Mongabay.co.id

Katak Kecil Bermulut Sempit, Jenis Baru yang Sensitif pada Perubahan Iklim

 

 

Penemuan spesies katak baru di hutan Sumatera, tepatnya di Lampung dan Pulau Belitung, membuktikan Indonesia memiliki kekayaan hayati luar biasa. 

Jenis ini dinamakan katak kecil bermulut sempit, dari Genus Microhyla. Ciri khasnya adalah jantan dewasa berukuran kecil, dengan panjang moncong berkisar 12,3 hingga 15,8 mm. Moncong ini tumpul dan bulat, memiliki tanda punggung bewarna coklat kemerahan atau oranye, dengan tuberkel kulit yang menonjol.  

Secara ilmiah, jenis baru ini telah dipublikasikan pada Jurnal Zootaxa edisi 2 September 2021.  

“Namanya Microhyla sriwijaya,” kata Amir Hamidy, peneliti herpetologi dari Kantor Pusat Riset Biologi-Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Hayati [OR IPH]- Badan Riset dan Inovasi Nasional [BRIN] kepada Mongabay Indonesia, Selasa [14/9/2021].

Katak ini masih masuk anggota Microhyla achatina dan saudara Microhyla orientalis. Namun, berdasarkan analisis morfologis, molekuler, dan akustik terdapat perbedaan, sehingga diidentifikasikan sebagai katak spesies baru.

Sayangnya, lanjut Amir, habitat amfibi tersebut terancam kegiatan antropogenik yang mengakibatkan kerusakan habitatnya.  

Antropogenik adalah pencemar yang masuk ke badan air akibat aktivitas manusia, misalnya kegiatan domestik, urban maupun industri. Intensitas pencemar antropogenik dapat dikendalikan dengan cara mengontrol aktivitas yang menyebabkan timbulnya pencemar tersebut.

“Penemuan Microhyla sriwijaya menegaskan perlunya melestarikan habitat alami,” paparnya.

Baca: Katak-Pucat Pantaiselatan, Jenis Baru dari Hutan Pulau Jawa

 

Katak kecil bermulut sempit ini merupakan jenis baru dari Sumatera. Foto: Farits Alhadi/BRIN

 

Sensitif pada perubahan iklim

Sesungguhnya, katak tropis sensitif dengan perubahan iklim. Amir menjelaskan, perubahan iklim dan penggunaan lahan dapat mengurangi daerah layak huni bagi katak tersebut.

“Katak tropis sangat sensitif, naik suhu 1 derajat Celcius saja akan sangat berdampak.”

Sebab, ketika spesies ini menghadapi suhu cukup panas, dapat membahayakan perilaku reproduksi dan fisiologinya.  

“Bahkan perubahan iklim bisa mempengaruhi perkembangan populasi.” 

Katak memang mengandalkan sumber eksternal untuk mengatur suhu tubuh. Ketika tidak dapat menjaga suhu tubuh, di bawah batas suhu maksimum, mereka tidak bisa mengembangkan populasinya.

“Perlu dilakukan survei dan studi herpetologi ekstensif di wilayah lebih kecil dan kurang tereksplorasi potensi kehatinya, seperti Belitung,” lanjut Amir.

Baca: Jenis Baru, Katak Mini dari Sumatera Bagian Selatan

 

Microhyla sriwijaya, nama jenis baru katak ini. Foto: Farits Alhadi/BRIN

 

Ancaman tambang dan perkebunan sawit

Survei lapangan dan pengambilan spesimen katak baru ini dilakukan oleh tim herpetologi tahun 2018 dan 2019, di dua kabupaten di Pulau Belitung, Provinsi Bangka Belitung, yaitu Kabupaten Belitung dan Kabupaten Belitung Timur.

Kabupaten Belitung disurvei di Kecamatan Membalong, Desa Kembiri. Selain itu di Kecamatan Tanjung Pandan, Desa Tanjung Pandan. Sedangkan Kabupaten Belitung Timur disurvei di Kecamatan Gantung, Desa Batu Penyu. 

Di Provinsi Lampung, spesimen ini berasal dari survei yang dilakukan di lereng barat daya Gunung Rajabasa, sebuah gunung berapi di bekas ujung tenggara Sumatera, pada Juni 2013 lalu.

“Di Belitung, spesimen ini diambil di perkebunan sawit.”

Hal ini tentu mengkhawatirkan, sebab katak kecil ini memiliki sebaran minimalis. Terancam kehilangan habitat. 

“Perkebunan ini kadang merubah lanskap alam, begitu juga pertambangan. Bila hal ini dibiarkan, tentu banyak spesies satwa yang terganggu bahkan bisa saja punah,” tutur Amir. 

Baca: Katak dan Kodok, Apa Bedanya?

 

Katak ini masih masuk anggota Microhyla achatina dan saudara Microhyla orientalis. Foto: Farits Alhadi/BRIN

 

Sumatera rumah Microhyla

Indonesia memiliki sembilan spesies Microhyla, yaitu M. achatina [Sumatera], M. berdmorei [Kalimantan dan Sumatera], M. mukhlesuri [Sumatera], M. gadjahmadai [Sumatera], M. heymonsi [Sumatera], M. malang [Kalimantan], M. orientalis [Jawa, Bali, Sulawesi, dan Timor], M. palmipes [Bali, Jawa, dan Sumatera], serta M. superciliaris [Sumatera]. 

Dari jumlah tersebut, empat spesies endemik Indonesia, yaitu M. achatina, M. gadjahmadai, M. orientalis, dan M. palmipes.

Temuan ini menegaskan bahwa Pulau Sumatera menempati posisi penting dalam hal keanekaragaman spesies Microhyla. Hal ini diwakili oleh M. achatina, M. berdmorei, M. gadjahmadai, M. heymonsi, M. mukhlesuri, M. palmipes, dan M. superciliaris.

Mengapa jenis baru ini dinamakan Sriwijaya?

Amir menegaskan, nama Sriwijaya dipilih untuk diabadikan sebagai nama jenis, mengacu pada nama kerajaan pemersatu pertama yang mendominasi sebagian besar Kepulauan Melayu pada abad ke-7 hingga ke-11.

“Kita berharap dengan penemuan katak ini kita bersatu dalam upaya menjaga kelestarian hutan di setiap pulau Indonesia,” tuturnya.

 

 

Exit mobile version