Mongabay.co.id

Keganjilan di RUU Energi Baru dan Terbarukan

 

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membuat naskah akademik dan draft Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) sejak 25 Januari 2021 dan ditargetkan jadi Undang-undang pada Oktober 2021. Peneliti membuka sejumlah keganjilan dan paradoks di regulasi ini yang fokus membahas nuklir dan produk turunan batu bara.

Hal ini dibahas dalam workshop daring Meliput Isu Energi Terbarukan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan Yayasan WWF Indonesia pada 29-30 Agustus 2021.

Pemanfaatan energi di Indonesia masih didominasi oleh bahan bakar fosil, terutama batu bara yang menghasilkan emisi gas rumah kaca besar. Sementara itu, sumber daya energi terbarukan yang melimpah di Indonesia belum dimanfaatkan secara maksimal. Pemerintah Indonesia telah menetapkan target bauran EBT menjadi 23% pada tahun 2025.

Satrio Swandiko Prilianto, Renewable Energy Campaigner Greenpeace South East Asia menyimpulkan Indonesia memanfaatkan energi-energi baru yang dinilai solusi semu. Rekomedasinya adalah mengeluarkan proyek-proyek energi fosil dalam pipeline, meningkatkan ambisi/target energi terbarukan, dan melakukan pengembangan dalam penentuan harga. Caranya, mencabut subsidi ke energi fosil dan dialihkan ke energi terbarukan. Teknologi yang direkomendasikan adalah surya, bayu, dan minihidro/mikrohidro karena fleksibilitas penggunaannya dan mendorong pengembangan energi terbarukan yang terdistribusi.

Ia memaparkan perbedaan energi baru dan terbarukan adalah teknologi. Sedangkan RUU EBT ini dibuat untuk merespon mitigasi dampak krisis iklim. Apakah benar bisa menyasar krisis iklim?

Pasal 9 draft RUU EBT menyebutkan sumber energi baru adalah nuklir, hidrogen, gas metana batu bara (coal bed methane/CBM), batu bara tercairkan (liquefied coal), dan batu bara tergaskan (gasified coal). Kenapa masih banyak mengurus sumber energi fosil?

Pasal 30 menyebutkan sumber energi terbarukan adalah panas bumi, angin, biomassa, sinar matahari, aliran dan terjunan air, sampah, limbah produk pertanian, limbah atau kotoran hewan ternak, gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut, dan sumber lainnya.

Nuklir diklaim energi baru walau termasuk teknologi lama, di Indonesia sudah dimulai pada 1965. Secara global malah ada 13 reaktor nuklir (PLTN) tutup permanen di Jepang, Amerika Serikat, Swis, Jerman, Korea, Rusia, Swedia, dan Taiwan dengan total daya 9,4 GW. Ada sejumlah alasan penutupan, misalnya berusia lebih 40 tahun atau misalnya Jepang merevisi keamanan dan tidak bisa mengikuti regulasi terbaru. Satrio menyebut PLTN di Amerika tutup karena kondisi pasar yaitu kalah saing dengan energi terbarukan.

baca : Pembangkit Nuklir Bukan Solusi, Belajar dari Tragedi Fukushima

 

 

Satrio menyebut saat pandemi terjadi penurunan permintaan listrik dunia 2020 dan berpengaruh pada pembangkit nuklir yang turun 4%. Karena kapasitasnya rata-rata besar di atas 1 GW, maka untuk mencapai nilai ekonomi tinggi, load factor di atas 90%, PLTN harus berjalan dengan kapasitas penuh karena biayanya mahal.

Di sisi lain, waktu konstruksi reaktor nuklir tidak pasti, sehingga banyak yang mangkrak. Misalnya dari 37 reaktor terakhir di 9 negara sejak 2004, waktu pembangunannya 3,8 hingga 36 tahun. “Lama sekali, ada banyak hal yang bisa dikembangkan selama durasi waktu tersebut,” lanjut Satrio.

Dari jejak karbon, nukir termasuk terendah tapi jejak airnya besar. Air yang digunakan untuk mendinginkan pasca bencana bocornya reaktor nuklir Fukushima menyebutkan air yang telah terkontaminasi 1,25 juta ton.

Satrio menambahkan, di Amerika, pembuangan limbah radioaktif nuklir sulit dikelola, dari 96 reaktor komersil yang beroperasi ada lebih 90 ribu ton limbah radioaktif tinggi. Perancis menghasilkan limbah nuklir tertinggi, karena menghidupi 72% sumber listriknya. Limbah masih disimpan dalam fasilitas temporer.

Sumber energi baru lain dalam RUU EBT adalah gasifikasi, proses produksi gas dari batu bara. Gas yang dihasilkan adalah Hidrogen (H2) untuk pembakaran dengan beragam teknologi. Walau hidrogen disebut rendah emisi namun hasil gasifikasi perlu energi dan menghasilkan emisi. “Ini buang-buang energi,” sebut Satrio. Dibanding energi terbarukan, Global Warming Potential (GWP) pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar gas dari gasifikasi masih lebih tinggi.

Kesimpulannya, dekarbonisasi dipertanyakan karena sedikitnya pengurangan emisi yang dicapai dengan teknologi “ energi baru” ini. RUU ini juga bukan untuk energi terbarukan karena fokus ke nuklir. “Menciptakan masalah lain yang jadi masalah baru. Tidak adanya justifikasi tegas kenapa harus menggunakan nuklir?,” tanya Satrio.

baca juga : Setop Bangun Pembangkit Batubara, Saatnya Ramah Bumi dengan Energi Terbarukan

 

Pembangkit listrik tenaga batubara Suralaya di Cilegon city, Banten, Indonesia. Foto : Ulet Ifansati/Greenpeace

 

Chrisandini dari Energy Project Leader Yayasan WWF Indonesia menambah perspektif kritis pada proyek energi terbarukan. Tak serta merta energi terbarukan bersih, terutama skala besar. Secara global, dibandingkan fosil, jejak karbonnya jauh lebih sedikit dan bisa dikelola. Sedangkan dampak lokal, termasuk alat dan alih fungsi lahan.

Misalnya Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), dari analisis keseluruhan siklusnya yang perlu dipertimbangkan adalah pengambilan bahan baku dan pembukaan lahan. Sedangkan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) membuat penggenangan lahan perlu lahan besar termasuk akses infrastruktur. Apalagi biasanya dibangun di daerah hulu seperti hutan dan sumber air.

Sedangkan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) yang perlu diperhatikan adalah energi untuk mengebor dan memompa air. Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) disebut menggunakan lahan 12-57 ha per MW kapasitas terpasang dan putaran turbin mengancam satwa terbang.

Dampak pembangunan bendungan untuk PLTA menurut Chrisandini cukup serius. Misalnya sedimentasi tertahan di waduk, mengubah suhu sungai, ikan tidak bisa lewat atau melompati bendungan. Ini membatasi migrasi ikan, karena itu di beberapa negara ada akses ikan. Tapi masih sulit berenang ke hilir jika bendungannya banyak. Contoh lain, ikan sidat bertelur di laut, kemudian pindah ke sungai menuju hulu untuk jadi dewasa. Jika migrasinya terhambat, akan mengurangi populasi sidat. Namun belum banyak studi dampak bendungan pada populasi ikan.

Pun demikian, tetap butuh energi terbarukan sebagai transisi fosil. Kombinasi energi terbarukan dalam sistem jaringan listrik dilakukan dengan batasi jumlah PLTA, dan menentukan lokasi pembangkit yang lebih tepat untuk mengurangi dampak negatif. Tantangannya adalah membuat best practice untuk pengaman lingkungan dan sosial. Secara global sudah ada sejumlah panduan protokol penilaian misalnya Hydropower Sustainability Assesment.

baca juga : Hati-hati dengan Transisi Energi Bersih

 

Indonesia memiliki potensi panas bumi terbesar di dunia. Foto: Indomigas

 

Verena Puspawardani Program Director Coaction Indonesia menambahkan, tantangan menuju transportasi bersih sangat besar karena 91% konsumsi bahan bakar fosil untuk sektor transportasi. Pemerintah kini fokus di transportasi biodiesel dan kendaraan listrik (HEESI, 2020). Karena ada peluang bahan baku nikel produksi Indonesia. Sebanyak 27% emisi sektor transportasi dari total emisi sektor energi (Climate Transparency, 2020). Indonesia posisi 10 penyumbang emisi dan berkomitmen mengurangi emisi 29-41% pada 2030.

Biodiesel dipakai untuk transisi transportasi darat ke biodiesel dan listrik. Transportasi laut ke biodiesel, dan udara transisi ke bio-avtur. “Biasanya untuk aspek berkelanjutan, tapi Indonesia karena murni aspek ekonomi dan over supply,” sebutnya.

Narasi pemerintah untuk ketahanan energi adalah pengurangan konsumsi BBM impor, terwujudnya energi bersih, dan hilirisasi CPO.

 

Koalisi CSO untuk Energi Terbarukan

Arif Adiputro, Project Manager Indonesia Parliamentary Center menyebut saat ini ada Koalisi CSO untuk energi terbarukan yang mengadvokasi RUU EBT. Menurutnya konsep RUU ini belum jelas apakah transisi energi atau mengakomodir proyek khusus. Ia mengatakan ada masalah transparansi dalam pembahasannya karena masukan CSO belum terakomodir. “Kalau targetnya transisi energi yang difokuskan harusnya energi terbarukan, bukan energi lain yang sudah ada di UU lain seperti nuklir dan batu bara,” katanya.

Grita Anindarini, Deputy Director for Programs and Head of Environment Governance and Climate Justice Division Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) pun memaparkan ketidakcocokan regulasi di bidang energi ini. Legislasi UU belum mendukung pengembangan energi terbarukan. Sebelumnya, UU Minerba beri jaminan kelangsungan batu bara dan UU Cipta Kerja beri royalti 0% bagi produsen batu bara.

“Hilirisasi batu baru masuk proyek strategis nasional. Inilah yang dikhawatirkan, semangat transisi energi tidak fokus ke energi terbarukan,” katanya.

Ada satu regulasi yang dinilai menarik, Permendes 13/2020 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa. Salah satunya tentang penggunaan dana desa untuk pemulihan ekonomi salah satunya dengan penyediaan listrik desa untuk mewujudkan desa berenergi bersih dan terbarukan.

baca juga : Menyoal Transisi Energi Sektor Transportasi

 

Asap pekat dari bus kota di kota Jakarta. Foto : istimewa

 

Andri Prasetiyo, peneliti Trend Asia menyatakan tidak sepakat dengan terminologi energi bersih yang memasukkan batu bara. “Mau meninggalkan batu bara tapi mengajukan gas alam sebagai solusi, termasuk gasifikasi batu bara. Ini paradoks. Pemerintah gamang dalam masa transisi. Menutup batu bara tapi menyebut gasifikasi,” tukasnya.

Ke depan batu bara akan masuk masa sunset, demand tidak ada, sementara ongkos besar dan pendanaan investasi makin susah. Muncullah mengamankan pasar dalam negeri agar produksi terserap. Ia mencatat produksi besar batu bara sekitar 625 juta metrik ton.

Pemerintah dan pengusaha minta subsidi karena harga gasifikasi batu bara mahal. Batu bara seolah menguntungkan, tapi hidupnya membebani pemerintah dengan insentif dan kerugian jangka panjang. Misal insentif royalti 0% ini masih memiliki celah yang merugikan pemerintah karena akan kehilangan royalti besar karena batu bara menyumbang 60% atau sekitar Rp40 triliun. Royalti menurutnya harus digunakan untuk dana transisi energi terbarukan.

Retno Sulistyowati, Redaktur Ekonomi dan Lingkungan Majalah Tempo menyoroti tantangan media meliput isu energi. Sebelumnya energi terbarukan tak terdengar karena pemerintah masih nyaman dengan minyak dan produksi masih tinggi. Namun kini subsidi BBM membengkak sampai Rp160 triliun pada 2011. Sehingga harus beranjak ke energi non fosil.

Seberapa serius pemerintah mengembangkan EBT? Dulu ditangani terpisah sampai dibentuklah Direktorat EBT pada 2010. Menurutnya isu energi menarik dan seksi, karena bagian dari kehidupan sehari-hari. Dunia sedang menyoroti terkait penurunan emisi. “Food, energy, dan water adalah masa depan,” kata Retno yang menulis isu energi sejak 2010.

Indonesia menjadi salah satu negara yang menyepakati Paris Agreement untuk menahan kenaikan suhu rata-rata global. Melalui perjanjian ini, Indonesia telah menyatakan Nationally Determined Contribution (NDC) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan upaya sendiri, dan hingga 41% dengan bantuan kerja sama internasional.

Menurut Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan Monitoring, Pelaporan, Verifikasi KLHK tahun 2020, sektor energi merupakan kontributor emisi GRK terbesar kedua secara nasional, sekitar 34% setelah kehutanan dan lahan gambut.

 

Exit mobile version