Mongabay.co.id

Penyakit Kulit Pengungsi Aholeang, Bagaimana Sanitasi dan Air Bersih?

 

 

Mei lalu, Hengki merasa perut bagian bawah gatal. Dari permukaan kulit, ruam merah menyembul dengan titik putih kecil, macam jerawat. Hengki pikir, itu hanya gatal biasa. Dia hanya menggaruknya.

Hari-hari selanjutnya, ruam merah itu menyebar ke bagian tubuh lain. Ke perut, ke dua tangan, kaki sampai selangkangan.

Hengki gusar dan terus menggaruk. Ketika malam, gatal tambah menjadi-jadi. Bila tersentuh kuku, benjolan itu pecah dan mengeluarkan cairan bening.

“Gatal sekali!” katanya kesal.

Hengki, remaja 15 tahun asal Aholeang, kampung pedalaman nan subur, di Desa Mekkatta, Kecamatan Malunda, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat. Kini, Hengki tinggal di pengungsian setelah gempa bumi melanda kampungnya.

Dini hari, 15 Januari lalu, gempa 6,2 Magnitudo, melumat tanah kelahirannya. Rumah lenyap ditelan longsoran batu raksasa dari bukit tempat rumahnya berpijak.

Sejak itu, hidup Hengki bak eksodus. Meninggalkan kampung, mengungsi di Bukit Samalio, tak jauh dari pusat desa. Di situ, dia tinggal bersama orangtua, saudara, dan keluarganya.

Ayah Hengki, Habu bersama warga Aholeang dan Rui, dusun tetangga yang bernasib serupa, mengusulkan relokasi pada pemerintah. Kampung mereka terlalu bahaya untuk dihuni. Pemerintah mengabulkan setelah drama panjang, soal tebusan harga lahan.

Lahan relokasi adalah tempat yang mereka pakai mengungsi, berupa hamparan kebun sawit, jeruk, kelapa dan jati seluas 1,8 hektar. Dalam petak kebun itu bakal dibelah jadi dua dusun. Aholeang 1,2 hektar, dan Rui kebagian sisanya. Lahan yang sebelumnya ditumbuhi sawit dan pohon-pohon tinggi itu telah gundul. Gersang dan berdebu. Kalau terguyur hujan semalaman, berlumpur dan meninggalkan genangan air.

Lewat setengah tahun, Hengki melanjutkan hidup di lahan itu. Hengki seperti menata ulang kehidupan. Tahun ini, dia masuk sekolah menengah pertama. Dia tinggal di rumah bedengan terbuat dari balok dengan dinding tripleks beratap seng, hasil bantuan dari organisasi masyarakat sipil. Di teras rumah itu, orangtuanya berdagang bahan keperluan pokok.

Tak ada sekat-sekat kamar. Hanya ada satu ruang depan seukuran 2×3 meter persegi. Hengki bersama keluarga bergeletakan tidur di ruangan itu, berbagi karpet. Celakanya, keluarga Hengki tak tahu, gatal-gatal itu rupanya menular kalau bersentuhan kulit.

“Saya juga gatal begitu,” kata Habu, ayah Hengki. “Tapi tidak parah seperti anak ku.”

Gatal yang diderita Hengki bernama scabies, infeksi kulit yang terabaikan, meski di Indonesia kasus terus melambung. Sebuah penelitian pada 2016, mengatakan, ada sekitar 300 juta kasus di seluruh dunia dilaporkan, saban tahun.

 

Baca juga: Bencana Sulawesi Barat: Ada Potensi Gempa Susulan, Bagaimana Kondisi Pengungsi?

Hengki menunjukkan luka bekas gatal-gatal di kedua tangannya. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Ketika tungau Sarcoptes scabiei var. hominis, hinggap di permukaan kulit, menyelinap ke lapisan kulit terluar dengan ‘menggali’ terowongan, dan bersarang hingga tungau betina bertelur. Ketika tungau menggali, seseorang akan merasa gatal.

Terowongan itu berwarna putih keabu-abuan, meliuk-liuk lebih 1-10 mm, di bawah permukaan kulit. Tipis dan kecil macam benang. Di situlah, telur-telur tungau menetas dalam dua tiga hari dan jadi larva. Duapuluh empat jam kemudian jadi tungau muda. Selanjutnya, anak tungau beranjak dewasa, lalu berkembang biak.

Sarcoptes scabiei adalah keluarga Sarcoptidae. Ia tungau kecil, berbentuk oval, dengan punggung cembung, dan rata pada sisi perutnya. Tungau betina berukuran 300 x 350 micrometer, sedikit besar dari jantan yang berukuran 150 x 200 micrometer. Melihatnya butuh mikroskop.

Bagaimana tungau itu bisa sampai ke tubuh Hengki?

Penularan infeksi kulit ini sederhana. Hengki mungkin tak sengaja menyentuh kulit orang lain yang terinfeksi. Atau, menggunakan handuk, pakaian, yang dihinggapi tungau mungil itu. Hengki bingung, bila mengingat kenapa dia bisa jadi sarang scabiei.

Di rumah Hengki, tidak bersentuhan kulit dengan keluarga dalam sehari sangat mustahil. Rumah sempit. Kamar tidak ada. Semua berkumpul di ruang tengah. Yang laki-laki kalau gerah, bertelanjang dada. Mudah sekali, tungau itu berpindah dan mencari sarang baru. Alas tidur cuma selembar, itupun dipakai ramai-ramai.

Setelah gatal itu menyebar, seorang dokter berkunjung ke tempat hunian Hengki. Dokter memberi obat minum dan salep. Beberapa pekan, benjolan Hengki mengering, sembuh.

Di lokasi itu, Hengki tak seorang diri. Bukan pertama dan terakhir. “Semua kena, anak kecil, besar. Anak ku juga sempat kena,” kata Suardi, Kepala Dusun Rui.

“Sekitar Februari itu mulai mi banyak, sampai sekarang. Kemungkinan salah satunya itu air.”

 

 Air bersih

Lokasi hunian pengungsi Aholeang-Rui, begitu padat. Rumah-rumah tripleks berdiri rapat, di antara rumah terpal milik warga yang tak kebagian hunian sementara (huntara). Tak satupun rumah punya toilet berjamban. Hanya buat mandi dan kencing. “Di sini itu hanya WC darurat..,” kata Suardi.

Toilet umum yang dibangun relawan semasa tanggap darurat tak lagi berguna. Penyebabnya, tak ada air cukup. Sumber air terdekat hanya dari dua titik sumur bor, bikinan relawan saat masa tanggap darurat, Januari lalu.

Ketika hari mulai terang, warga menuju ke dua titik sumur bor itu. Mengisi air ke dalam belasan jerigen. Pagi hingga suntuk sore adalah jadwal tak tertulis buat memasok air. Bila malam, pompa berhenti menyedot air. Listrik dipakai menerangi pemukiman. Bagi warga, sumur bor itu semacam sumber air di tengah gurun pasir.

 

Baca juga: Amuk Lindu di Majene [1]

Ceruk air bersih di Samalio, sekitar dua km dari pengungsian. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Sialnya, air itu sangat berkapur. Beberapa menit didiamkan, kapur akan mengapung seperti tepung dan mengendap di dasar ember. Air itulah dipakai warga buat mandi dan cuci pakaian. Warga takut mengkonsumsinya.

“Kalau mandi ki, itu rambut kayak lengket. Aihh… pokoknya keras,” seloroh Panji, pemuda Aholeang.

Untuk air keperluan minum dan masak, Panji dan warga lain harus menempuh jarak sekitar dua km, menuju ceruk air di Samalio, masih desa sama. Sekali jalan, Panji memboyong 10 jerigen ukuran lima liter, buat pasokan dua hari.

Ceruk itu sedalam lutut orang dewasa, dengan diameter sekitar 50 cm. Di ceruk, air begitu jernih, cahaya menembus ke dasar ceruk. Orang-orang tak lagi memasak air itu. Rasanya seperti air kemasan.

Ceruk ini sembunyi di balik rerimbunan dua pohon besar dan akar sebesar paha yang melintang tepat di atasnya, di tepi anak sungai yang mengarus pelan.

Ajaibnya, meskipun warga dari desa, bahkan kecamatan sebelah datang mendulang air bersih dari ceruk ini, lubang itu tak pernah kering. “Kalau air habis, tunggu saja lima menit, nanti terisi lagi,” kata Panji.

Usaha warga menuju ceruk itu merupakan potret kesulitan pengungsi Aholeang-Rui mengakses air bersih.

Saya berupaya menanyakan persoalan kesehatan dan air bersih warga pengungsian ini ke Rahmat Malik, Kepala Dinas Kesehatan Majene. Dia malah menyuruh saya menanyakan pada Kepala Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Malunda, Hamka. “(Itu) wilayah kerjanya,” katanya via WhatsApp. “Lebih teknis, (kalau) kabupaten kerjanya.”

Hingga sekarang, Kepala Puskesmas Malunda tak menjawab pertanyaan yang diajukan. “Baiknya ketemu langsung,” katanya.

 

Baca juga: Kalut Penanganan Gempa Mamuju-Majene, Mitigasi pun Minim [2]

Blok huntara pengungsian Aholeang Rui. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Bagaimana selanjutnya?

Fachri, mahasiswa asal Majene sejak awal, bersama kawan-kawannya mendampingi warga Aholeang-Rui. Mereka bikin simpul relawan, Relawan CKCK. CKCK adalah slang untuk patungan.

Juli lalu, Fachri ke lokasi pengungsian, berencana mencari titik air bersih terdekat. Aholeang dan Rui, masuk wilayah bentang alam karst yang indah. Gua dialiri air tersebar di beberapa tempat termasuk mata air. Fachri ingin memilih satu di antaranya.

Dia mendapat satu sumber air, bekas program penyediaan air minum dan sanitasi berbasis masyarakat (pamsimas), di Dusun Rui, tetapi jarak terlampau jauh. Biaya instalasi pipa tentu bakal melangit. “Padahal bagus sekali di sana,” katanya.

Sepulang dari lokasi pengungsian, relawan CKCK menemui Wakil Bupati Majene, Arismunandar. Di hadapan Arismunandar, relawan CKCK memaparkan kondisi pengungsian Aholeang-Rui, termasuk penyakit scabies yang ‘mewabah’. Arismunandar berjanji menggerakkan bawahan untuk menangani itu.

Beberapa hari setelah pertemuan, relawan CKCK mengajak teman mereka yang kuliah kedokteran dan sudah jadi tenaga medis ke pengungsian buat cek kesehatan.

Sore hari, mereka tiba dan segera melakukan tugas masing-masing. Sebentar lagi hari berganti malam.

Tidak semua warga mendapat pemeriksaan. Setidaknya, mereka menemukan 35 orang dengan gejala scabies.

Muh Wais, tim yang ke pengungsian Aholeang-Rui juga tenaga teknis kefarmasian di salah satu Puskesmas di Majene mengatakan, penyakit scabies ini jamak di lokasi ungsi, sewaktu masa tanggap darurat. Kondisi pengungsian yang minim kebersihan lingkungan membuat penyakit ini muncul.

Alih-alih, pengungsi mengurus kebersihan diri, untuk bertahan hidup saja adalah persoalan sungguh pelik. Aholeang dan Rui, satu dari rentetan ini.

“Jangankan untuk jemur kasur dan pakaian, air bersih untuk cuci saja mereka sulit dapatkan,” katanya melihat kondisi pengungsian Aholeang-Rui.

“Mereka pergi mencuci kalau pergi ke sungai, itupun satu minggu sekali. Indikasi utamanya memang ini kurangnya air bersih dan sanitasi.”

Wais khawatir, meski telah menjalani pengobatan, seseorang yang terinfeksi scabies bakal terkena kembali kalau air bersih dan sanitasi belum ada untuk menunjang kebersihan warga.

 

***

Setelah sembuh, Hengki kembali terkena scabies, pada awal Juli. Kali ini, lebih parah. Benjolan menjalar ke telapak tangan. Dari dada hingga ujung kaki. Bekas benjolan mengelupas. Muhammad Alif, adik Hengki paling bontot, berusia empat tahun, juga kena. Ruam merah muncul sekitar penis bocah itu. Menjalar ke kaki hingga perutnya.

Setengah tahun setelah gempa, warga sudah menetap di rumah masing-masing, kecuali warga Aholeang dan Rui.

Kalau diperkirakan relokasi Aholeang-Rui, memakan waktu lama. Jangankan sanitasi dan air bersih, rumah yang dijanji bakal dibangun satupun belum tampak. Warga terpaksa hidup dengan lingkungan buruk, yang sewaktu-waktu berbalik mencelakakan mereka.

 

*****

Foto utama: Rumah tenda pengungsian Aholeang-Rui. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version