Mongabay.co.id

Basran Burhan: Arkeologi Jadikan Saya Lebih Hargai Lingkungan dan Manusia

 

 

Ketika mengambil jurusan arkeologi di Universitas Hasanuddin, 18 tahun lalu, Basran Burhan, hanya acak, bukan pilihan yang sudah disiapkan. Dalam perjalanan, di kampus itu, dia menemukan banyak teman dan mulai bersama menginisiasi perpustakaan kecil bernama Libris – plesetan, dari library.

Basran cinta berpetualang di alam hingga bergabung dengan organisasi pencinta alam Edelweis Fakultas Sastra–saat ini Fakultas Ilmu Budaya.

Rasa ingin tahunya juga besar, hingga sejak kuliah sampai sekarang, dia kerap terlibat penelitian-penelitian arkeologi dari Balai Arkeologi (Balar) Makassar dan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sulawesi Selatan.

Dari praktik lapangan itulah dia menyadari, kalau ilmu arkeologi sangat menyenangkan dan menjadikan lebih meghargai lingkungan dan manusia secara luas.

Baginya, migrasi manusia masa lalu adalah perpindahan yang menjadikan setiap orang seharusnya saling menghargai karena saling terhubung.

“Arkeologi, membuat saya lebih banyak belajar di lapangan. Melihat langsung apa yang ada dalam buku,” kata pemuda 36 tahun ini.

Baca juga: Denisovan, DNA Manusia Purba Pertama Ditermukan di Kawasan Wallacea

 

Basran Burhan, peneliti geoarkeologi. Dok: pribadi

 

Pada 2011, penelitian besar Griffith University Australia, bekerjasama dengan Universitas Hasanuddin, di Leang Burung Maros, dia ikut terlibat. Penelitian itu melibatkan puluhan orang. Para arkeolog bekerja siang dan malam mencari temuan, mengepak, dan menganalisis. Dia juga ikut dalam penelitian di Flores dalam temuan Homo floresiensis.

Publikasi penelitian Basran juga sudah tayang di salah satu jurnal kenamaan internasional seperti Nature. Pada 25 Agustus 2021, publikasi terbaru Basran bersama rekan peneliti arkeolog menjadi heboh karena berhasil mengekstraksi DNA dari Leang Panningnge, di Maros. Publikasi itu menemukan rangka manusia berusia 7.300–7.200 tahun lalu, yang kemudian diberi nama Bèssè, dan mendapatkan DNA dari spesies Denisovan.

Sebelumnya, dia juga ikut andil dalam temuan lukisan hewan tertua dunia ditemukan di Leang Tedongnge, Kampung Biku, Pangkep berusia minumum 45.500 tahun lalu.

Publikasi itu membuat namanya jadi kandidat penerima PhD di Griffith University, Australia, tanpa perlu mengenyam pendidikan strata dua (S2). “Saya tidak tahu, Griffith yang mau. Saya dengan senang hati menerimanya.”

Eko Rusdianto, jurnalis Mongabay Indonesia, berbincang-bincang dengan Basran Burhan, seputar aktivitasnya sebagai arkeolog yang menekuni kajian sedimentasi (geoarkeologi). Berikut petikan wawancaranya:

 

Menurut Anda, seberapa penting temuan DNA manusia purba di kawasan Wallacea ini?

Ini temuan luar biasa. Kita tak pernah menyangka jika temuan di wilayah tropis dapat mengawetkan DNA. Dengan usia 7.300 – 7.200 tahun lalu, ini menjadi yang pertama. DNA itu kelak akan mengungkap banyak hal. Akan menjawab misteri mengenai jalur migrasi leluhur manusia.

 

Rangka itu memiliki DNA Denisovan, bisa Anda jelaskan?

Denisovan adalah spesies pra-sapiens (manusia modern). Spesies ini berkerabat dengan Neanderthal yang persebaran berada di Eropa. Kemudian penemuan Denisovan di Siberia, mengungkap ragam spesies manusia masa lalu, yang diberi label “leluhur misterius”.

DNA Denisovan kemudian ditemukan di masyarakat Papua dan penduduk asli Australia saat ini. Hipotesa ini berkembang, tentang bagaimana mereka mecapai daratan Sahul (ketika itu Australia dan Papua, masih menyatu sebagai satu benua). Penjelasannya, diyakini melewati kawasan Wallacea.

Temuan rangka perempuan–yang kemudian diberi nama Bèssè– ini memberikan jawaban. Dia memiliki DNA Denisovan. Jadi, jalur migrasi itu melewati Wallacea, dan Pulau Sulawesi menjadi pulau terbesar di kawasan ini.

Baca juga: Mengenal Satwa-Satwa Purba dari Sulawesi

 

Basran dan foto lukisan babi purba di Leang Tedongnge, diperkirakan lukisan ini berusia 45.500 tahun yang lalu. Foto Eko Rusdianto/Mongabay Indonesia

 

Apa penyebab Bèssè meninggal?

Kami tidak tahu. Tapi pasca kematian itu jelas ada perlakuan. Misalkan, jenasah ditindih batu. Kedua tangan, kedua kaki, dan panggul. Lalu posisi tertekuk. Model penguburan ini bertahan sampai periode Austronesia, meskipun sudah menggunakan wadah seperti peti.

 

Bukankah usia 7.000 tahun lalu itu masih muda dalam perjalanan manusia?

Benar. Jika itu bicara sejarah manusia dan jika kita memulai dari teori Out Africa, itu ratusan hingga puluhan ribu tahun lalu. Tapi ini soal DNA yang terservasi, tersimpan dengan baik.

Kenapa bisa terawetkan? Saya kira logikanya sederhana, tidak ada perubahan signifikan dalam lansekap lingkungan sekitar, sejak pertama kali dia dikuburkan hingga sekarang. Seperti, faktor geologis, erosi, atau keadaan yang membuat gua itu pernah terendam air. Perubahaan suhu tidak ada yang terjadi secara masif. Itu dapat terlihat pada lapisan tanah di Leang Panningnge yang belum terkontaminasi.

Lapisan sedimen di kotak ekskavasi pun yang kedalaman hingga 3,3 meter, memberikan penjelasan. Lapisan tanah itu kemudian dibagi menjadi lima layer kebudayaan. Lapisan termuda pada bagian atas berusia sekitar 1.500 tahun lalu. Lapisan kedua 4.000–3.700 tahun lalu. Lapisan ketiga 4.500–4.300 tahun lalu. Lapisan keempat 7.900–5.100 tahun lalu. Lalu, lapisan kelima berusia 9.400– 8.700 tahun lalu.

 

Apa arti lapisan tanah itu?

Lapisan itu setidaknya memberikan kita informasi mengenai bagaimana manusia Panningnge menghuni gua itu. Antara 7.000 tahun lalu hingga 1.500 tahun lalu, dimana temuan permukaannya sangat banyak memperlihatkan artefak batu.

Baca juga: Kampung Biku dan Lukisan Babi Purba Sulawesi

 

Basran Burhan sedang melakukan ekskavasi. Dok: pribadi

 

Apakah temuan ini bisa menjelaskan bagaimana manusia Panningnge hidup?

Secara umum, di lapisan temuan rangka (sekitar 7.000 tahun yang lalu), ditemukan mata panah bergerigi (maros point). Karena ada temuan itu, ya tentu mereka berburu. Terus ada temuan tulang binatang. Lalu di atas lapisan rangka ada mikrolit (alat batu), walaupun sampai saat ini fungsi masih menjadi perdebatan, paling tidak bisa digunakan untuk memotong. Tapi bagaimana cara mereka mendapatkan makanan yang bersumber dari tumbuhan, itu sampai sekarang belum ada bukti.

Tapi saya kira ke depan kelak akan terjawab, hanya saja saat ini belum ada analisis pollen tumbuhan.

 

Apakah Leang Panningnge adalah gua hunian?

Ya jelas, ada artefak batu yang ditemukan. Itu jelas pembuatannya di tempat itu. Ada sisa makanan juga yang ditemukan.

Kemudian, karena ada temuan rangka, apakah gua itu untuk penguburan? Saya kira itu bukan hal salah. Di beberapa budaya di Indonesia hingga saat ini juga masih menyimpan jenasah di rumah. Atau penguburan jenasah keluarga berada dekat rumah, bahkan halaman rumah.

 

Mengapa Leang Panningnge tak memiliki lukisan gua?

Ada banyak kemungkinan. Kita tidak tahu secara pasti, tapi hipotesanya, lukisan berada pada pleistosen dan pleistosen akhir (lukisan tertua figur hewan berusia 45.500 tahun lalu di Leang Tedeningnge dan lukisan telapak tangan berusia 39.900 tahun lalu di Leang Timpuseng). Waktu itu, kemungkinan belum ada penghuni manusia pembuat lukisan yang tinggal di Panningnge. Mungkin terkait kondisi gua saat itu.

Bisa jadi, gua itu belum layak huni. Mungkin saja sungai masih ada di gua itu, mengalir di tempat itu. Tapi ada kemungkinan seperti itu, karena di bawah rangka manusia, ada transformasi sedimen itu sungai.

Nanti ketika masuk holosen, ada perubahaan lingkungan. Lalu, beberapa tempat menjadi kering, baru kemungkinan Panningnge layak huni. Sebab, di dekat Panningnge ada gua (wilayah Uttangnge) yang memiliki lukisan, tapi Panningnge tidak ada, padahal itu dekat.

 

Jika “harta” Panningnge berada dalam lapisan tanahnya, bagaimana agar bisa menjaganya?

Benar, ini jadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dengan cepat dan tepat. Selama ini, model pelestarian masih pada fisik. Misal, pada lukisan dinding, ya, ada di dinding. Atau temuan tulang, ya tulangnya. Tetapi, temuan ini, bukan hanya pada bendanya, tapi apa yang ada dalamnya.

Analoginya, seperti hardisk. Kalau selama ini, kita menjaga casing, fisiknya. Nah, pada temuan ini, bukan pada bungkusan, tapi isi, file-file data di dalam. Ini lebih sensitif. Karena itu, perlakuan pelestarian harus lebih protektif.

Sedimentasi di Panningnge, dapat mereservasi DNA dengan baik, karena tak ada perubahaan lingkungan dengan cepat.

 

Bagian kepala (tengkorak) Besse di Leang Paningnge. Foto: Departemen Arkeologi Universitas Hasanuddin Makassar

 

Menurut Anda, apa yang membuat Panningnge bertahan sampai kini?

Ini menarik. Karena Panningnge dan sekitar bukan wilayah pertanian masif, tanah lantai gua tetap terjaga.

Jika ingin membandingkan di wilayah Leang-leang atau Bantimurung dan sekitar, warga mengambil tanah gua untuk kebutuhan pertanian, karena mempunyai humus baik dan jadi pupuk. Tidak heran, ketika mengunjungi situs arkeologi, ada banyak sekali sedimen hilang.

Selain itu, masa lalu gua juga dimanfaatkan warga sebagai tempat ternak, seperti sapi. Tapi itu relatif aman untuk tinggalan bawah tanahnya. Biasanya, membuat api untuk menghangatkan ternak, pada kasus gua tertentu yang memiliki lukisan dinding akan tertutup oleh asap.

Panningnge, menurut saya terbuka dan dikenal dalam pertanian ketika persediaan pupuk kimiawi sudah tersedia. Jadi, tidak tersentuh.

 

Mengapa Panningnge begitu penting?

Saat ini, karena hanya gua itu yang sedimennya dapat menyimpan DNA. Gua-gua di wilayah rendah Maros-Pangkep, saat musim hujan lantai akan penuh air. Itu membuat sedimen terkontaminasi.

Sedimen itu adalah bicara tentang budaya dalam tanah dan bicara mengenai lapisan kebudayaan. Dalam setiap periode, akan kelihatan. Orang bicara dalam periode tertentu, bagaimana hidup manusia pendukungnya. Lalu, ada perubahaan, dan dimana batas umurnya. Nah, itu kan agak susah kalau tidak memahami sedimentologi.

Salah satu kasus populer adalah, Liang Bua, di Flores. Dua kali penggalian sebelumnya hanya berhenti pada lapisan tufa dan dianggap steril. Lalu, para ahli geoarkeologi, membuka kembali kotak dan meneruskan penggalian yang sama, dan menemukan rangka manusia yang paling terkenal itu, Homo florensis.

 

Anda katakan Panningnge sangat sensitif, mengapa?

Kalau jalan masuk ke Panningnge posisinya mendaki (karena ada gundukan tanah), lalu tanah menurun masuk ke badan gua. Nah, gundukan inilah yang sangat penting. Tanah gundukan kecil yang memanjang mengikuti mulut gua inilah yang menyimpan temuan arkeologis, dan sejarah perjalanan menusia.

Baca juga: Seni Ukir Purba dari Karst Maros

 

Basran Burhan sedang melakukan ekskavasi. Dok: pribadi

 

Sudah ada yang mulai membangun penginapan di dekat gua, menurut Anda?

Kalaupun, pertimbangan buruknya harus wisata, jalan satu-satunya adalah didampingi para ahli untuk tahu mengenai apa hal yang dapat dan tidak boleh dilakukan. Itu butuh kajian lagi untuk melihatnya.

 

Ada beberapa orang menginisiasi wisata Panningnge dan akan melakukan pembersihan coretan di dinding gua. Bagaimana menurut Anda?

Apa ya. Saya tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Mau menggunakan apa menghapus spidol itu? Menggunakan air, atau minyak. Menggunakan air, saya tidak tahu apakah aman atau tidak, karena ada campuran yang bisa masuk tanah dan mengkontaminasi lapisan.

Menurut saya, membiarkan coretan-coretan itu, akan lebih aman.

Ya, memang, ada perspektif dulu di arkeologi, bahwa itu dianggap sebagai kelakuan merusak (vandal). Jangan sampai, kita ingin memperbaiki, malah membuat makin rusak.

 

Sudah pernah ada pembersihan coretan di tempat lain?

Saya tidak tahu. Saya kira belum pernah. Contoh paling ideal adalah konservsi lukisan di Leang Sumpangbita, Pangkep. Beberapa tahun lalu, lukisan perahu yang sudah mulai memudar diperjelas kembali.

Mungkin pada masa itu, itu cara tepat. Tapi sekarang dengan ada model pertanggalan rock art yang baru itu dengan menggunakan uranium series, itu memperburuk keadaan. Pada masa konservasi lukisan itu, dilakukan pembersihan dinding. Termasuk menghilangkan flowstone (ornamen gua tirai), yang punya potensi untuk penanggalan. Jangan sampai itu terulang. Walaupun, di Panningnge tidak ada lukisan.

 

Exit mobile version