Mongabay.co.id

Perlu Aksi Segera dan Serius Atasi Krisis Iklim

Hutan dihancurkan untuk kebun sawit. Inikah bisnis yang akan dilanggengkan dengan omnibus law? Foto: Save Our Borneo

Perusahaan yang membuka kebun sawit dan berkonflik lahan dengan masyarakat adat Laman Kinipan di Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

 

 

 

Banjir bandang, longsor, rumah-rumah di pesisir terendam, badai, kekeringan, antara lain bencana yang sering terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Awal 2021, badai siklon tropis Seroja di Nusa Tenggara Timur, menyebabkan banjir besar menewaskan ratusan orang. Bukan hanya di Indonesia, juga belahan dunia.

Bencana datang bertubi membuktikan krisis iklim itu nyata. Ini diperkuat dengan laporan Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim PBB (IPCC), yang rilis Agustus lalu. Laporan ini menyebutkan, perubahan iklim merupakan ulah aktivitas manusia.

Bumi akan melampaui batas aman kenaikan rata-rata suhu lebih cepat dari perkiraan. Langkah serius untuk mengurangi emisi gas rumah kaca harus dilakukan.

Laporan ini memperlihatkan, emisi gas rumah kaca oleh aktivitas manusia dan menyebabkan pemanasan bumi bertahap hingga lebih dari 1,1 derajat Celcius sejak 1850-1900.

Laporan Kelompok Kerja 1 IPCC tentang Climate Chage 2021: the Physical Science Basis mengatakan, ini jadi bagian pertama dari laporan penilaian keenam (AR6) IPCC yang akan selesai pada 2022.

Edvin Aldrian, peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), juga Wakil Ketua Kelompok Kerja I IPCC mengatakan, iklim di masa depan tergantung dari apa yang dilakukan sekarang.

Kalau tidak ada perubahan segera, dan cepat dalam penurunan laju gas rumah kaca skala besar bisa membuat pemanasan suhu hingga 1,5 derajat Celcius atau lebih dari itu.

Intan Suci Nurhati, lead author Chapter 9 laporan ini, sekaligus peneliti Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan, ilmuan IPCC memprediksi 83% permukaan laut bumi akan menghangat selama abad 21 di skenario apapun.

“Dalam laporan IPCC juga menyebutkan sejak 1950-an permukaan air laut makin menghangat terjadi di Samudera Hindia dan di Western Boundary Currents,” katanya. Semua itu, ulah manusia.

Sementara itu, sirkulasi laut menyebabkan perlambatan penghangatan atau pendinginan permukaan di Samudera Selatan, Pasifik khatulistiwa, Atlantik Utara, dan coastal upwelling system.

Frekuensi gelombang panas di laut bertambah dan berlangsung lama. Situasi ini menyebabkan lapisan es di Antartika maupun di Greenland akan terus berkurang pada abad 21 di skenario apapun. Kondisi ini menyebabkan kenaikan muka air laut secara global hingga 2100.

“Kondisi ini mengancam keragaman biota karena mereka akan makin sulit memulihkan diri kembali, terutama terumbu karang.”

 

Baca: Potret Bumi Kita Hari Ini

Perumahan di bantaran kali di Waiwerang, Kecamatan Adonara Timur, Kabupaten Flores Timur, NTT yang mengalami kerusakan akibat banjir bandang. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

Iskhaq Iskandar, dari Universitas Sriwijaya yang menjadi lead author chapter 11 AR6 IPCC menyebutkan, sistem iklim akan makin berpengaruh langsng terhadap pemansan global.

Setiap peningkatan pemanasan global, katanya, akan muncul kejadian ekstrem iklim yang dan tidak pernah terdeteksi dari sejarah yang ada.

Laporan ini menunjukkan iklim tropis meningkat selama 40 tahun terakhir, terutama di Pasifik sebelah barat atau utara Papua. “Akan sangat berpengaruh bagi wilayah Papua dan Kalimantan. Ini akan mengalami frekuensi peningkatan siklon tropis dan angin kencang.”

Dia bilang,kebijakan-kebijakan iklim ini sebagaimana disepakati di banyak negara harus berdasarkan ilmu pengetahuan. “Jangan berdasarkan politik,” kata Rachmat Witoelar, Menteri Lingkungan Hidup periode 2004-2009, dalam daring baru-baru ini.

Laporan ini, menyadarkan manusia terdesak tiga kepentingan, yakni, perubahan iklim, pembangunan dan pandemi COVID-19. Dari ketiganya, melawan perubahan iklim paling sulit dan memiliki spesifikasi khusus dalam mitigasi.

 

Kode merah, perlu aksi segera

Antonio Guterres, Sekretaris Jenderal PBB mengatakan, laporan Working Group 1 IPCC ini semacam kode merah untuk umat manusia. Baginya, tidak ada waktu untuk penundaan dan tidak ada ruang buat alasan.

“Tidak dipungkiri lagi, manusia telah membuat suhu meningkat di atmosfer, lautan dan daratan.”

“Sudah jelas, selama beberapa dekade bahwa iklim bumi berubah, dan peran pengaruh manusia pada sistem iklim tidak terbantahkan,” ujar Masson Delmotte, Ketua Working Group IPCC.

Laporan ini menunjukkan, tindakan manusia masih memiliki potensi menentukan arah iklim di masa depan. Ia terbukti, bahwa, karbon dioksida (CO2) adalah pendorong utama perubahan iklim.

 

Baca juga: Iklim dan Lingkungan Ubah Perilaku Nyamuk Demam Berdarah, Dampaknya?

Hutan adat Sui Utik. Hidup dengan menjaga hutan. Hutan adalah supermarket, dari makanan, obay-obatan, budaya, bergantung di sana. Foto: Rhett A Butler/Mongabay

 

Dalam laporan ini juga menemukan, rata-rata selama 20 tahun ke depan, suhu global akan mencapai atau melebihi 1,5 derajat Celcius. “Kita masih berada pada jalur kenaikan itu.”

Kenaikan suhu mencapai dua derajat Celcius, panas ekstrem akan melebihi ambang batas toleransi untuk pertanian dan kesehatan.

“Tapi ini tidak hanya tentang temperatur, tapi perubahan iklim membawa pada perubahan di berbagai wilayah, semua akan meningkatkan pada pemanasan lebih lanjut. Termasuk pada perubahan kekeringan dan musim dingin, angin, salju dan es, daerah pesisir dan lautan.”

Laporan setebal 42 halaman ini menunjukkan bagaimana perubahan iklim akan memicu gletser mencair, mempengaruhi pola curah hujan, peningkat curah hujan dan kekeringan yang lebih intens di banyak daerah. Bahkan, daerah pesisir akan terus mengalami kenaikan permukaan laut sepanjang abad ke-21. Ia berkontribusi terhadap banjir pantai lebih sering dan parah di daerah dataran rendah dan erosi pantai.

Hoesung Lee, Ketua IPCC mengatakan, ada tiga poin utama dalam laporan ini. Pertama, laporan ini memberi tahu kalau tidak dapat disangkal lagi aktivitas manusia menyebabkan perubahan iklim dan menimbulkan peristiwa cuaca ekstrem lebih sering dan lebih parah.

Kedua, laporan ini menunjukkan, perubahan iklim mempengaruhi setiap wilayah di planet. Ketiga, laporan ini menjelaskan, pengurangan karbon dioksida dan emisi gas rumah kaca lain secara cepat, berkelanjutan dan kukuh perlu untuk membatasi pemanasan global.

Walaupun ada harapan pengurangan tajam emisi dari gas rumah kaca bisa menstabilkan kenaikan suhu itu, kalau tak segera, cepat dan berskala besar, maka iklim akan berada di luar kendali dalam dua dekade mendatang.

“Jika emisi berhasil dikurangi cepat, jika pada skala global mencapai nol emisi CO2. Membatasi gas rumah kaca dan polutan udara lain, terutama metana, dapat bermanfaat bagi kesehatan dan iklim,” kata Panmao Zhai, Co-Chair IPCC Working Group I.

Kalau emisi berhasil dikurangi pada skala global mencapai nol emisi pada 2050, suhu akan mendekati 1,5 derajat Celcius pada pertengahan abad ini dan turun ke tingkat lebih rendah pada akhir abad nanti.

Laporan ini mengkaji lebih dari 14.000 dokumen sains dan disetujui 195 negara. Laporan ini akan jadi fokus pembahasan dalam KTT Iklim (COP-26) di Glasgow mendatang guna merancang strategi global mengatasi perubahan iklim.

 

Tongkang batubara di sungai Mahakam di Samarinda, Kalimantan Timur. Foto : Kemal Jufri/Greenpeace.

 

***

Nur Masripatin, penasihat senior Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bidang Pengendalian Perubahan Iklim dan Konvensi Internasional menyebutkan, penntingnya sosialisasi laporan IPCC terbaru ini diikuti oleh ilmuwan dan fungsional kementerian/lembaga. Tujuannya, agar laporan ini mampu meningkatkan pemahaman publik tentang perubahan iklim.

Medrilzam, Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN (Bappenas) mengatakan, bencana iklim berpotensi mengalami kerugian selama periode 2020-2024 sebesar Rp544 triliun, hingga perlu dilakukan intervensi.

“Tanpa intervensi kebijakan, potensi kehilangan akibat perubahan iklim bisa mencapai Rp115 triliun pada 2024,” katanya.

Untuk itu, pemerintah telah memasukkan pembangunan rendah karbon dan ketahanan iklim, dalam RPJMN 2024-2029.

Pada 2060, Indonesia menetapkan capai net zero emissions. Indonesia pun perlu investasi sekitar Rp77.000 triliun alias lima kali product domestic bruto (PDB) sampai 2060.

Medrilzam katakan, program energi terbarukan harus didampingi efisiensi energi yang peningkatan bertahap. Selain pajak karbon bisa jadi satu instrumen untuk mengendalikan emisi yang didukung simultan oleh skema insentif.

Sri Mulyani, Menteri Keuangan mengatakan, Indonesia sebagai satu negara di Asia Tenggara yang akan terdampak perubahan iklim. Dampaknya, bisa memicu kebakaran hutan, banjir, hingga kenaikan permukaan air laut. Kondisi ini, katanya, dipengaruhi demografis Indonesia, sebagai negara kepulauan.

“Dalam laporan IPCC mengenai masalah dampak climate change, di Asia Tenggara, Indonesia salah satu negara yang dilihat akan mengalami dampak luar biasa,” katanya.

Perubahan iklim, ini risiko nyata. Apabila, semua negara tidak bisa menciptakan nol emisi karbon periode 2040-2045 diprediksi suhu bumi akan meningkat. Dampaknya, tak hanya lingkungan hidup juga ekonomi dan sosial.

“Indonesia sebagai negara kepulauan. Ancaman ini sangat nyata. Dampak ini sudah mulai dirasakan sekarang.”

Sebelumnya, dia pernah mengatakan kebutuhan pendanaan mengurangi perubahan iklim sangat besar. Estimasi kebutuhan pendanaan untuk mencapai target NDCs mengacu pada second biennial update reports (BUR-2) sebesar US$247,2 miliar, setara Rp3.461 triliun sampai 2030.

Untuk itu, pemerintah mengalokasikan dana APBN untuk program antisipasi perubahan iklim Rp86,7 triliun per tahun, atau sekitar 4,1% dari APBN.

 

Sebagai daerah terpencil, Dusun Bondan, Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut, Cilacap menggunakan pembangkit listrik surya dan bayu untuk memenuhi kebutuhan energi listrik sehari-hari. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Masa penentuan

Kelly Levin dari WRI mengatakan sejak laporan IPCC 2014, tidak hanya sains yang makin kompleks, juga jadi peringatan tersendiri bagi manusia. “Laporan tahun ini lebih suram dari sebelumnya. Pesannya jelas, ini dekade tepat untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5 derajat Celcius,” katanya.

Kalau secara global gagal menekan emisi pada 2020 dan mencapai nol emisi CO2 pada 2050, maka pembatasan pemanasan hingga 1,5 derajat Celcius tidak tercapai. “Akan membuat cuaca ekstrem dibandingkan saat ini.”

Kini, waktuya bagi pemerintah, pelaku bisnis/investor untuk meningkatkan aksi mereka sesuai krisis iklim yang sedang dihadapi.

Pertemuan iklim COP 26 di Glasgow, katanya, jadi sangat penting bagi negara-negara untuk mengedepankan target lebih kuat pengurangan emisi 2030 dan berkomitmen mencapai nol emisi.

Anggalia Putri, dari Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan, dekade ini jadi penentuan bagi pembatasan 1,5 derajat Celcius. Indonesia menjadi negara yang rentan terdampak.

Niatan Indonesia mencapai penyerapan bersih karbon (net sink) sektor hutan dan lahan (forest and other land use/FoLU) pada 2030, perlu mendorong penurunan deforestasi signifikan.

“Agar bisa mengurangi kebakaran hutan dan lahan juga gambut. Syaratnya, produktivitas pertanian dan perkebunan harus meningkat tajam.”

Dia contohkan, sawit jadi satu penyebab deforestasi di Indonesia. Guna mencapai FoLU net sink 2030, dalam peta jalan nationally determined contributions (NDC) peningkatan produktivitas mencaai 45%.

Pemerintah, katanya, juga perlu meningkatkan optimalisasi lahan tidur dengan penyebab salah satu deforestasi.

Indonesia juga perlu segera menghentikan pemberian izin ekstraktif baru di hutan alam dan gambut, kajian ulang dan menyelamatkan hutan alam dan lahan gambut dalam izin dan konsesi. Kemudian, akselerasi restorasi gambut dan rehabilitasi hutan dan lahan, akselerasi perhutanan sosial terutama pengakuan hak masyarakat adat.

Lalu, proyek strategis nasional dan pemulihan ekonomi nasional harus berjalan bersama dengan perlindungan hutan alam dan gambut, seperti proyek food estate itu banyak sekali ambil hutan alam.

Dia juga usul kebijakan moratorium izin sawit segera permanen dan diperkuat. “Jangan ke hutan alam dan gambut lagi. Kita membutuhkan peningkatan produktivitas.”

COP26 di Glasgow, katanya, momen penting meningkatkan komitmen iklim para pihak. “Momen negara untuk menetapkan strategi mencapai nol emisi bersih pada 2050.’

COP tahun ini mendorong solusi kembali ke alam dalam implementasi Perjanjian Paris, termasuk menjaga hutan, gambut, mangrove dan laut.

Adhitya Putri dari Yayasan Indonesia Cerah mengatakan, perumusan kebijakan iklim di Indonesia itu dengan pendekatan ekonomi. Akar masalah, pemangku kebijakan masih menganggap permasalahan iklim itu hanya terkait dari lingkungan hidup.

“Padahal, krisis iklim itu krisis ekonomi, krisis iklim itu krisis politik, krisis iklim itu krisis sosial,” ujar Dhitri, sapaan akrabnya.

Dia soroti dari sektor energi. Indonesia, katanya, bisa mendapatkan nol emisi pada 2050 bukan hanya nol misi bersih, tak hanya ketenagalistrikan, tetapi transportasi dan industri. Dia bilang, ada empat pilar, yakni, 100% energi terbarukan pada 2045.

“Tahun 2030, mulai phase out PLTU batubara, hari ini harus tegas moratorium PLTU batubara.”

Kedua, elektrifikasi penuh menggunakan listrik, ketiga, menyetop produksi fosil fuel. Keempat, menghentikan produksi biofuel. Biofuel, katanya, hanya untuk masa transisi.

Dia mendesak pemerintah keluar dari penggunaan batubara. Dhitri dorong hapus rencana yang masih ada dalam rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2019-2028 sebesar 27 GW dan RUPTL 2021-2030 sebesar 15 GW.

Quit coal now.”

 

*****

Foto utama: ‘Pembangunan’ maupun investasi yang merusak hutan dan ruang hidup masyarakat adat harus segera setop kalau mau bumi selamat. Foto: Save Our Borneo

 

Exit mobile version