Mongabay.co.id

Bila Inpres Moratorium Sawit Setop Bisa Ancam Komitmen Iklim Indonesia

Sawit dan hutan hujan di sekitar kawasan Proyek Tanah Merah, 2017. Foto oleh Nanang Sujana

 

 

 

 

Kebijakan setop sementara izin sawit lewat Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 akan berakhir pada September ini. Memasuki detik-detik terakhir ini, belum ada kejelasan dari pemerintah akan menyetop atau memperpanjang kebijakan ini. Berbagai kalangan mendesak, perpanjangan Inpres Moratorium Sawit guna melanjutkan pembenahan tata kelola yang masih berjalan. Kalau kebijakan ini setop,  bisa mengancam komitmen iklim Indonesia.

Pada Hari Hutan Sedunia, 2016, Presiden Joko Widodo melontarkan niatan memperbaiki tata kelola kebun sawit lewat setop sementara izin-izin sawit. Dua tahun kemudian, tepatnya, 19 September 2018, Inpres tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit, pun rilis.

Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan mengapresiasi kebijakan moratorium sawit, sekaligus mendesak perpanjangan. Perpanjangan kebijakan moratorium sawit ini, katanya, merupakan hal penting dalam pencapaian penurunan emisi 17% atau 24,5% untuk sektor kehutanan pada 2030.

Identifikasi Yayasan Madani, kata Nadia, sekitar 3,85 juta hektar hutan alam berada dalam izin sawit yang berisiko terdeforestasi dan mengancam komitmen nationally determined contributions (NDC) Indonesia.

Dia sebutkan, kebijakan ini sudah membuahkan hasil seperti, pemerintah pusat menetapkan konsolidasi data dan menyelesaikan perhitungan luasan perkebunan sawit. Hal ini jadi landasan penting dalam menyelesaikan persoalan sawit.

Meski begitu, katanya, masih banyak masalah sawit perlu diselesaikan pemerintah, seperti sengkarut perizinan, legalitas lahan, subsidi dana, dan anggaran tata kelola minim bagi petani dan perimbangan keuangan.

“Sawit itu berkah, karena itu memperbaiki tata kelola ini supaya yang berkah ini lebih berkah lagi. Memang harus diperbaiki. Kami dari Koalisi Masyarakat Sipil berharap moratorium sawit bisa diperpanjang,” katanya, dalam webinar membahas Inpres Moratorium Sawit,  belum lama ini.

Dia mengatakan, lewat moratorium sawit ini bisa menciptakan iklim usaha kondusif kalau mau menyelesaikan tumpang tindih dalam sektor ini. Dia bilang, akan ada konsekuensi harus dibayar pemerintah kalau moratorium tak diperpanjang, salah satu, ongkos perusahaan menghadapi konflik agraria.

 

Baca juga: Bagaimana Implementasi Inpres Moratorium Sawit dalam Tataran Petani?

Perusahaan yang membuka kebun sawit dan berkonflik lahan dengan masyarakat adat Laman Kinipan di Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

Studi dari The Indonesia Business Council for Sustainable Development menunjukkan, biaya yang berwujud (tangible cost) ditanggung perusahaan dalam menghadapi konflik agraria sebesar US$70.000-US$2.500.000. Sedangkan biaya tak berwujud (intangible cost) yang ditanggung perusahaan sekitar US$600.000-US$9 juta.

“Moratorium ini bisa membantu perusahaan meningkatkan efisiensi dan efekvitas biaya operasional.”

M.Iqbal Damanik, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengingatkan, inpres ini menjadi satu-satunya payung hukum dalam mengkaji ulang izin perkebunan sawit. Kalau tidak lanjut, komitmen Indonesia jadi kabur. Kebijakan ini, katanya, harus diperkuat. “Kalau perlu angkat menjadi perpres.”

Keberadaan sawit pun, katanya, harus benar-benar optimal untuk kesejahteraan masyarakat. “Kritik selama ini agar keberkahan ini tidak berubah menjadi kutukan. Bagaimana tata kelola [sawit] baik bisa jadi penopang.”

Pada tingkat daerah, katanya, masih banyak tantangan dalam pelaksanaan kebijakan moratorium. Salah satunya, sosialisasi kebijakan minim dan tidak memuat target spesifik.

Pada level provinsi dan kabupaten, beberapa pemerintah daerah seperti Aceh, Buol, Sanggau, Gorontalo dan Aceh Utara, merespon kebijakan ini dengan menurunkan dalam aturan di tingkat lokal dalam bentuk surat edaran (SE) maupun peraturan bupati (perbup).

Lalu, provinsi yang memiliki komitmen positif terhadap inpres ini ada lima, yakni, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Riau, Papua Barat dan Kepulauan Riau dengan enam kota, dan kabupaten, yaitu Sintang, Kayong Utara, Barito Timur, Lingga, Banyuasin dan Musi Banyuasin.

“Inpres ini juga tidak memuat target-target spesifik. Misal, terkait peningkatan produktivitas petani sawit. Skalanya belum jelas, seberapa jauh peningkatan yang harus dicapai?” ujar Nadia.

Tidak ada anggaran khusus di level daerah, katanya, menyebabkan implementasi kebijakan pun sulit.

 

Baca juga: Organisasi Masyarakat Sipil Desak Perpanjangan Inpres Moratorium Sawit

Konflik lahan puluhan tahun antara warga adat Pantai Raja dan perusahaan sawit negara, PTPN V tak kunjung usai. Warga protes dan menduduki kembali lahan adat mereka yang kini sudah berubah jadi kebun sawit. Foto: dokumen warga

 

Masih dalam kajian

Moch. Edy Yusuf, Asisten Deputi Pengembangan Agribisnis Perkebunan Kementerian Koordinator Perekonomian mengatakan, pemerintah masih melakukan tinjauan dan penelaahan terkait akan memperpanjang moratorium izin sawit atau tidak.

Salah satu pertimbangan, ada UU Cipta Kerja dan turunannya, termasuk PP Nomor 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan.

“Jadi, memang kita masih mempertimbangkan, terutama apakah sudah cukup di situ atau inpres ini kita perpanjang. Atau kalau tidak dalam bentuk inpres, lebih kuat lagi jadi perpres (peraturan presiden),” katanya.

Pembahasan itu masih level pemerintah. Meski demikian, dia memastikan, komitmen pemerintah cukup jelas dalam upaya perbaikan tata kelola perkebunan sawit.

“Komitmen pemerintah sudah jelas. Luas tutupan sawit 16,38 juta hektar, itu luas yang selalu kita jaga sejak moratorium, tidak ada lagi izin keluar,” katanya.

Pada angka 16,38 juta hektar, lahan yang memiliki hak guna usaha (HGU) 10,2 juta hektar, sisanya dalam proses verifikasi.

Ada 3,3 juta hektar sawit dalam kawasan hutan dan sudah ada 529.700 hektar dalam proses tukar menukar kawasan hutan serta 183.600 hektar proses pelepasan ketelanjuran.

Pada tingkat daerah, Pemerintah Papua Barat bersama KPK mencabut izin sekitar 12 perusahaan perkebunan sawit seluas 267.000 hektar. Edy Yusuf mengapresiasi. “Artinya, pemerintah benar-benar komitmen terhadap moratorium ini. Kita sangat menekankan kepada pihak-pihak yang disebutkan di dalam inpres itu.”

Kebijakan pemerintah ini, pada akhirnya untuk kesejahteraan. “Karena sawit adalah rumah bagi 16,2 juta tenaga kerja baik langsung maupun tidak langsung.”

 

 

*****

Foto utama:  Hutan hujan di Papua, yang berubah jadi kebun sawit, 2017. Foto: Nanang Sujana

Exit mobile version