Research Journal, 2018. 24(2): p. 133-140.
  3. Last, P., et al., Rays of the World. 2016, Australia: CSIRO Publishing.
  4. FAO, Fishery and Aquaculture Statistics, in Global capture production 1950-2018 (FishstatJ). 2020, FAO Fisheries and Aquaculture Department Rome.
  5. FAO, Fishery and Aquaculture Statistics, in Global capture production 1950-2019 (FishstatJ). 2021, FAO Fisheries and Aquaculture Department Rome.
  6. Prasetyo, A.P., et al., Shark and ray trade in and out of Indonesia: Addressing knowledge gaps on the path to sustainability. Marine Policy, 2021. 133: p. 104714.
  7. Foale, S., et al., Food security and the Coral Triangle Initiative. Marine Policy, 2013. 38: p. 174-183.
  8. Dharmadi, A.P. Prasetyo, and A. Ahmad, Marketing and Trade of Sharks and Rays in Java and Sumatera (Indonesia). 2019, SEAFDEC/MFRDMD: Malaysia.
  9. Mustika, P.L.K., M. Ichsan, and H. Booth, The Economic Value of Shark and Ray Tourism in Indonesia and Its Role in Delivering Conservation Outcomes. Frontiers in Marine Science, 2020. 7(261).
  10. AFQQI-MMAF, Indonesia Marine and Fisheries Export. 2019, Agency for Fish Quarantine and Quality Insurance, Ministry for Marine Affairs and Fisheries (AFQQI-MMAF): Jakarta, Indonesia.

 

***

 

Penulis :  *Andhika Prima Prasetyo, Peneliti pada Pusat Riset Perikanan, BRSDM, KKP, Mahasiswa S3 di University of Salford, UK, email: andhika.prasetyo@kkp.go.id

 

 

Exit mobile version