Mongabay.co.id

Kala Indonesia Akhiri Kerja Sama Tekan Emisi dan Deforestasi dengan Norwegia

Hutan adat masyarakat Dayak Iban seluas 9.480 hektar di Dusun Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, kini diakui negara. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

 

 

 

Lebih 10 tahun kerja sama Indonesia dan Norwegia yang tertuang dalam letter of intent (LoI) soal pengurangan emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan (reducing greenhouse gas emissions from deforestation and, forest degradation/REDD+), akhirnya berakhir. Mulai 10 September 2021, Pemerintah Indonesia memutuskan akhiri kerja sama yang dalam LoI Norwegia setuju membayar US$1 miliar kalau negara memiliki hutan hujan tropis yang mampu memperlambat emisi dari deforestasi. Pembahasan demi pembahasan terus dilakukan, uang tak kunjung cair.

Pemerintah Indonesia mengatakan, keputusan ini diambil karena tak ada kemajuan konkrit dalam implementasi kewajiban Pemerintah Norwegia dalam merealisasikan pembayaran skema pembayaran berdasarkan capaian (result based payment/RBP) atas upaya Indonesia. Perjanjian ini tertuang dalam LoI yang ditandatangani kedua negara pada 2010 di bawah mekanisme REDD+.

Kementerian Luar Negeri Indonesia, melalui rilis media, mengatakan, keputusan itu diambil melalui proses konsultasi intensif. “Tidak ada kemajuan konkret dalam implementasi kewajiban pemerintah Norwegia dalam merealisasikan pembayaran  RBP atas realisasi pengurangan emisi Indonesia 11,2 juta ton CO2eq  pada 2016/2017, yang telah diverifikasi lembaga internasional.”

Pada 2019, Pemerintah Norwegia setuju membayar 530 juta Krone Norwegia (US$56 juta) untuk Indonesia dalam upaya mencegah emisi 11,23 juta ton setara karbon dioksida (CO2e) melalui pengurangan laju deforestasi pada 2017.

Alue Dohong, Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia mengatakan sebelumnya Indonesia sudah memenuhi semua persyaratan pembayaran. “Yang saya tahu sampai sekarang belum cair (pembayaran) dari Norwegia. Itu salah satu alasan kemungkinan terminasi LoI, menurut saya,” katanya saat dihubungi Mongabay.

Indonesia memiliki hutan hujan tropis terbesar ketiga dunia, setelah Brasil dan Republik Demokratik Kongo. Hutan hujan tropis hampir 100 juta hektar ini menyimpan banyak emisi CO2 guna menekan perubahan iklim dunia.

“Pemutusan kerja sama REDD+, tidak akan berpengaruh sama sekali terhadap komitmen Indonesia bagi pemenuhan target pengurangan emisi,” tertulis dalam pernyataan Kemenlu.

 

Baca juga: Bila Inpres Moratorium Sawit Setop Bisa Ancam Komitmen Iklim Indonesia

Sawit dan hutan hujan di sekitar kawasan Proyek Tanah Merah, 2017. Foto oleh Nanang Sujana

 

Indonesia mencatat ada kemajuan signifikan dalam pemenuhan kewajiban Perjanjian Paris yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia, termasuk merealisasikan sasaran pembangunan berkelanjutan (SDGs). Antara lain, capaian itu terlihat dari deforestasi terendah selama 20 tahun pada 2020 sebesar 115.459 hektar,dan ada penurunan signifikan luasan kebakaran hutan di Indonesia.

Menanggapi putus hubungan ini, Pemerintah Norwegia mengatakan kedua belah pihak telah terlibat dalam diskusi tentang kesepakatan hukum untuk pembayaran sesuai hasil upaya yang dicapai, dengan kontribusi akan dicairkan ke Dana Lingkungan Indonesia yang baru dibentuk.

“Hingga pengumuman penghentian hari ini, diskusi dalam hal ini sedang berlangsung dan dalam pandangan Norwegia konstruktif dan berkembang dengan baik, dalam kerangka kerja yang ditetapkan oleh batas peraturan kedua negara kami,” kata pemerintah Norwegia dalam sebuah pernyataan pers.

Pemerintah Norwegia menyatakan, akan terus mendukung upaya Indonesia dalam memerangi deforestasi. “Mengingat komitmen kami dalam Letter of Intent, dan hasil yang mengesankan di Indonesia, kami berharap dapat mendukung upaya Indonesia dengan kontribusi tahunan yang sama signifikan di tahun-tahun mendatang.”

“Kami sangat menghargai kolaborasi kami dan siap terus mendukung – dengan cara yang disepakati bersama – upaya Indonesia dalam melindungi hutan dan lahan gambutnya.”

Pemutusan kerja sama LoI dalam skema REDD+ ini disampaikan melalui Nota Diplomatik, sesuai ketentuan Pasal XIII LoI REDD+ kepada Kedutaan Besar Kerajaan Norwegia di Jakarta.

 

Harus tetap kuatkan komitmen

Keputusan pemutusan hubungan kerja sama ini mengejutkan banyak pihak. “Kami cukup kaget dengan keputusan pemerintah ini,” kata Kiki Taufik, Kepala Kampanye Global untuk Hutan Indonesia Greenpeace.

Dia bilang, kerja sama yang terjalin hampir satu dekade ini menunjukkan ada komitmen dan keinginan kuat dari Pemerintah Indonesia menurunkan emisi.

Keputusan ini, katanya, bisa merugikan kedua pihak karena kerja sama ini terjalin dalam satu dekade terakhir.

Bagi Kiki, banyak hal sudah dilakukan 10 tahun ini dan bukan upaya mudah. Harapannya, ini tidak mengurangi komitmen Indonesia melindungi hutan negeri.

“Sebenarnya, dengan ada bilateral ini ada dampak positif, banyak proyek membantu Pemerintah Indonesia untuk memperkuat, misal, penguatan kapasitas hukum lingkungan.”

Dari sisi Indonesia, komitmen iklim ini masih belum penuh terutama terkait upaya pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, pelepasan kawasan hutan di Papua. Meski ada moratorium hutan dan sawit, katanya, belum bisa menyakinkan pihak lain.

“Tapi pemerintah Indonesia juga ada progress ke arah sana.”

 

Baca juga: Perlu Aksi Segera dan Serius Atasi Krisis Iklim

Tim Pemadam Api memadamkan kebakaran di Giam Siak Kecil pada awal Maret 2021. Foto : BKSDA Riau

 

Menurut Kiki, Pemerintah Norwegia seharusnya menghormati kalau Pemerintah Indonesia juga perlu ada perkembangan dalam kerjasama ini, misal, terkait pembayaran.

“Kami juga mendukung Norwegia yang memang memiliki demand untuk transparansi. Dalam upaya ini kita dukung.”

Nadia Hadad, Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan menyayangkan keputusan ini apalagi progres pemerintah dalam skema REDD+ ini sudah cukup baik, bahkan sudah membentuk lembaga khusus, Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup.

“Banyak inisiatif awalan-awalan yang cukup baik dari kerjasama ini, seperti moratorium hutan, inisiasi kebijakan satu peta,” katanya.

Dia berharap, pemerintah tetap memiliki komitmen kuat dalam penurunan emisi meski terjadi pengakhiran LoI. “Meski tidak ada LoI ini, tetapi Indonesia harus menunjukkan ke dunia tanpa LoI pun pemerintah tetap komitmen iklim global dan tetap menjalankan menjalankan strategi net zero emission.

Yuyun Harmono, Manajer Kampanye Keadilan Iklim Walhi mengatakan, pemutusan LoI antara kedua negara ini hal biasa dalam kerjasama bilateral dua negara. Dia berharap, keputusan ini tak membuat pemerintah menghentikan upaya-upaya reduksi emisi yang sudah dilakukan.

“Pemerintah harus membuktikan kepada rakyat Indonesia keseriusannya, yaitu upaya-upaya reduksi emisi gas rumah kaca bukan karena semata memenuhi komitmen kepada negara donor.”

Dia bllang, terutama komitmen tekan emisi dari sektor kehutanan dan perubahan peruntukan lahan, pemerintah perlu melakukan karena tanggung jawab kepada rakyat. “Ini untuk menghindarkan rakyat dari bencana iklim.”

Sejak lama, Walhi mendorong upaya penurunan emisi di Indonesia tidak berbasis proyek, tetapi harus menjadi agenda pemerintah dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional dan dianggarkan khusus dalam APBN.

 

*****

Foto utama: Ada kerjasama pengurangan emisi dan deforestasi atau tidak, Pemerintah Indonesia harus kuat komitmen menjaga iklim termasuk jaga hutan Indonesia, demi keselamatan rakyat Indonesia. Foto: Rhett Butler/ Mongabay

Exit mobile version