Mongabay.co.id

Mencari Solusi Tanpa Polusi Atasi Pencemaran Udara Perkotaan

 

 

 

 

Audi Nuraisa, mulai rutin bersepeda semasa pandemi COVID-19. Perempuan 31 tahun yang bekerja di perusahaan swasta di Jakarta itu serius ingin membangun kebiasaan ke kantor dengan bersepeda.

“Walau tak begitu memahami soal pencemaran udara, tapi saya tahu banget udara di Jakarta bukan main kotornya,” katanya saat ditemui di Jakarta, awal Agustus lalu.

“Jadi saya memutuskan bersepeda agar tidak menambah polusi juga.”

Berbeda dengan Noer Cholik. Bersepeda bagi perempuan 38 tahun ini sudah jadi gaya hidup, sejak 2009, jauh sebelum masa pandemi.

Pergi ke kantor, berbelanja ke pasar, minimarket, warung makanan dekat rumah dia selalu bersepeda. Bahkan dia bergabung dalam Komunitas Bike To Work.

“Dengan bersepeda sebenarnya bisa mengajak banyak orang mencegah polusi udara yang makin parah,” katanya saat ditemui di Yogyakarta.

Kualitas udara di Yogya, katanya, sebenarnya tak separah Jakarta. “Udara saat pandemi ini terasa lebih segar dibandingkan sebelum pandemi.”

Pencemaran udara jadi isu tak berkesudahan, terutama di kota besar seperti Jakarta. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), menyebutkan, emisi kendaraan bermotor menyumbang 70% polutan di wilayah perkotaan, antara lain, nitrogen oksida (NOx), karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2), dan partikulat (PM).

 

Baca juga: Polusi Udara Pembunuh Senyap di Jabodetabek

Berdasarkan data inventarisasi Dinas Lingkungan Hidup Jakarta, penyumbang polusi udara, 75% transportasi darat, 8% industri, 9% pembangkit listrik dan pemanas, dan 8% pembakaran domestik. Kendaraan bermotor yang melewati jalan di ibukota, berdasarkan data statistik transportasi Jakarta terus meningkat setiap tahun. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Untuk wilayah ibukota, Dinas Lingkungan Hidup Jakarta mengungkap, transportasi darat merupakan faktor utama tingginya polutan, sebesar 75%.

Berbeda dengan Kota Yogyakarta, isu ini baru muncul awal 2020. Sebagai kota pariwisata dan kota pelajar, ancaman polusi udara masih membayangi karena peningkatan kendaraan bermotor setiap tahun.

Studi Pusat Studi Transportasi dan Logistik Universitas Gadjah Mada 2015 menyatakan, kendaraan bermotor memberikan kontribusi sumber emisi lebih 60% terhadap total emisi di jalan raya.

Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) Dinas Lingkungan Hidup Jakarta memperlihatkan, hanya 19 hari dengan kualitas udara baik di Jakarta sepanjang 2020. Terdapat 255 hari dengan kualitas sedang, 89 hari tidak sehat dan tiga hari sangat tak sehat.

Untuk Yogyakarta, pada 2020, ada 67 hari kategori sedang (18%), lima hari tak sehat (1%), sisanya hari baik.

Pada September 2019, Kota Yogyakarta baru memiliki stasiun pemantau kualitas udara. Sejak 1 September-31 Desember 2019, kualitas udara baik hanya 40 hari dari 122 hari, sisanya 13 hari tidak sehat, 69 hari sedang. Meski data 2019 dianggap masih tahapan uji coba alat.

“Memang kondisi udara di Yogya itu penyebabnya kendaraan bermotor. Kualitas udara buruk ini karena parameter CO berada dalam kategori sedang hingga tidak sehat, khusus Januari-April 2020,” kata Sutomo, Kepala Unit Pelaksana Teknis Laboratorium Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta.

Bahkan, pada Mei-Desember 2020, kualitas udara jadi lebih baik meski parameter itu masih mendominasi.

Di Yogyakarta, tahun 2021, UGM bersama Purpose Climate Lab yang menggagas gerakan Jogja Lebih Bike untuk mengendalikan kualitas udara di Yogya. Koalisi ini juga memasang alat sensor kualitas udara, Airly. Alat ini terhubung dengan aplikasi napas, sebuah aplikasi yang memantau kualitas udara secara real-time yang bisa terakses umum.

Ada lima titik dipantau di Kota Yogyakarta, antara lain di Kabupaten Sleman, di Kecamatan Umbulharjo, Gondolayu, Sayidan, Sorowajan, dan Universitas Gadjah Mada (Sleman).

 

Baca juga : Hari Lingkungan Sedunia: Penanganan Polusi Udara Harus jadi Prioritas

 

Sejak tahun 1990, laju motorisasi di Provinsi Yogyakarta terus meningkat.. Setiap tahunnya, kenaikan jumlah kendaraan bermotor 9000 unit dan 76.000 untuk mobil. 004: Langit biru di Provinsi Yogyakarta bukan berarti memiliki kualitas udara yang baik. Sebelum pandemi, pada 2019, hanya ada 40 hari baik dari 122 hari yang ada, sisanya sedang hingga tidak sehat. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Penempatan Airly merupakan hasil kajian pemodelan pengukuran kualitas udara bersama dengan Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM.

“Dari titik yang kita pantau, meski di situasi pandemi ternyata rata-rata harian moderate (sedang). Bahkan seringkali pada waktu tertentu kualitas udara tidak sehat untuk kelompok rentan,” kata Dionaldy Permana, Juru Kampanye Purpose Climate Lab Yogyakarta.

Alat yang baru dipasang tahun 2021 ini menjelaskan bagaimana kualitas udara rata-rata bulanan dari Januari-Mei di Yogyakarta berada di rentang 70-113 μg/m3. Artinya, kualitas udara kategori sedang hingga tidak sehat, akan berdampak pada kesehatan manusia dan kelompok rentan.

Titik-titik pemasangan alat Airly memang pada titik-titik yang dekat pada sumber emisi bergerak yang menyebabkan kualitas udara di Yogyakarta memburuk. Data KLHK menyebutkan, hanya ada 24 hari sedang dan 210 hari baik dari 1 Januari-22 Agustus 2021.

Aldy mengatakan, ancaman polusi udara masih ada di Yogya kalau pengendalian polusi udara dari sumber pencemar tak serius. Kondisi ini, katanya, bisa mengancam muncul penyakit serius dan penurunan kualitas hidup masyarakat.

“Kalau terus buruk bisa mempercepat angka kematian, padahal kualitas hidup Jogja tuh kan nyaman ya,” katanya.

Polusi udara memiliki dampak yang mematikan. Studi WHO melaporkan polusi udara jadi penyebab kematian dini sekitar 7 juta orang setiap tahun.

Pada 2015, Greenpeace dan Universitas Harvard merilis laporan yang memperlihatkan dampak buruk khusus polutan PLTU batubara di Indonesia. Dengan polusi udara dari pembangkit batubara yang ada tahun itu, menyebabkan kematian dini 6.500 jiwa.

Di Indonesia, walau belum ada studi secara komprehensif, dampaknya sudah lama dirasakan warga.

Istu Prayogi, satu contoh, menderita penyakit paru-paru kronis sejak 2016. Pria usia 56 tahun kelahiran Purworejo yang pindah ke Jakarta pada 1989 ini tidak merokok dan selalu πakai masker saat beraktivitas di luar.

“Diagnosis dari dokter, saya sensitif udara kotor. Kalau sedang ke Jakarta, saya juga sakit kepala. Mungkin karena polusi tinggi,” katanya, kini tinggal di Kota Depok, Jawa Barat.

 

Kawasan Senayan, Jakarta Selatan pada awal April 2020 yang sepi dan lengang membuat udara menjadi bersih. Foto : Andreas Harsono/Mongabay Indonesia

 

Khalisah Khalid, warga Jakarta juga aktivis lingkungan khawatir kesehatan anaknya saat bermain di luar rumah.

Anaknya yang berusia 10 tahun punya alergi dan mimisan. Diagnosis dari dokter adalah kekentalan darah 1,5 lebih tinggi dari normal. Menurut Alin, sapaan akrabnya, kalau sedang kambuh, mimisan bisa hingga satu jam atau tiga kali sehari.

“Dengan kondisi demikian, anakku adalah kelompok rentan terhadap pencemaran udara,” katanya.

Istu dan Khalisah adalah dua dari 32 warga yang mengajukan citizen lawsuit mengenai pencemaran udara.

“Kami hanya ingin anak-anak bisa tumbuh dan berkembang dengan kualitas udara dan lingkungan sehat,” katanya.

 

Kendalikan kendaraan

Di Jakarta, setidaknya 20 juta kendaraan bermotor melintasi jalanan setiap hari, menyebabkan pencemaran udara.

Analisis Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) menyebut, periode 2017-2020, kualitas udara Jakarta buruk. Pada 2017, misal, hanya ada 40 hari kualitas udara baik di ibukota. Durasi udara baik terus menurun pada tahun-tahun berikutnya, tahun 2018 ada 25 hari dan 2019 hanya mencatat delapan hari.

Memasuki pandemi, ketika ada pembatasan sosial berskala besar (PSBB), publik mungkin berasumsi polutan berkurang. Media sosial juga sempat heboh penampakan Gunung Pangrango di Kabupaten Bogor yang jarang terlihat karena polusi. CREA mencatat, tidak ada satu hari udara bersih di langit Jakarta selama pandemi karena debu pembangkit listrik batubara di sekitarnya.

 

 

Sama dengan Yogyakarta, riset Pusat Studi Transportasi dan Logistik UGM pada 2015 menyebutkan, kendaraan bermotor memberikan kontribusi sumber emisi lebih 60% terhadap total emisi di jalan raya.

Sumber emisi ini, berupa konsentrasi CO ini, salah satu gas yang menyebabkan kualitas udara ambien di Yogyakarta makin memburuk. Selain kadar konsentrasi PM2.5, PM10, SO2, O3 dan NO2.

Saat kebijakan pembatasan mobilitas warga, PPKM Darurat sejak 3 Juli 2021, kata Sutomo, satu parameter kualitas udara ambien, CO menurun cukup signifikan, hingga 40% dalam waktu satu minggu.

“Biasanya rata-rata 1.000 ppm per hari, saat PPKM darurat turun rata-rata 400 ppm. Juli menunjukkan kualitas udara lebih baik dibanding sebelumnya, ada beberapa kualitas udara sedang,” katanya.

Meski demikian, ancaman polusi udara masih tetap ada di tengah jumlah kendaraan bermotor terus meningkat setiap tahun. Badan Pusat Statistik menyebutkan, terjadi kenaikan jumlah kendaraan bermotor. Pada 2017, ada 1,1 juta sepeda motor dan 1.589.721 mobil. Tahun berikutnya, rata-rata bertambah masing-masing 9.000 dan 76.000 kendaraan setiap tahun. Saat ini total kendaraan di Jogja mencapai 1,8 juta unit.

Sa’duddin, peneliti Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM khawatir kalau hasil studi ini tidak ditindaklanjuti dengan kebijakan maka akan memperparah kualitas udara di Yogyakarta. Terlebih, katanya, hampir 88% masyarakat Jogja masih sangat bergantung pada kendaraan bermotor, terutama sepeda motor.

Riset ini dibenarkan pemerintah daerah. Hasil analisis lanjutan menyebutkan kecenderungan naik turun parameter CO dilihat dari aktivitas kendaraan bermotor di jalan raya. Biasanya, saat pagi hari dan sore hari.

Pengendalian terkait polusi udara sebenarnya sudah jadi perhatian Pemerintah Yogyakarta lintas dinas dan pihak terkait.

Ni Made Dwipanti Indrayanti, Kepala Dinas Perhubungan Yogyakarta mengatakan, pemerintah daerah sudah memiliki desain sustainable transportation to sustainable mobility. Ini konsep mobilitas dengan prioritas keberlanjutan berfokus pada manusia, prioritas utama di jalan adalah pejalan kaki, pesepeda, angkutan umum dan kendaraan pribadi.

“Tidak hanya polusi, kemacetan pun jadi perhatian. Tak hanya memperburuk kualitas udara, kemacetan juga meningkatkan stres dan kualitas hidup menurun,” katanya.

Kampanye mengembalikan Yogyakarta jadi kota sepeda pun konsisten dilakukan untuk mengurangi penggunaan kendaraan bermotor. Hal ini pun didukung dengan infrastruktur seperti pedestrian, peningkatan kualitas dan kuantitas angkutan umum, maupun membuat jalur sepeda.

“Kita sudah rencana membuat jalur sepeda lintas kabupaten dan kota. Meski tantangan ruas jalan terbatas tapi banyak kendaraan yang melewati,” kata Dwipanti.

 

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan uji coba jalur sepeda permanen di Jalan Sudirman-Thamrin sepanjang 11,2 kilometer pada April 2021 lalu. Foto: Dokumentasi Dishub Jakarta

 

Yogi Ikhwan, Humas Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah Jakarta mengatakan, Pemerintah Jakarta berkomitmen dengan berbagai upaya mengendalikan pencemaran udara. Salah satu, menyediakan lima fix station dan tiga mobil station dengan analyser tambahan PM2,5 yang terpasang di seluruh stasiun pemantau kualitas udara kurun 2009-2020.

Juga dengan penghijauan agar makin mengendalikan kualitas udara di Jakarta. “Maka, pemprov mengoptimalkan penghijauan pada sarana dan prasarana publik, dengan menanam tanaman berdaya serap polutan tinggi sejak 2019, dan mendorong adopsi prinsip green building di seluruh gedung melalui penerapan insentif dan disinsentif.”

Pemprov Jakarta juga mengeluarkan kebijakan uji emisi kendaraan dan peremajaan transportasi umum. Yogi bilang, melalui Dinas Perhubungan Jakarta, sudah peremajaan 4.032 jak lingko. Sejak 10 Mei 2021, beroperasi 3.251 unit.

“Pemerintah juga memperketat uji emisi bagi seluruh kendaraan pribadi sejak 2019, untuk memastikan tidak ada kendaraan pribadi berusia lebih dari 10 tahun beroperasi di Jakarta pada 2025,” katanya.

Pemerintah juga berencana mendorong warga beralih ke transportasi publik dengan meningkatkan kenyamanan berjalan kaki melalui percepatan pembangunan fasilitas pejalan kaki di 25 ruas jalan protokol, arteri, dan penghubung ke angkutan umum massal. Juga mengenakan tarif parkir mahal bagi kendaraan yang tidak lulus emisi.

Khusus kebijakan sepeda, Gubernur Jakarta Anies Baswedan berambisi membangun jalur sepeda sepanjang 500 kilometer. Hingga kini, baru terealisasi 63 km di kiri ruas jalan ibukota. Ada juga jalur permanen sepeda sepanjang 11,2 km di Jalan Sudirman-Thamrin.

Anies menargetkan tambahan lintasan baru sepanjang 101 km. “Jadi, Insya Allah total akhir tahun ini kita punya lebih 170 km jalur sepeda,” katanya kepada media, Juni lalu.

Deliani Poetriayu Siregar, Urban Planning, Gender, and Social Inclusion Associate dari Institute for Transportation and Development Policy (ITDP), mengatakan, walau pemerintah memiliki willingness ke arah lebih baik, upaya itu perlu ditingkatkan.

Kenaikan minat bersepeda di masyarakat dapat jadi momentum bagi pemerintah menyediakan wadah. Contoh, menyediakan infrastruktur, jaminan keselamatan seperti pembatasan kecepatan kendaraan, atau sistem transportasi lebih handal.

“Sebenarnya kita selalu bersepeda, bahkan sebelum pandemi. Tapi kepentingan itu belum menjadi prioritas bagi penyelenggara kebijakan,” kata Deliani.

Saat ini, katanya, konsep perencanaan kota masih terjebak kondisi status quo dan berpusat pada kendaraan bermotor.

Aldy dari Purpose Climate Lab pun bilang, perlu peningkatan kepedulian dan kesadartahuan terkait kualitas udara dan lingkungan. “Akses informasi pun perlu diperluas dan dipermudah. Bagaimana menciptakan kepercayaan publik atas kebijakan bisa pro pesepeda dan menciptakan kualitas udara lebih baik.”

 

 

 

Solusi tanpa polusi

Sa’duddin menilai, sepeda jadi sebuah ‘jembatan’ dalam upaya pengendalian polusi udara di beberapa kota besar, termasuk Jakarta dan Yogyakarta. Di Jakarta, misal, sepeda bisa jadi ‘jembatan’ bagi para pekerja yang menggunakan kendaraan umum untuk pergi bekerja. Apalagi, transportasi umum di Jakarta sudah sangat memadai dibandingkan di Yogyakarta.

Berbeda dengan Yogyakarta, kendaraan umum masih belum sepenuhnya memberi ruang bagi pesepeda seperti Jakarta. Tidak semua shelter memiliki tempat parkir begitu juga kapasitas dalam bis yang sempit untuk membawa sepeda.

UGM dan Purpose Climate Lab bersama para komunitas sepeda pun mulai mengampanyekan kualitas udara di Yogyakarta. Melalui akun Jogja Lebih Bike (dibaca: baik), kampanye #dekatbersepeda menjadi sebuah ajakan untuk memulai bersepeda dalam jarak dekat.

Dari sepeda bisa tekan emisi. Sejalan dengan Studi ITDP bersama dengan Universitas California (2015) menyebutkan, peningkatan pesepeda 20% di dunia dapat menurunkan emisi karbon di sektor transportasi sebesar 11% pada 2050.

Bahkan, kalau pengguna kendaraan bermotor beralih dengan bersepeda, akan terjadi penghematan sebesar US$24 triliun dari 2015-2050. Angka ini, dihitung dari pengurangan penggunaan energi, peningkatan kualitas hidup masyarakat, dan mitigasi perubahan iklim.

Studi lain menemukan, orang yang bersepeda setiap hari memiliki emisi karbon 84% lebih rendah dari semua perjalanan harian yang menggunakan kendaraan selain sepeda. Bahkan, rata-rata orang yang beralih transportasi dari mobil ke sepeda hanya satu hari dalam seminggu bisa mengurangi jejak karbon mereka 3,2 kg CO2 ekuivalen atau setara emisi dari mengendarai mobil sejauh 10 km.

Studi ini menyebutkan, sepeda sebagai moda transportasi yang bisa mengurangi emisi relatif cepat dan berpotensi berdampak secara global.

Pandemi COVID-19 memicu masyarakat dunia gunakan sepeda, termasuk di Indonesia. Pada 2020, Asosiasi Pengusaha Sepeda Indonesia (APSINDO) mencatat, ada kenaikan permintaan sepeda secara domestik selama pandemi, mencapai 7 juta unit. Angka ini mengalahkan pembelian sepeda motor, 2,1 juta unit per Juli 2020.

Menurut Dinas Perhubungan Jakarta, pesepeda di ibukota naik 1.000% selama pandemi. Angka itu, naik drastis dibandingkan 2019, mencatat kenaikan 560%.

Menurut Deliani, masyarakat yang bersepeda sebelum pandemi sudah banyak, terutama perempuan. Namun, aktivitas ini terjadi di kampung hingga tak masuk hitungan.

Pendampingan kampung oleh ITDP dalam rentang 2018-2019 memperlihatkan, pesepeda perempuan menghabiskan 12 jam di wilayah kampung, termasuk yang beraktivitas sebagai penjual jamu keliling, penjual roti, dan nasi uduk.

“Di tingkat kelurahan atau kecamatan, pendekatan tidak harus jalur sepeda terproteksi seperti di Jalan Sudirman-M.H. Thamrin. Tapi bagaimana meningkatkan keamanan bersepeda, lewat intervensi pembatasan kecepatan kendaraan,” kata Deliani.

 

Seorang pesepeda melintasi di jalan utama Jakarta. Foto: Adhi Wicaksono/Greenpeace

 

Poetoet Soedarjanto, Ketua Komunitas Bike to Work (B2W) Indonesia 2016-2021 mengatakan, angka pesepeda naik pesat dibandingkan sebelum pandemi COVID-19 di Jabodetabek. Sepeda dianggap dapat memenuhi unsur pembatasan sosial dibandingkan jenis olahraga lain.

Masyarakat juga dapat melakukan mobilitas dengan bersepeda guna menghindari kepadatan angkutan massal.

Poetoet bilang, sepeda bisa jadi solusi alternatif moda transportasi pribadi. Dia setuju, bersepeda ini bisa jadi partisipasi masyarakat dalam mengurangi beberapa persoalan di wilayah urban termasuk kemacetan dan pencemaran udara.

“Tentu saya sangat setuju, karena sesungguhnya sepeda itu adalah “solusi tanpa polusi” untuk membantu menyelesaikan beberapa persoalan perkotaan,” katanya.

Poetoet berharap, pemerintah segera menyelesaikan penambahan jalur lintasan sepeda di ibukota, sepanjang 200 km. Infrastruktur penunjang lain, katanya, harus dilengkapi mulai dari fasilitas parkir di gedung-gedung, jaringan bersepeda aman dan nyaman dari dan ke area transportasi publik (stasiun, terminal, dan shelter).

Komunitas pesepeda yang baru terbentuk adalah Puan-Puan Bersepeda. Ia digagas ITDP Januari 2021. Fani Rachmita Manajer Komunikasi dan Kerja Sama ITDP, mengatakan, gerakan itu sebagai ruang aman bagi perempuan kota untuk mengakrabkan sepeda dengan perempuan di tengah tren sepeda yang selama ini terlalu maskulin.

“Gerakan ini untuk mengakomodir pesepeda perempuan sebab dalam isu keberlanjutan pun, peran perempuan dan kelompok rentan itu lebih vital. Kesulitannya juga banyak, bukan cuma soal keamanan dan keselamatan juga pelecehan seksual.”

Di Yogyakarta, sepeda sudah jadi alternatif kendaraan. Tahun 1980-an, kota sepeda sempat disematkan pada kota ini meski satu dekade setelah itu mulai bersaing dengan laju motorisasi. Untuk mempertahankan kota sepeda, Pemerintah Jogya memunculkan gerakan sego segawe (sepeda kanggo sekolah lan nyambut gawe)–sepeda untuk sekolah dan bekerja–pada 2008. Komunitas sepeda pun bermunculan.

Meski begitu, pendataan jumlah pesepeda dan peningkatan tidak tersedia baik oleh pemerintah, komunitas maupun akademisi. Pada 2021, kampanye Jogja Lebih Bike telah didukung 7.124 individu dan 69 komunitas untuk mewujudkan udara Yogyakarta. lebih bersih.

Deliani bilang, sepeda bisa jadi bagian dari sistem transportasi terintegrasi di masa depan. Pemerintah harus lebih dulu mengubah pola pikir.

“Perlu diingat, sepeda bukan solusi tunggal, tapi satu paket kebijakan dari sistem transportasi terintegrasi. Pemerintah juga harus memasukkan kepentingan perempuan pesepeda, karena saat ini akses perempuan sangat kecil.”

Noer Cholik benarkan, kebijakan yang mengakomodir kepentingan pesepeda dan pejalan kaki bagus di atas kertas, namun seringkali tak sinkron dengan subyek pengguna itu sendiri.

Kemudian, katanya, perlu ada kebijakan konkrit untuk para pesepeda, misal, menciptakan ruang aman bagi pesepeda di lampu merah. Tidak hanya ruang tunggu sepeda, tetapi ada detik untuk sepeda lebih dahulu jalan agar tidak ada risiko kecelakaan. Begitu juga, fasilitas trayek transportasi publik yang ramah bagi pesepeda.

“Meski kita bisa mencari jalan tikus melalui kampung, jalur sepeda dibutuhkan dalam sebuah desain kotamadya,” katanya.

Menurut Sa’duddin, situasi insidental para pesepeda di masa pandemi ini bisa jadi momen bagi pemerintah makin giat menggalakkan kembali sepeda sebagai alat transportasi.

“Sepeda tidak hanya untuk kegiatan olahraga tapi kegiatan sehari-hari, diikuti fasilitas pendukung bagi para pesepeda.”

 

*Liputan ini kolaborasi antara Mongabay Indonesia dan Betahita.id

 

Pemerintah Yogyakarta memberikan beberapa prioritas fasilitas bagi pesepeda. 009: Sepeda menjadi sebuah alternatif transportasi di Yogyakarta yang perlu dihidupkan kembali. Tak hanya sebatas untuk kesehatan dan hobi, tapi bisa menjadi gaya hidup masyarakat Yogyakarta. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

*******

Foto utama:

Beberapa pesepeda terlihat di Bundaran HI Jakarta. Foto: Afriadi Hikmal/Greenpeace 

 

 

 

Exit mobile version