Mongabay.co.id

Memilih Inspirasi Kebun Panganmu

 

Perubahan iklim dan ancaman pandemi membuat topik kebun pangan makin relevan. Upaya untuk memenuhi sebagian pangan dari rumah ini bisa dipilih sesuai dengan kondisi dan kebutuhan keluarga.

Inilah yang dibahas dalam webinar Cerita Kebun Pangan Nusantara sebagai bagian dari Pekan Kebudayaan Nasional pada Rabu, 1 September 2021. Tiga pegiat pangan yang berbagi idenya adalah F. Rahardi (Penggiat Budidaya Tanaman Pangan, Pemred Majalah Trubus 1977-1977), Anam Masrur (Praktisi Pertanian Permakultur, Konsultan FAO-PBB), dan Helianti Hilman (Pendiri Javara dan Sekolah Seniman Pangan).

Puji Sumedi, Manager Program Yayasan Kehati mengingatkan pangan adalah target Sustainable Development Goals (SDGs) Indonesia, namun dari data yang ada masih banyak kelaparan dan kekurangan gizi. Data FAO 2020 menyebutkan, secara global sekitar 690 juta atau 9% populasi dunia masih kelaparan. Pandemi Covid19 menunjukkan ketimpangan di banyak negara. Sedangkan di Indonesia, kebijakan pangan sudah ada banyak regulasinya.

Ada kebijakan transformasi sistem pangan dan agroekologi untuk sistem pangan yang adil dan tangguh. Hal penting menurutnya mendorong taman pangan lokal dan pengembangan benihnya.

Helianti Hilman menyebut menanam 139 jenis pangan dan bumbu di rumahnya. Ia memiliki ingatan berkebun sejak kecil karena tinggal di desa yang jauh dari akses pasar dengan ketinggian di atas 2000 mdpl. Ketika besar, pindah untuk belajar di luar negeri dan kini mukim di Jakarta Selatan. “Ibu mendorong saya menanam sendiri,” ujarnya. Semua tanaman ornamental di lahan rumah yang dibelinya itu dikembalikan ke developer karena tak bisa dimakan. Ia kini menghadapi realita hidup di kota minim lahan, kualitas tanah buruk, sulit akses pupuk dan sinar matahari.

“Gagal semua (percobaan tanam saat memulai) mati, tanahnya buruk, ada genteng, sampah, dan lainnya. Saya amati dan perbaiki,” lanjut Helianti. Kualitas tanah dan ekosistem buruk ini kemudian dicarikan solusi seperti tanam di pot, tanam tanaman yang nitrogen tinggi seperti kacang-kacangan, dan buat pupuk dari limbah rumah tangga. Lahan terbatas juga disiasati dengan kebun vertikal memanfaatkan tembok, pergola, dan rooftop. Manfaatkan ruang yang ada termasuk lahan menganggur samping garasi dan memilih tanaman padat gizi.

baca : Menghidupkan Kebun Kolektif di Tengah Pageblug

 

Desain atau pola tanam permakultur bisa disesuaikan dengan keinginan, misal di Taman Baca Kesiman membentuk huruf, TBK. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Jenis tanaman tahan banting lainnya yang dipilih adalah tanaman liar karena keterbatasan waktu mengurus. Keberhasilan di percobaan menanam ulang ini memberikan kekercayaan diri sekaligus atur keberagamannya agar tiap hari bisa dipanen/dimasak.

Dari luas lahan tanam hampir 40 m2, ia bisa menanam kelapa, pisang, jagung, rempah-rempah, sayuran, dan sedikit kolam ikan. Heli juga beri tips berguru pada alam, misalnya jika menanam jenis yang seragam seperti cabe rentan hama. Jika satu kena hama, semua kena. “Jangan monokultur harus tumpang sari,” lanjutnya.

Ia juga berguru pada maestro dan petani, identifikasi tanaman dibantu dengan plants app seperti plant snap. Setelah itu, ia browsing manfaatnya untuk identifikasi tanaman dan mengenali manfaat. Misal krokot yang sedang hip di restoran dengan nama purslane kaya omega 3. Dimulai dengan menelusuri nilai gizi dan manfaat kesehatannya. Berikutnya cari ide inovasi olahan produknya termasuk jurnal ilmiah dan produk di pasar.

Selanjutnya pemetaan bahan pangan yang relevan. “Buat kita dibuang dianggap gulma, ternyata sudah jadi komersial dan diteliti,” jelasnya tentan krokot itu. Merancang apa yang ditanam juga penting untuk identifikasi kebutuhan nutrisi, sumber vitamin, karbohidrat, sumber serat, protein, dan mineral yang dibutuhkan.

Misalnya Pegagan atau ginco biloba untuk otak, daunnya mirip otak. Suweg dan kelor tanaman perintis untuk menyuburkan tanaman. Kelor memiliki kalsium lebih banyak dibanding susu, vitamin A lebih banyak dari wortel, potasium lebih banyak dari pisang. Jika tanaman ini dikonsumsi, menurutnya tidak ada stunting atau kelaparan.

Agar anak bisa menikmati, ia melatih anaknya makan aneka sayuran rasa pahit dan asam sejak dini. Misalnya bubur daun singkong atau bubur isi kelor.

Ia yakin cara edukasi masyarakat dengan informasi dan cara pengolahannya biar menarik perhatian. Tren saat ini adalah edible flower atau bunga yang bisa dimakan sudah ada dari dulu seperti makan olahan bunga jantung pisang.

baca juga : Agama Dorong Pertanian Berkelanjutan, Caranya?

 

Seorang santri pesantren Ath Thaariq, Tarogong Kidul, Garut, Jabar, asyik memanen caisim dil ahan pesantren. Foto : Nissa Wargadipura

 

Rahardi, penggiat budidaya tanaman pangan mengajak menelusuri asal muasal sejumlah pangan lokal di Indonesia. Pangan lokal adalah pangan yang tumbuh liar dan dimanfaatkan secara terbatas walau berasal dari negara lain. Dikaitkan dengan budaya. Misal negara Hawaii pada tahun 600an bawa talas dari Pasifik Selatan, mereka menciptakan mitologi jika talas adalah keturunan dewa angkasa dan ibu pertiwi, saudara tua manusia. Tak heran talas wajib ada saat makan malam. Diyakini sebagai nafas abadi yang memberikan umur panjang.

Dari sekitar 600 spesies umbi, ada juga jenis Nagaimo yang dibalut kisah melipatgandakan energi. Berawal dari cerita sebuah petisi dari mucikari sekitar 1621 di Jepang. Mitosnya saat itu, kalau buka usaha prostitusi maka kekuasaan anda langgeng. Nagaimo sebagai sumber karbohidrat yang dulunya makanan orang miskin pun jadi elit dan harganya makin mahal.

Ada juga mitologi buah maja, Raden Wijaya makan maja yang rasanya pahit. Namun, maja tak populer diolah di Indonesia, sedangkan dI India dibudidayakan dan dijual jadi jus.

Bahan pangan lokal yang kurang populer lainnya walau berkhasiat tinggi adalah Kawista dari India, bahan jus. Buah Buni pun makin langka. Pisang Kepok Awu juga terkenal di Australia, sedangkan di Indonesia tidak laku, dibeli untuk pakan burung. Pisang ini menurut cerita Rahardi, disebut Blue Java Banana dan diolah jadi ice cream banana dengan citarasa asam, juga terkenal di Amerika.

“Tersisihnya pangan lokal bisa karena makin sulit didapat dan regenerasi konsumen,” sebut Rahardi. Kisah unik adalah kisah Gadis Sirih (betel nut girl) di Taiwan yang melestarikan makan sirih, dijajakan di lokasi tempat mewah dengan gadis pendamping.

Salah satu umbi-umbian yang saat ini populer adalah porang. Banyak yang menyamakan dengan suweg yang bisa dimakan, salah satu dari 198 genus amorphophallus. Porang bukan komoditas baru, namun kini populer karena kandungan glukomanan, bahan pangan rendah kalori setelah lewat proses ekstraksi oleh pengusaha Jepang.

Senthe (giant taro) jika di Indonesia dimakan bikin gatal, tidak terjadi di Bangladesh. Diperkirakan karena perbedaan cuaca sehingga bisa dimakan segar. Rahardi menyebut di Jawa orang sudah sudah lupa komoditas ini karena tidak dimakan, daunnya untuk pakan ikan gurame dan di luar Jawa sebagai pakan babi.

Ada juga Jalawure, umbi genus Tacca yang terdiri dari 17 spesies, potensial untuk substitusi gandum. Tanaman ini toleran pada salinitas tinggi sehingga cocok ditanam di pinggir pantai. Saat ini Indonesia impor gandum 100%, di atas 10 juta ton dengan nilai Rp.39 triliun sebagai bahan baku mie, roti, karena murah dan paling banyak ditanam di dunia. Setelah itu jagung dan padi.

baca juga : World Soil Day: Agroekologi untuk Kelola Tanah yang Sehat

 

Perkebunan organik untuk edukasi di Kampung Bingo, Bedugul. Foto: Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Rahardi juga berkisah tentang Sembukan, sekitar tahun 90-an anak pengusaha kaya mengalami gangguan sembelit, sudah diajak ke spesialis tapi tak sembuh. Akhirnya dibawa ke Singapura, oleh dokter diminta cari tanaman Sembukan untuk dijus atau pepes, dan sembelitnya pun hilang. Di Indonesia jadi gulma.

Hal menarik dari sayur lalapan adalah jenis dan keragamannya yang saling melengkapi. Putat, pucuknya untuk lalapan khasiatnya menetralisir efek pedas. Rendeu mengandung bakteri yang menekan bakteri patogen di usus, untuk menetralisir sakit perut. Itulah prinsip lalapan dengan jeis beragam, agar tidak dikonsumsi tunggal. Menciptakan pangan lokal bukan hanya enak, juga karena manfaat kesehatan.

Tanaman gulma lainnya yang bermanfaat adalah Sintrong (crassocephalum), Krokot (Portulaca oleracea), dan Tempuh Wiyang.

 

Taman pangan biodiversitas

Memulai kebun pangan juga bisa dicoba dengan desain permakultur. Anam Masrur meyakini makanan adalah obat terbaik. Bagaimana meletakkan di kebun kita? Intinya tidak monokultur, karena perlu keberagaman pangan.

Taman pangan biodiversitas adalah Indonesia. “Ketika hanya satu jenis yang dimakan, timbul masalah. Cara mendesain kebun adalah meniru alam, jalani, amati, dan perbaiki,” jelasnya.

Metode permakultur adalah cara menghubungkan diri dengan alam. Permanent agriculture (permaculture) berasal dari kata permanent yang bermakna abadi, berkelanjutan. Sedangkan agri, berasal dari kata agrae tanah, sumber kehidupan. Culture sistem kehidupan yang dibangun dari desain dan kebudayaan. Metode permakultur dikembangan Bill Molison. Sebuah desain jalan hidup untuk makan terintegrasi dengan kegiatan ekologi. Beda dengan berkebun organik, karena tak hanya satu jenis, namun alam hadir dalam kebun.

Etika permakultur, sebuah panduan mengenai baik buruk dalam hubungan manusia dan kehidupan dibagi jadi peduli bumi, alam, dan bersikap adil. Kemudian dituangkan dalam 18 prinsip.

Konsep pangan adalah regeneratif, regrow/menumbuhkan, renew/memperbaharui, dan restore. Harus memperbaiki yang rusak dan hilang.

Ia menggunakan konsep lokal untuk ini, misalnya kebun talun atau karang kitri yang bisa dimakan, dan kebun pangan yang dihutankan. Kalau agroforestri sebagian bisa ditanami non pangan seperti pohon karet. Beragam tanaman hadir dalam satu bentang, buah, bumbu, sayur, kayu.

menarik dibaca : Berkebun Selaras Alam di Kota

 

Romo Jauhari Atmoko, CM, bersama ibu-ibu yang datang untuk membeli produk sayuran organik di Gubug Lazaris, Kediri. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Untuk mulai mengembalikan ekosistem, Anam menyarankan membuat timeline, garis waktu dari tanah rusak sampai ekosistemnya hidup. Misal 10-15 tahun, dengan intervensi manusia. Tahun 1 mulai rehabilitasi, mengembalikan bahan organik.

Ada sejumlah strategi mengembalikan kehidupan di tanah. Dengan mikroaorganisme dan bahan organik jadi unsur hara. Misal menanam legum seperti turi, asam jawa, petai, lamtoro yang menyuplai nitrogen atau pupuk bagi tanaman lainnya melalui akar. Kemudian pohon buah tinggi seperti sukun, nangka, kelapa, dan jamblang. Berikutnya penanaman lorong untuk sayuran seperti biji, bumbu dapur, cabe, terong, tomat, dan sawi.

Strategi lain, menanam mulsa hidup (polo kesimpar) seperti labu, ubi jalar, umbi-umbian (polo kependhem), jamur kayu, dan tanaman merambat seperti buncis.

Ia mengingatkan tak hanya manusia beraliansi dan berbagi adil, tanaman juga membantu tanaman lainnya. Misalnya menyerap karbondioksida, menghasilkan gula untuk mikroorganisme sebagai bayaran karena mengolah hara. Hara ini yang dikonsumsi tanaman. Mereka bertukar informasi dan bertukar kebutuhan nutrisi, disebut jaringan mikoriza. “Ini yang hilang dari pengetahuan formal,” katanya.

Peran kelelawar dan burung juga penting, mereka bukan hama, dan diminta oleh pohon untuk menyebar benih. Hewan ini kemudian diberi daging buahnya, bukan bijinya. “Namun buah dibungkus plastik oleh manusia, betapa serakahnya,” ia merefleksikan bagaimana ekosistem alam bekerja.

Meksiko memiliki kearifan lokal menanam tiga tanaman yang disebut three sister. Pertama menanam jagung, setelah setinggi lutut, lalu menanam kacang panjang untuk merambat di batang jagung. Kacang menambah nitrogen untuk jagung. Setelah jagung dan kacang besar, ditanami labu sebagai tanaman merambat agar selalu lembab dan tanah tak mudah evaporasi atau menguap. Bisa jarang disiram dan hemat air.

 

Petani memanen tomat di-Desa Batur Kintamani. Tomat merupakan salah satu komoditas utama petani di Kintamani Bangli. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version