Mongabay.co.id

Ketika Debit Air Subak dan Kualitas Tanah Menurun

 

UNESCO memberi peringatan pada ancaman kelestarian lansekap subak serta sumber-sumber air di Bali. Warisan Budaya Dunia (WBD) Lansekap Subak yang meliputi sumber air seperti hutan, danau, pura, sawah, dan daerah aliran sungai (DAS) jadi taruhan bagaimana Bali mengelola kawasan hijaunya.

Seorang anak muda petani dan pengelola Subak, I Made Suardika merasakan perbedaan mencolok degradasi lingkungan saat jadi Pekaseh (pengurus Subak) di Subak Uma Lebah, Petulu, Kabupaten Gianyar pada 2010-2015.

Ia jadi Pekaseh Subak ketika pengetahuannya masih minim soal pertanian dan subak. Saat itu, sebelum 2015, ia merasakan debit air besar, masih bisa dibagi ke seluruh area lahan anggota subak. Konflik terkait pengelolaan air belum signifikan. Namun sejak 2015 mulai muncul masalah besar karena debit air berkurang. Sistem pengelolaan dan pemeliharaan irigasi juga menurun.

Suardika menyebut tiap tahun lahan yang mengalami kekeringan sekitar 1 hektar/tahun sejak 2015. “Dulu masih bisa tanam padi misal lahan saya 30 are. Kemudian petani kehilangan sumber pangan karena tidak ada air. Tiap tahun, ada kelompok subak tidak bisa tanam padi. Sekitar 10 hektar tidak produktif karena tidak ada akses air ke lahan mereka. Ini sangat memprihatinkan,” tuturnya pada sebuah diskusi daring oleh Yayasan IDEP melalui program Bali Water Protection “Peranan Subak dalam Konservasi Sumber Daya Air” pada Jumat (27/08/2021).

Sejumlah petani harus beralih pekerjaan, terlebih sudah ada pengembang. Ada yang jual lahannya atau kontrak lahan. Mereka sudah tidak bisa makan dari lahannya. Persoalan ini terus terjadi karena ada kesenjangan anggota subak, mereka sudah dinilai tidak fokus pada satu misi yakni melestarikan lahannya.

Makin lama debit air berkurang, air pun juga tidak sejernih dulu. Banyak sampah di saluran irigasi dan pengambilan air bawah tanah makin masif.

baca : Beginilah Nasib Subak di Bali

 

Danau Batur juga termasuk lansekap subak sebagai sumber air. Foto : Luh de Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Berkurangnya debit air ini menurut Suastika juga dampak program swasembada pangan di tahun 1970an. Ketika pemerintah bekerja sama dengan perusahaan benih untuk mengembangkan hibrida sehingga kehilangan jenis padi lokal yang lebih irit air.

Penggunaan bahan kimia, herbisida dan pestisida yang masif sejak revolusi hijau mengakibatkan sawah membutuhkan air lebih banyak. “Jika tanah sehat, maka bisa menyimpan air lebih banyak karena mikroba butuh minum. Sekarang cari belut susah. Indikasi tanah sehat seperti kunang-kunang dan capung sangat sulit ditemukan,” sebut anak muda yang membuat Yayasan Emas Hitam Indonesia untuk memuliakan tanah sehat tanpa input kimia. Emas hitam merujuk ke tanah yang subur.

Setelah penggunaan zat kimia di tanah sawah, input ini membunuh bakteri dan mikroba di tanah. Air lebih cepat epavorasi atau penguapan karena tak ada kehidupan dalam tanah, ditambah asupan pupuk kimia. Contohnya, setelah hujan, tanah di bawah lapisan lumpur malah kering dan mengeras.

Peranan mikroba menurut Suardika sangat besar untuk kesehatan tanah, namun bahan-bahan organik ini makin menghilang. Ia membandingkan sawah yang direndam jerami dengan tanpa jerami. Tanah yang ditutup jeramin menjadi empuk dan mengeluarkan gelembung udara. Air pun mudah terserap ke tanah.

Melalui Yayasan Emas Hitam, ia mengajak warga belajar sistem intensifikasi beras atau SRI dan praktik di lapangan untuk berbagi ke petani lain. Belajar menyemai padi, mengolah atau rehabilitasi lahan dengan pupuk organik. “Ternyata penggunaan air lebih sedikit, biasanya saya begadang menunggu air karena giliran dapat air 3 hari sekali. Lahan jadi lembek, tidak panas, walau air sedikit tapi cukup basah 3 hari,” katanya. Sebelumnya, ketika menggunakan input kimia, lahan yang dialiri air langsung hilang menguap dan tanah pecah-pecah.

Sebelumnya binatang sawah seperti capung, bekicot, belut tidak ada. Setahun kemudian bisa kembali lagi berperan mengantarkan udara (aerasi) dan menyerapkan air ke tanah. Tanpa bantuan hewan ini, air hanya menggenang di permukaan.

Para petani sudah stres karena biaya bertani dan kesenjangan kebijakan serta pengetahuan. Emas Hitam mencari orang yang serius belajar.

baca juga : Subak, Warisan Budaya Ribuan Tahun, dan Tantangan Pelestarian ke Depan

 

lansekap sawah di DAS Pakerisan. Foto : Luh de Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Kebudayaan pertanian melalui organisasi tradisional subak menurutnya sangat unik karena meliputi banyak aspek. Tak hanya pengelolaan air, juga musyawarah untuk memecahkan masalah.

Sebagai anggota subak, Suardika memiliki hak dan kewajiban personal dan kelompok. Secara pribadi, tiap petani dapat tembuku, saluran air yang mengaliri sawah sendiri. Kelompok subak juga memiliki pura untuk bersembahyang sebagai cara bersyukur pada Tuhan dan alam. Setiap petani mendapat jatah air sesuai kesepakatan bersama.

 

Peringatan dari UNESCO

Dosen Fakultas Teknologi Pertanian dan Sekretaris Bidang Kajian Subak Universitas Udayana Dr. Sumiyati menyampaikan sejumlah hasil evaluasi dari pengelolaan lansekap WBD di Bali.

Sidang tahunan komite UNESCO pada Juli 2021 lalu membahas lokasi yang jadi WBD di Indonesia seperti Borobudur, Komodo, dan sistem Subak di Bali. “Mulai ada yang melenceng dari panduan UNESCO. Dapat beberapa teguran,” kata perempuan peneliti subak ini.

Dua tahun setelah ditetapkan sebagai Pusaka Dunia, lansekap WBD subak di Bali mendapat teguran yang disampaikan dalam State of Conservation pada 2014. Program pembangunan di Jatiluwih sebelum pandemi untuk pariwisata dinilai mengorbankan sawah. Kondisi subak saat ini juga terancam dengan adanya pembangunan jalan tol Gilimanuk-Mengwi yang akan mengorbankan 188 ha sawah, 50 ha hutan lindung, dan 67 ha hutan Taman Nasional Bali Barat.

“Boleh mengembangkan pariwisata tapi ada batasannya sehingga tak mengorbankan sawah sebagai infrastruktur pariwisata,” catat Sumiyati. Misalnya ada yang berencana buat helipad di sawah Jatiluwih, ditegur, kemudian dibatalkan. Degradasi lain adalah alih fungsi lahan, serta menurunnya kualitas dan debit sumber air di hulu.

baca juga : Ekowisata Subak Sembung, Melestarikan Sawah Sekaligus Mencegah Banjir

 

Subak di Bali menghadapi banyak ancaman termasuk alih fungsi lahan dan rusaknya saluran irigasi. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Sejarah subak tercatat abad 11, namun diperkirakan sudah ada sejak abad 9. Diawali saat Rsi Markandeya datang ke Bali mengajak pengikutnya. Untuk bertahan hidup maka hidup bercocok tanam. Dibukalah lahan di Taro, inilah lokasi yang diyakini jadi perintis sistem subak di Bali.

Subak secara yuridis diatur dalam Perda No 2/1972 yang menyebutkan masyarakat hukum adat Bali yang bersifat sosio agraris religius. Disebut sosio karena kegiatannya gotong royong atau sangkep. Agraris karena lahannya pertanian basah atau sawah. Hal spesifik bersifat religius, diwarnai kegiatan keagamaan dominan bernafaskan Hindu, namun ada beberapa subak anggotanya non Hindu.

Regulasi terbaru Perda No.9/2012 dengan tambahan sifat subak yakni ekonomis. Ketika subak memiliki kegiatan ekonomis memberi tambahan penghasilan sehingga menarik perhatian generasi muda. Tapi ada batasannya yakni mengutamakan kelestarian subak.

Nyoman Windia, peneliti subak merangkum subak sebagai perkumpulan petani pengelolaan air irigasi, memiliki kawasan tertentu, memiliki pura, dan bersifat otonom. Secara resmi, sertifikat WBD ini bertajuk UNESO World Cultural Heritage: Cultural lanscape of Bali Province the Subak System as a Manifestation of the Tri Hita Karana. Ditetapkan pada Juli 2012.

Lansekap ini terbagi ke sejumlah kawasan yakni Pura Ulun Danu dan Danau Batur karena jadi sumber air persawahan, lansekap subak DAS Pakerisan, lansekap Subak Catur Angga Batukaru meliputi 2 danau Buyan dan Tamblingan, dan Pura Taman Ayun.

Jadi, yang menjadi WBD tak hanya Jatiluwih, seperti yang dipromosikan brosur pariwisata. Sumiyati juga heran kenapa promosi hanya difokuskan di area Jatiluwih.

baca juga : Beginilah Antisipasi Ketergantungan Pangan Di Subak Kawasan Budaya Dunia

 

Petani merupakan ujung tombak pelstarian subak di Jatiluwih, Tabanan,Bali. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Subak berperan memberi jasa lingkungan sosial dan ekosistem seperti air, udara, dan tanah. Subak juga sebagai penampung air. Ketika petani menggenangi sawahnya sekitar 5-6 cm, dalam satu hektar maka volume tertampung 600 meter kubik. Saat musim hujan, air bertambah. Air meresap ke bawah tanah mengisi akuiver, serta menjaga debit air di sungai.

Peran berikutnya sebagai filter air. Melalui sistem hidrologis bebatuan, keluar dari mata air jadi jernih. Selain itu, subak berperan sebagai konservasi udara dan ekosistem, menjaga ketahanan pangan dan ekonomi warga. “Terlebih saat pandemi ini, warga kembali ke desa dan mengolah area subaknya,” lanjut Sumiyati.

Konflik terjadi ketika subak dianggap jadi nilai ekonomi rendah sehingga disingkirkan. Selain itu ada perebutan air dengan sektor lain. Contohnya, ada subak memanfaatkan mata air, tapi diambil juga oleh perusahaan air minum sehingga debit berkurang. Makin berdampak saat musim kemarau selain kondisi tangkapan air di hulu sudah terganggu.

Jika hujan banjir, saat kemarau kering. Kondisi sejumlah DAS dinilai makin ekstrem. Hal ini diperparah makin banyaknya pembangunan akomodasi wisata di hulu karena kawasan hijau.

 

Exit mobile version