Mongabay.co.id

Upaya Adaptasi Pandemi dengan Pendekatan Ekologi di Desa

 

Desa-desa yang jadi lokasi kembalinya warga perantau dari kota ke desa atau deurbanisasi di Bali selama pandemi ini jadi pusat perhatian. Karena sebagian besar yang kembali ke desa adalah mantan pekerja pariwisata di selatan Bali, Denpasar dan Badung. Bagaimana mekanisme adaptasi, mengoptimalkan sumberdaya alam dan mitigasi menghadapi perubahan iklimnya?

Salah satu yang menonjol adalah kawasan gersang di kaki bukit dan pesisir Bali utara yakni Desa Tembok di Kabupaten Buleleng. Dewa Komang Yudi Astara, Kepala Desa Tembok mengatakan ia akan terus memanfaatkan surplus sumberdaya alam dan manusia karena kembalinya ratusan warganya dari kota yang bekerja di sektor pariwisata. “Agar tak tergantung bansos,” ujar Perbekel, sebutan lokal bagi Kepala Desa di Bali.

Pada Maret 2020, setelah pemerintah mengonfirmasi kasus pertama penularan Coronavirus atau Covid-19, dalam waktu cepat sektor pariwisata anjlok. Sekitar 30% warga Desa Tembok yang kerja di kawasan padat Denpasar dan Badung pulang kampung. Mereka terpaksa balik kampung karena tak ada kemampuan finansial, biasanya warga yang ngekos. “Dulu masih ada persepsi Covid hanya 3-6 bulan, tapi ternyata sampai sekarang,” lanjut Yudi dalam webinar Cerita dari Desa oleh Warmadewa Research Center, Selasa (31/08/2021).

Warganya pulang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja, dirumahkan atau PHK. Sebagai Kepala Desa, Yudi mulai memperkirakan masalah yang akan muncul di desa. Tidak ada lapangan pekerjaan dan kekhawatiran psikologis. Ia hanya memanfaatan dana desa, dan saat itu pemerintah hanya fokus pada jaminan sosial bantuan langsung tunai (BLT).

Namun tidak semua bisa terakomodasi mendapat karena sistemnya rigid. Ada kluster yang terdampak langsung tidak bisa mendapatkan, karena BLT hanya untuk mereka yang terdata di DTKS, sebuah database kondisi sosial ekonomi yang dikelola Kemensos sejak sebelum pandemi. Ini jadi acuan menyalurkan bansos. “Persoalannya kluster terdampak ini tidak terakomodasi, tak menyasar yang terdampak langsung. Tapi masyarakat yang sebelum pandemi sudah miskin. Situasinya paradoks,” Yudi bingung.

baca : Begini Mitigasi Dampak Pandemi ala Desa Tembok Buleleng Bali

 

Beradaptasi di tanah kering Desa Tembok, Buleleng, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Sebagai langkah awal, ia memastikan dulu keadaaan biologis warga yang kembali ke desa ini seperti pangan, serta rencana-rencana agar mereka bisa produktif di desa dan dapat penghasilan.

Rembug musyawarah warga desa pun dilakukan, fokusnya upaya kebijakan pemerintah jaminan mendistribusikan jaringan sosial berjalan. Kelompok yang tidak mendapatkan diberi alternatif pekerjaan agar produktif dan positif. Mereka dirancang bisa mendapat penghasilan sehingga punya daya beli, perputaran ekonomi di desa berjalan. “Sumberdaya yang diberdayakan. Potensi apa yang kita punya, sumberdaya adalah warga dan anggaran,” lanjutnya.

Selanjutnya, Yudi refokusing anggaran dana desa, sejak April mulai diimplementasikan, salah satunya pengumuman bahwa desa menawarkan 20 alternatif pekerjaan sesuai kebutuhan desa. Risikonya, tidak semua bisa menyesuaikan hal baru. Muncullah daftar pekerjaan yang bisa dipilih oleh warga terdampak ini, misalnya kebersihan lingkungan, tukang instalasi biopori, surveyor demam berdarah, fogging dengan material alami, melatih membuat masker untuk perempuan mantan pekerja spa yang hampir 100% merantau. Gagasannya memanfaatkan potensi yang ada, manusia dan anggaran untuk mendapat manfaat sosial ekonomi. Kalau beli masker di pihak ketiga, tidak ada dampak sosial ekonomi yang kembali.

Desa punya inventaris mesin jahit yang bisa dimanfaatkan, desa tinggal menyiapkan tutor. Pekerja spa yang diberhentikan ini pun berlatih 2 minggu. Mereka diberi pesanan dan target produksi.

 

Memetakan potensi pertanian

Sejak Juni 2021, Yudi mulai fokus ke sektor pertanian. Karena ada lahan, targetnya adalah membuat alternatif aktivitas warga dan mendapat hasil panen. Untuk menutup biaya dan bahan pangan bagi warga. Dimulai dengan mengelola 2 hektar milik warga yang terbengkalai. Ada lahan yang dipinjam dan sewa, ditanami tanaman jangka pendek seperti sayur.

Sistemnya barter, warga diminta 1-2 jam merawat, lalu barter dengan kebutuhan pokok. “Kami minta mereka datang bersama anak dan keluarga lain karena disediakan ruang bermain, sosialisasi, dan belajar,” tutur Yudi. Terciptalah ruang interaksi baru, termasuk panen dan membagikan ke warga yang tidak mendapat bansos.

Desa ini juga memetakan peluang di pesisir karena dekat laut. Ada warga yang jadi dive master, instruktur selam yang kehilangan pekerjaan, dioptimalkan untuk memetakan potensi bahari seperti terumbu karang dan site diving.

baca juga : Menghidupkan Kebun Kolektif di Tengah Pageblug

 

Pencegahan hama tanpa pestisida di kebun sayur Desa Tembok, Buleleng, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Pada September-November 2021 ia ubah strategi, karena kebutuhan makin meningkat. Warga dipekerjakan dengan pola baru, bukan barter lagi tapi mendapat uang tunai. Desa mulai bangun kebun dengan pola investasi, misal mengoptimalkan komoditas bernilai tinggi seperti pisang dan mangga. Kebun pisang kini sudah rimbun.

“Bisa menyentil pemerintah, di kebun pisang ada pola investasi yang bisa diikuti pemerintah, padat karya tunai,” jelasnya. Pisang jadi konsumsi dan upacara agama di Bali. Hasil panen sudah isi merk per kelompok tani. Bahkan pembelinya sudah indent.

Jenis pisangnya dari bibit lokal, karena kini tersisihkan dan dinilai adaptif dengan iklim setempat. Bibitnya pun dicari di sekitar desa. Bibit dibeli dari warga dengan skema maksimum 40% dibayar tunai dan sisanya dalam bentuk barang. Harapannya mereka bisa pegang cash dan mendorong perekonomian. Karena barter barangnya adalah bahan pangan produksi desa seperti minyak kelapa, gula lontar, sayur, dan lainnya.

“Dari satu lahan saja, ada banyak sektor bergerak. Baru beberapa are, bagaimana kalau hektaran? Dengan hal sederhana, menyentil pemerintah, banyak masyarakat tetap produktif,” sebut Yudi. Ada yang berperan menanam dan merawat.

Prof Yunita dari Universitas Indonesia membagi pengalamannya mendampingi warga Indramayu dan Sumedang. Ia mendorong produksi budidaya dan mencegah gagal panen dengan sistem pertanian organik. Menurutnya tidak ada penurunan hasil jika organik malah hasilnya lebih tinggi karena terstandarisasi.

Ia berharap tak hanya daya lenting atau resiliensi yang lahir juga pemerataan kesejahteraan. Adaptasi pertanian dengan perubahan iklim menurutnya sangat penting untuk keberlanjutan, karena pemerintah biasanya membantu program satu musim lalu ditinggalkan.

baca juga :  Memilih Bisnis Ekologis Saat Rehat Pandemi

 

Penggunaan solar panel untuk membantu penerangan di kebun Desa Tembok, Buleleng, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Luh Putu Sendratari, dosen Sosiologi Universitas Pendidikan Ganesha, Buleleng, mengartikulasikan apa yang dikerjakan Yudi dalam kerangka sosiologi pariwisata.

Ia meyakini unsur paling penting adalah penggerak. Desa lain di Bali yang menurutnya mulai muncul semangat ini adalah Desa Pedawa. Ada kelompok anak muda bernama Kayoman Pedawa dengan spirit ekofeminisme, menyayangi alam. Dicirikan dari salam atau yel-yelnya yakni salam memula atau menanam. “Untuk Desa Tembok, saya punya salam bangkit,” Sendratari mengusulkan.

Menurutnya apa yang sudah dilakukan Yudi bukan gerakan yang tak mudah. Mulai mengubah kebijakan sampai terlihat hasil hanya 1,5 tahun. Ini yang disebut pemberdayaan partisipatif yang menggerakkan modal sosial. Apakah mampu berubah ke modal lain seperti finansial, intelektual, dan lainnya?

Komponen dasar pemberdayaan atau perubahan sudah terjadi di beberapa level seperti di tingkat individu, organisasi, dan masyarakat. Dengan partisipasi, mampu memperoleh akses, dan memahami hal yang rawan dalam lingkungannya. Organisai mencakup struktur dan proses, memperkuat partisiapsi anggota dan peningkatan kinerja. Tingkat masyarakat dengan tindakan kolektif peningkata kualitas hidup dan hubungan antar masyarakat.

Sendratari menyimbolkannya dengan pohon, terdiri dari daun, batang, dan akar. Bansos saja tidak bisa melahirkan pemberdayaan. “Tembok kini buat prestasi di tengah keterpurukan. Tembok punya prestasi saat ini,” katanya.

Ia mengusulkan desa menggali aspek sejarah, karena desa ini berarti benteng secara semiotik. “Disadarkan kesejahteraan di tengah keterpurukan, romatisme historis penting untuk digali sebagai benteng jangka panjang, sehingga mengikat masyarakat untuk pewarisan tradisi antar generasi,” ingatnya.

Refleksi era Covid-19 ini adalah ekonomi yang disandarkan pada pariwisata lumpuh akibat ketergantungan tinggi, tak banyak pilihan, daya tawar lemah, kurang produktif, dan kurang percaya diri. Jika bangkit maka tidak mudah ikut arus, merasa nyaman dengan diri sendiri, punya tekad yang keras, dan ada kesadaran spiritual.

Yudi mengaku ia memilih tidak serta merta mengikuti formalitas kebijakan pengelolaan dana desa agar sesuai kebutuhan warganya. Ia memodifikasinya asalkan ada forum keputusan tertinggi yang menguatkan yakni musyawarah desa.

baca juga : Geliat Petani Muda Bali di Tengah Pandemi COVID-19 [Bagian 1]

 

Demplot kebun sayur yang dibuat selama pandemi, untuk kebutuhan pangan warga dan sumber penghasilan baru. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia.

 

Terkait masalah pertanian, kendala yang dialami adalah hama. Kebun percontohan terong dicari tikus, kalau dimakan 25% menurutnya tidak apa anggap derma dengan saudara. Ternyata serangan masif, warga pasang jaring tapi ditembus. Kemudian dicoba menutup buah dengan plastik bekas dari bank sampah. Olah sampah lain adalah buat ecobrick 170 kursi, memanfaatkan sampah plastik yang dikumpulkan dari warga.

Hal mendasar yang dicarikan solusi adalah kebiasaan warga menjual mangga di pohon (bukan kiloan tapi dikontrakkan di pohon), akhirnya pohon dipaksa berbuah dengan cara tidak benar. Banyak pohon meranggas dan mati, sekitar 2-5% setiap tahun mati.

Petani tak punya daya, tak bisa merawat dan menjaga kestabilan harga. Cara praktisnya tetap mengontrakkan pohon. Inisiatif Badan Usaha Milik Desa untuk mengatasi ini adalah sekitar 20 hektar dihentikan kontraknya ke pihak lain. Sewa dinaikkan dari Rp50 jadi Rp100 ribu, dan dihargai Rp50 ribu rupiah per pohon dalam bentuk sembako. Pemilik masih bisa kerja merawat dan sharing profit 3-4 tahun saat rehabilitasi.

Pohon dikontrakkan juga karena tidak ada yang merawat, banyak anak muda merantau. “Asumsi kami 5 tahun kemudian mangga sehat dan kondisi optimal secara ekologis baru diserahkan ke warga untuk merawat mandiri,” jelas Yudi. Ia juga kerjasama dengan pihak ketiga, sehingga keran ekspor ke Eropa terbuka dan habis terjual di tingkat lokal. Harganya pun melebihi pasar, sekitar Rp15 ribu, sedangkan di pasar Rp3000. Saat panen, juga bisa beli dengan petik di kebun.

“Saya punya angan besar, mengutamakan lingkungan dan ekologis di atas ekonomi. Green economy bisa diterapkan di desa,” harap Yudi. Perubahan iklim masih sulit dipahami, karena saat ini konsentrasi warga bisa bertahan makan, bagaimana perut terisi, dan visi desa berjalan.

Ia ingin moratorium kontrak seluruh kebun, namun harus kerjasama dengan pihak lain seperti Pemkab. Untuk mengganti biaya kontrak. Kemudian memastikan input organik karena desa memetakan ada 600 ekor sapi, dengan produksi kotoran hewan (kohe) 1,6 ton untuk material mentah kompos.

baca juga : Jika Pariwisata Hidup Lagi, Apakah Pertanian Kembali Mati? (bagian 2)

 

Kepala Desa Tembok, Buleleng, Bali, Dewa Komang Yudi dan hasil olahan desanya yang dikemas menarik. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia.

 

Yudi juga tertarik ide penyehatan lingkungan, misal audit tanah, mengecek kandungan unsur hara untuk berproduksi optimal dan sehat. “Belasan ribu pohon mangga ini perlu orang untuk merawat,” katanya.

Pertanian organik akan mengundang lebah untuk penyerbukan yang dikelola mandiri tanpa pestisida. Walau 2 tahun belum maksimal hasilnya, akan ada tambahan penghasilan madu. “Banyak lahan sela di pelaba pura, jalan, dan tidak produktif, bisa menanam bunga untuk pakan lebah radius 1 km. Musim lontar dan mangga tidak sepanjang tahun. Bisa tanam markisa, air mata pengantin, dan lainnya,” Yudi berangan-angan.

Lebih penting lagi, ia ingin ada forum diskusi melibatkan pemerintah. Agar kebutuhan-kebutuhan desa diterjemahkan ke kebijakan anggaran yang berkelanjutan dan linier. “Selama ini disorientasi, saya ke utara, pusat ke timur atau barat. Saya kehilangan esensi dalam mengemban tugas,” harap Perbekel muda yang tuturnya kalem tapi berenergi ini.

Mimpinya mewujudkan akses kesehatan di desa pun terlaksana saat pandemi ini. Sebuah klinik kesehatan desa hadir dengan anggaran pengadaan kesehatan, ambulance, kebijakan jaminan kesehatan desa, dan asuransi lingkup desa yang jadi sumber pertanggungan. Akses kesehatan ini sangat diperlukan karena tak sedikit warga yang mendaftar Jaminan Kesehatan Nasional melalui BPJS Kesehatan mandiri sudah tidak mampu bayar, tunggakannya 1,5 tahun. Fasilitas kesehatan seperti rumah sakit pun jauh. Antisipasi anak yang putus sekolah dengan bantuan pendidikan sudah dilakukan sejak Maret 2020.

 

Exit mobile version