Mongabay.co.id

Menimbang Kebijakan Bahan Bakar Nabati dari Sawit

Hutan dihancurkan untuk kebun sawit. Inikah bisnis yang akan dilanggengkan dengan omnibus law? Foto: Save Our Borneo

Perusahaan yang membuka kebun sawit dan berkonflik lahan dengan masyarakat adat Laman Kinipan di Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

 

 

 

Biofuel atau bahan bakar nabati (BBN) yang saat ini mengandalkan sawit digadang-gadang bakal berperan penting dalam mencapai target nationally determined contribution (NDC) 2030. Dalam dokumen NDC terbaru yang diserahkan pemerintah Indonesia kepada PBB Juli lalu, implementasi biofuel di sektor transportasi mesti mencapai 90-100% dengan target sawit sebagai bahan baku utama. Benarkah BBN sawit berperan tekan krisis iklim, atau malah sebaliknya?

Untuk mencapai net zero emission 2060 atau lebih cepat, biofuel juga akan untuk pembangkit listrik. Dalam dokumen NDC disebutkan, target kapasitas terpasang BBN 14 gigawatt dan B50 sebesar 52,3 juta kiloliter sampai 2050 atau 46% dari total energi transportasi yang akan diproduksi secara berkelanjutan.

Menurut Yayasan Madani Berkelanjutan, pengembangan BBN nasional masih banyak tantangan, terutama karena didominasi satu komoditas feedstock, yakni, sawit. Dengan pertimbangan ekonomi yang dilematis, dampak dari single feedstock ini akan mengancam ketersediaan lahan yang berkaitan hutan dan gambut.

“Penurunan emisi jadi tidak terlalu relevan jika dilihat life cycle analysis-nya,” kata Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.

Selain itu, katanya, Instruksi Presiden (Inpres) No 8/2018 yang akan berakhir 19 September 2021 ini akan berpengaruh pada kebijakan tentang BBN.

Instrumen ini, seharusnya efektif mencegah ekspansi lahan dan mendorong peningkatan produktivitas serta menurunkan emisi nasional.

“Bagaimana memastikan BBN beragam komoditasnya, relisience, ada transparansi di rantai suplai hingga bisa menelusuri rantai pasok di Indonesia? Bagiamana agar ambang batas deforestasi tidak terlampaui?” kata Anggalia Putri, Knowledge Manger Yayasan Madani Berkelanjutan.

Pemerintah menginisasi kebijakan BBN sejak 2006. Mulanya, ia bertujuan mendorong bauran energi dan melepaskan diri dari energi fosil. Langkah ini kemudian jadi strategi mencapai target penurunan emisi nasional yang tertuang dalam dokumen NDC 2030 dan pencapaian net zero emission di sektor energi.

Dengan pencampuran BBN dalam bahan bakar untuk transportasi diharapkan impor solar menurun dan potensi dalam negeri dapat ditingkatkan.

“Permintaan BBN dipengaruhi laju elektrifikasi tranpsortasi,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR).

 

Baca juga: Kebijakan Dorong Biofuel, Peluang Tekan Emisi atau Sebaliknya?

Hutan adat di Sorong, Papua, terbabat perusahaan untuk kebun sawit. Foto: Pemuda Mahasiswa Iwaro

 

Tanpa kendaraan listrik, katanya, kebijakan B30 hanya menggantikan 7% dari konsumsi bahan bakar pada 2050. Peningkatan kontribusi BBN lebih besar dapat terjadi dengan produksi drop in biofuel.

Fabby bilang, elektrifikasi moda transportasi akan menurunkan kebutuhan minyak sawit untuk produksi BBN. Penggunaan kendaraan listrik di transportasi darat juga dapat menurunkan permintaan BBM.

“Jika merujuk peta jalan Kementerian Perindustrian, kendaraan listrik dapat membatasi kenaikan konsumsi BBM 40% saat ini,” katanya.

Selain itu, penetrasi kendaraan listrik dan peningkatan energi terbarukan pada sistem kelistrikan dan BBN rendah karbon dapat menurunkan emisi gas rumah kaca di sektor transportasi. Asumsi faktor emisi grid turun dari 820 gCO2/kWh di 2020 jadi 400 gCO2/kWh.

“Dengan catatan, BBN diproduksi berkelanjutan tanpa perubahan emisi lahan.”

Karena itu, kata Fabby, pengembangan infrastruktur BBN perlu mempertimbangkan perkembangan teknologi dan permintaan untuk mengurangi risiko menjadi stranded asset.

Pembangunan kilang BBN juga perlu mengantisipasi perkembangan kendaraan listrik dan teknologi bahan bakar lain di masa depan. Ada peluang untuk mengkonversi kilang BBN jadi pabrik bahan kimia berbasis nabati.

Pemilihan teknologi biofuel yang akan dikembangkan pun, katanya, harus menyesuaikan dengan arah permintaan.

“BBN memiliki peran dalam mendukung transisi energi menuju dekarbonisasi di Indonesia dengan syarat produksi memenuhi standar keberlanjutan, keekonomian kompetitif, dan pasokan berkesinambungan,” katanya.

Fabby mengingatkan, tujuan transisi energi adalah menurunkan emisi gas rumah kaca pada batas aman hingga mencegah kenaikan temperatur global tidak melebihi 1,5 derajat celcius.

Penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) pada sektor transportasi dapat dengan mensubstitusi BBM dengan bakar lain yang rendah, bahkan zero carbon.

BBN berperan memasok kebutuhan bahan bakar untuk sektor transportasi terutama transportasi darat karena penetrasi kendaraan listrik tidak dapat mensubstitusi seluruh populasi kendaraan yang aktif hingga 2050.

Tak hanya itu, katanya, pemanfataan BBN harus mempertimbangkan batasan keberlanjutan pada produksi bahan baku, pengumpulan, transportasi dan proses pembuatan.

 

Baca juga: Ketika Uni Eropa Bakal Hapus Biofuel dari Sawit, Apa Kata Mereka?

Upaya pemadaman karhutla di kebun sawit Desa Puding, Muaro Jambi. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Dekarbonisasi sistem energi memerlukan bahan bakar rendah karbon dari hasil berkelanjutan serta harga kompetitif dengan teknologi bahan bakar lain.

“Jika produksi BBN dari CPO (crude palm oil) dengan membuka lahan baru, jelas menyebabkan carbon footprint BBN lebih tinggi dan tidak compatible dengan tujuan transisi energi menuju dekarbonisasi.”

Pertimbangan lain, kata Fabby, perlu eksplorasi penggunaan bahan baku BBN lain, generasi kedua dan ketiga sebagai pilihan.

“CPO yang sustainable tidak cukup memenuhi kebutuhan bahan bakar di masa depan.”

Agus Saptono, Koordinator Pelayanan dan Pengawasan Usaha Bioenergi, Direktorat Bioenergi, Dirjen EBTKE KESDM bilang, program mandatori BBN bertujuan menurunkan impor solar signifikan.

Catatan KESDM, impor solar pada 2020, sebesar 3,1 juta kiloliter, turun dari 2019, sejumlah 3,3 juta kiloliter dan 6,5 juta kiloliter pada 2018.

Pertimbangannya, Indonesia punya potensi CPO sangat besar, 52 juta ton pada 2020. Luas lahan sawit 16,3 juta hektar, 40% petani kecil.

“BBN diharapkan ikut mengurangi emisi gas rumah kaca dan menstabilkan harga CPO,” kata Agus.

Konsumsi biodiesel dengan target terus meningkat dari 8,4 juta kl pada 2020 jadi 9,6 juta kl pada 2025. Kapasitas industri biodiesel terpasang target naik 13,43 juta kl pada 2020 jadi 15,99 juta kl pada 2025.

Data realisasi distribusi biodiesel hingga semester pertama 2021 mencapai 4,3 juta kl atau 46,8% dari alokasi, sampai Juli naik 5,05 kl atau 54,99%.

Sementara alokasinya, berdasarkan Kepmen ESDM No 103/2021, volume biodiesel 9,2 juta kl dengan 22 badan usaha BBN dan 19 badan usaha BBM.

Catatan Serikat Petani Sawit (SPKS) masih banyak petani sawit swadaya radius lima kilometer dari pabrik rantai pasok biodiesel, tak terlibat dalam kebijakan BBN ini.

“Petani masih menjual ke tengkulak,” kata Sabarudin, Ketua Bidang Organisasi dan Anggota SPKS. Ini berdasarkan hasil survei SPKS di Kabupaten Pelalawan, Siak, Kampar dan Rokan Hulu, di Riau.

Rata-rata, kata Sabar, kelompok tani atau koperasi tidak memiliki manajemen baik. Mereka menjual tandan buah segar ke agen.

“Kita berharap ada kebijakan KESDM dan kebijakan biodiesel,” katanya.

Subsidi BPDPKS untuk petani swadaya jauh lebih kecil, hanya Rp5 triliun, dibanding untuk biodiesel yang mencapai Rp28 triliun.

Subsidi untuk petani, baru sebatas untuk replanting tanaman setiap tahun. Belum ada untuk pengembangan sumber daya manusia, pelatihan ataupun pembentukan koperasi. Pun dibentuk koperasi, katanya, belum ada pihak yang bertanggungjawab seperti pemerintah kabupaten karena memang tak ada dukungan dari pemerintah pusat untuk pemkab terkait ini.

Padahal, sejumlah regulasi seperti Inpres Moratorium Sawit mendorong kelembagaan petani berupa koperasi.

“Setelah dibangun koperasi perusahaan tetap tak mau kemitraan karena banyak faktor,” kata Sabar.

Menanggapi ini, ke depan, kata Agus, biofuel tak terbatas pada biodiesel, tak terbatas pada pengusahaan skala besar, dan akan didorong berbasis kerakyatan.

“Spesifikasi menyesuaikan dengan kebutuhan konsumen, pemanfataan by product biodiesel hingga pemanfaatan hasil sawit non-CPO.”

 

Batang kayu sisa-sisa hutan alam yang terbabat jadi kebun sawit di Taman Nasional Tesso Nilo. Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia

 

Arifin Rudiyanto, Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Bappenas mengatakan, program mandatori BBN merupakan prioritas pemerintah dalam meningkatkan ketahanan energi nasional. Pada 2025, produksi BBN nasional diperkirakan mencapai 13,8 juta kl.

“Melalui program mandatori BBN, impor solar diharapkan menurun signifikan,” katanya.

Mengutip data BPS, kata Arifin, impor BBM satu faktor yang menyebabkan defisit neraca perdagangan nasional. Program mandatori BBN B30 resmi berlaku sejak 1 Januari 2020 dan diharapkan dapat dipenuhi oleh seluruh sektor Januari 2025.

Catatan Bappenas sejak September 2018, berlaku perluasan insentif biodiesel ke seluruh sektor (public service obligation/PSO dan non PSO). Pada 2019, pemerintah menerapkan B20 menyeluruh dan pada 2020, presentasi pencampuran BBN naik jadi 30%.

“Implementasi program B20 dan B30 mendorong kenaikan realisasi volume biodiesel pada sektor domestik secara signifikan,” katanya.

Pada 2011, pemanfaatan biodiesel domestik hanya 19,8%, naik jadi 60% pada 2018 dan 97% pada 2020.

Bappenas menyadari, potensi konflik antara pemanfaatan bahan baku untuk bioenergi dengan pemenuhan kebutuhan pangan, pakan dan pupuk. Juga ada tantangan kesiapan industri penunjang, mekanisme insentif yang sangat bergantung pada pungutan dan pajak keluar produk CPO dan turunannya. Juga keterbatasan sarana dan prasarana seperti jetty, terminal bahan bakar minyak (TBBM), kapal pengangkut sesuai dengan spesifikasi fatty acid methyl ester (Fame), dan lain-lain.

“Perlu pengetahuan handling dan storing sesuai standar untuk menjaga kualitas BBN dan perlu ada standar kualitas BBN yang ketat,” katanya.

Pengembangan BBN, katanya, mesti dengan mengikuti prinsip-prinsip keberlanjutan, mendorong keterlibatan petani, meningkatkan standar mutu, meningkatkan efisiensi dalam pelaksanaan proses, serta menjaga harga biodiesel agar stabil dan terkendali.

Ke depan, katanya, pemerintah akan memastikan program B30 berjalan sesuai target dengan cara monitoring dan evaluasi ketat dan berkala. Juga, mengembangkan program B40 dan B50 dengan kajian teknis formulasi yang tepat, mengembangkan program greenfuel melalui pengembangan green refinery untuk menghasilkan green diesel, green gasoline dan bio-avtur.

Selain itu pemerintah juga akan mendorong kerja sama PT Pertamina (Persero) & PT Pupuk Indonesia di Bidang Hidrogenasi CPO dan memanfaatkan bekas tambang untuk lahan energi terbarukan PLTS dan biofuel sawit.

Pada 2022, katanya, kalau memungkinkan akan berlaku B40 dengan mempersiapkan produsen, infrastruktur, manufaktur, dan pendanaan untuk insentif.

Menurut Arifin, kebijakan mencapai NDC dan net zero emission (NZE) 2060 terdiri dari kebijakan sektor energi, lahan, limbah dan fiskal. Penurunan intensitas energi atau efisiensi energi secara bertahap dari 1% ke 6%.

“Energi terbarukan hingga mendekati 100% pada 2060. Transisi ke kendaraan listrik hingga 95% dari total kendaraan yang digunakan.”

Di sektor lahan, reforestasi hutan yang berangsur meningkat hingga 250.000 hektar per tahun. Restorasi gambut mencapai puncak hingga 390 hektar, rehabilitasi mangrove sesuai target RPJMN yakni 150.000 hektar dan pencegahan deforestasi dari hutan ke lahan pertanian total pada 2025.

Disesuaikan dengan skenario NZE, katanya, pada skenario business as usual (BAU) sektor energi berkontribusi hingga lebih dari 70% emisi gas rumah kaca pada 2060. Sedangan skenario NZE memproyeksikan, emisi sektor energi terus menurun mendekati nol pada 2060.

Yang jelas, katanya, dalam skenario 2060 pemanfaatan BBN mendukung dengan menggantikan BBM hingga 2060 baik untuk jenis bahan bakar maupun diesel.

“Peningkatan proporsi diproyeksikan berangsur hingga BBN dapat mensubstitusi 30% penggunaan BBM pada 2060 dengan adanya biodiesel dan greenfuel.”

Untuk itu, katanya, perlu penyusunan regulasi dan peraturan perundangan yang mendukung keberpihakan pengembangan bahan bakar nabati, penguatan kajian dan skema pendanaan alternatif untuk pengembangan bahan bakar nabati. Juga, penguatan penguasaan, riset dan pengembangan teknologi dalam negeri, dalam memproduksi BBN sesuai kebutuhan domestik.

*****

Foto utama:  Hutan adat terbabat di Kalimantan Tengah, untuk jadi kebun sawit. BBN sawit, rendah karbonkah kalau diperoleh dari kebun sawit dari hasil rusak hutan ini? Foto: Save Our Borneo

Exit mobile version