Mongabay.co.id

Para Perempuan Penjaga Kinipan

Elisabeth Ringit (ditandai) dalam aksi warga Kinipan menolak PT SML di wilayah Hutan Adat Laman Kinipan pada Sabtu, 19 Januari 2019 Doc. Save Our Borneo

 

 

 

“Bapak Effendi, bukan penjahaaaaat, bukan penjahat paaaak!” Begitu teriakan Elisabeth Ringit, mengejar suaminya, Effendi Buhing, yang diseret aparat berseragam hitam-hitam dan bersenjata laras panjang. Dengan telepon genggam, dia juga merekam penangkapan suaminya yang juga Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan ini, pada 26 Agustus 2020.

Video ini kemudian viral, membuka mata kita tentang konflik panjang yang menimpa masyarakat adat di berbagai daerah di tanah air. Konflik yang merongrong masyarakat Dayak Tomun di Kinipan dan merongrong hutan adat Laman Kinipan, Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah.

“Hutan adalah segala-galanya,” jawaban Elisabeth Ringit, ketika ditanya makna hutan. Saya berkunjung ke rumah keluarga Buhing Maret lalu.

Kami mengobrol santai. Di teras rumah, kawan-kawan tim dokumentasi dari Save Our Borneo, sedang mengambil gambar persiapan Ancak. Ancak adalah serangkaian sesajian terdiri dari lemang putih dan kuning, ayam dan tuak untuk ritual. Ancak akan dibawa ke hutan untuk upacara adat sekaligus peresmian pos jaga hutan adat Kinipan.

“Hutan memberikan kayu untuk rumah-rumah kami,” kata Elisa, sambil mengusap lantai kayu rumah. Sebagian besar rumah di Kinipan, terbuat dari kayu yang mereka ambil dari hutan adat.

Tak hanya itu., hutan juga menyediakan makanan, dari dalam hutan maupun ladang di sekitar hutan. Padi, sayur mayur, buah-buahan terutama jengkol yang mereka jual dan menghasilkan uang tunai.

“Hutan juga menyediakan kayu bakar, tanaman hias dan obat-obatan,” katanya lagi.

Kalau sawit masuk, katanya, tanam lombok pun sudah tidak bisa. Hutan adat mereka, kena klaim masuk konsesi perusahaan sawit, PT Sawit Mandiri Lestari (SML). Perusahaan perkebunan sawit ini telah mengantongi izin pelepasan kawasan hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan seluas 19.091 hektar, sebagian tumpang tindih dengan hutan adat Kinipan.

Hutan juga menyokong ritual adat. Filemon, Mantri Adat Kinipan, bilang, daun sengkuba yang dipakai dalam upacara adat ikat tongang, dari hutan Kinipan.

 

Baca juga: Berawal Konflik Lahan, Berujung Jerat Hukum Orang Kinipan

Banjir di Kinipan September 2020. foto: dokumen warga

 

Filemon juga menunjukkan lembaran-lembaran daun biasa mereka sebut daun langgir. Daun itu sebagai shampo alami untuk mengatasi kerontokan rambut.

Hutan juga untuk menjaga pasokan air. Mahlon Hian, warga adat Kinipan, mengatakan, warga Kinipan menggantungkan pasokan air bersih pada Sungai Batang Kawa, yang mengalir melintasi Desa Kinipan. Sungai yang menghidupi desa ini bergantung kepada kelestarian hutan. Hutan memiliki peranan penting dalam pengaturan tata air.

Tajuk-tajuk pohon di hutan Laman adat Kinipan membantu menyerap air hujan ke tanah hingga tak langsung tersapu turun ke lembah, lokasi permukiman Desa Kinipan.

Hian, yang akrab disapa Mama Berky ini juga mengisahkan banjir di Kinipan. Dia bilang, sejak lahir tinggal di Kinipan, tak pernah kebanjiran, barulah setelah hutan dibuka dalam skala besar oleh perusahaan.

“Setelah masuk SML ini kami sudah tiga kali kebanjiran” katanya, dengan suara bergetar. Mata berkaca mengingat suasana ketika banjir melanda.

Kala sudah musim penghujan, kekhawatir banjir datang. Tak hanya soal pemukiman terendam, tetapi juga padi mereka terancam gagal panen.

Mereka terus berusaha berjuang agar hutan adat terjaga. Mereka aksi protes dengan berbagai cara. Hutan adalah segala-galanya.

Perjuangan menyelamatkan hutan adat Laman Kinipan, belum usai. Saat ini, keberadaan mereka sebagai masyarakat adat saja masih belum ada pengakuan dan perlindungan dari negara.

Padahal mereka eksis sebelum ada Indonesia. Anehnya, mereka masih harus mengajukan usulan dengan proses rumit dan berbelit. Mereka harus memohon untuk dapat diakui sebagai sejatinya mereka, komunitas masyarakat adat.

Para pembela hutan adat Kinipan ini masih menunggu kerja Panitia Masyarakat Hukum Adat Kabupaten Lamandau, untuk menerbitkan surat keputusan pengakuan dan perlindungan sebagai masyarakat hukum adat Laman Kinipan oleh Bupati Lamandau.

Meski begitu, kalaupun surat keputusan bupati keluar, tak serta merta menyelamatkan hutan adat karena masih perlu proses pengakuan berikutnya dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta.

Awal Juni 2021, saya mendapat informasi, usulan komunitas masyarakat hukum adat termasuk usulan hutan adat Kinipan dikembalikan oleh Panitia Masyarakat Hukum Adat Kabupaten Lamandau. Usulan itu diminta diperbaiki dan dilengkapi.

Rentetan proses yang harus dijalani komunitas masyarakat adat untuk memperoleh hak mereka atas hutan adat ini mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012. Putusan Mahkamah Konstitusi itu menyatakan: hutan adat bukan lagi hutan negara.

 

Baca juga: Bencana Datang di Tengah Orang Kinipan Terhalang Jaga Hutan Adat

Warga Kinipan menanam pohon di lokasi land clearing PT SML. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

Tak sendirian

“Perjuangan, mau seberapa pun hebatnya tidak akan berarti jika sendirian. Maka penting bersatu!” Begitu kata-kata Mahlon Hian saat berdiskusi di sela-sela peresmian pos jaga Hutan Adat Kinipan.

Merujuk ungkapan Bina Agarwal (2010) dalam buku Gender and Green Governance, saya melihat para perempuan Kinipan sedang berada pada tahap membangun aliansi. Menurut Agarwal, ada satu sisi komunitas sedang membangun pagar-pagar sosial untuk melindungi hutan mereka, di dalamnya ada para perempuan yang masih terpisah dan termarginalisasi oleh norma-norma sosial berjuang menemukan suara mereka.

Bagian lain, ada aliansi yang terajut secara strategis, mereka ini dapat menghubungkan komunitas antar desa dan para perempuan antar komunitas, kemudian mengubah lansekap ekologis dan sosial.

Saya merasakan ada sebuah gerakan perlahan, kesadaran berjejaring yang makin menguat. Seperti kisah Elisa tentang video viral yang dia buat. Video yang diakuinya tidak berani dia tonton kembali.

Elisa bercerita perasaannya waktu mengambil video ini. Dia berteriak semata sebagai sebuah upaya membuat “kalut” para aparat. “Saya tidak takut,” katanya.

Dia hanya mengkhawatirkan HP suaminya dirampas aparat.

Setelah Effendi dibawa, Elisa sempat terdiam sebentar, sebelum sadar harus segera mengirimkan video hasil rekaman kepada pihak-pihak yang dia anggap “bisa menolong.”

Nama pertama yang ada di ingatannya adalah Panglima Jilah (PJ), pemimpin Ormas Dayak Tariu Borneo Bangkule Rajakng (TBBR) yang akrab disebut Pasukan Merah dan berbasis massa Dayak lintas provinsi. Dia bersama suami dan anaknya bergabung sebagai anggota sejak 2019, ketika TBBR mulai memiliki struktur organisasi di Lamandau.

Setelah itu, video lalu dia kirimkan juga ke beberapa grup kampanye yang mendukung perjuangan Kinipan. Salah satu kiriman sampai kepada Ayu Kusuma, pengkampanye Walhi Kalimantan Tengah.

Menurut Ayu, tim Walhi Kalteng mendapatkan video penangkapan Effendi Buhing menjelang siang. Dia langsung mengunggah ke akun sosial media Walhi Kalteng, baik Instagram, Facebook dan Twitter. Walhi Nasional juga menaikkan kasus itu di media sosial.

Walhi merupakan organisasi lingkungan hidup terbesar di Indonesia, memiliki lebih dari 400 organisasi anggota di 28 provinsi.

Saya juga menemui Pinarsita Juliana. Videografer di Save Our Borneo, sebuah organisasi sebuah organisasi non-pemerintah yang berfokus pada kerja-kerja penyelamatan lingkungan dan hak asasi manusia sejak didirikan 15 tahun silam. Pinar, begitu panggilannya, mulai bergabung dengan SOB sejak 2018. Sejak beberapa tahun sebelumnya telah melakukan perlawanan dari balik kamera dengan kemampuan audio visualnya.

Pinar punya andil untuk banyak gambar menyentuh dalam konten-konten kampanye audio visual yang diproduksi SOB tentang Kinipan.

Penelusuran saya dalam kampanye penyelamatan Kinipan membawa pada satu nama lain, Salsabila Khairunnisa. Perempuan muda kelahiran 2003 yang akrab dipanggil Abil ini adalah pengurus Sekolah Literasi Ekofeminis Ruang Baca Puan.

Sejak di bangku kelas III SMA, Abil menggagas gerakan “mogok sekolah untuk hutan,” yang kemudian menghimpun anak-anak muda seumuran untuk ikut serta dalam jejaring aksi “Jaga Rimba.”

Awalnya, Abil aksi solo di depan pintu kantor KLHK di Jakarta dengan membawa kardus bertuliskan ‘Mogok Sekolah untuk Hutan,’ tepat di depan gedung Manggala Wanabhakti. Belakangan dia memutuskan berhenti sekolah, dan memilih home schooling pasca aksi mogok sekolah.

Dia kerap menyertakan kisah Kinipan dalam linimasa Jaga Rimba, sebuah platform di media sosial untuk menghubungkan anak-anak muda yang peduli permasalahan lingkungan hidup. Abil melalui Jaga Rimba juga menggagas petisi online “Hentikan Operasi PT SML di Hutan Adat Laman Kinipan.”

Elisa, Hian, Ayu, Pinar dan Abil, terhubung oleh penyelamatan terhadap hutan adat Kinipan. Mereka menunjukkan, kepedulian dan perjuangan perempuan menyelamatkan hutan merupakan perlawanan yang menubuh.

 

Baca juga: Warga Kinipan Tanam Pohon di Hutan Adat yang Terbabat Sawit

Perusahaan yang membuka kebun sawit dan berkonflik lahan dengan masyarakat adat Laman Kinipan di Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

Upaya menyelamatkan Kinipan adalah perjuangan untuk tanah air, menjaga tanah dan memelihara sumber air. Sesederhana itu. Mereka gigih karena memikirkan anak cucu. Generasi mendatang yang mereka kenang dengan penuh harapan.

Perempuan-perempuan penjaga Kinipan ini mulai menemukan titik kuatnya. Mereka bersuara dan berjejaring. Kekuatan dan jejaring perempuan ini tak banyak dilihat media, apalagi publik. Mungkin karena mereka perempuan atau karena tindakan tak nampak signifikan, tetapi merekalah benih itu, para ekofeminis pejuang harapan.

Kinipan, yang awalnya berlawan sendiri kini mulai mendapat simpati dari desa-desa tetangga dengan wilayah juga terdampak perusahaan sawit. Rintisan ini mengingatkan saya pada bergulirnya Gerakan Chipko di India. Gerakan ini secara khusus dibahas Vandana Shiva dalam satu bab di buku Ecofeminism.

Chipko, adalah sejarah panjang perlawanan perempuan tanpa kekerasan untuk mempertahankan hutan dan sumber daya alam. Hampir setengah abad lalu, para perempuan Desa Reni di India berhasil mengusir perusahaan yang akan menumbangkan hutan mereka dengan aksi memeluk pohon, berhari-hari, tak melepaskan sama sekali.

Ternyata, kesadaran, kerjasama dan peran perempuan merupakan satu kunci utama di balik perjuangan Kinipan, sesuatu yang tak saya dapatkan di berita-berita media utama atau film, bahkan tak diperbincangkan gerakan masyarakat sipil pendukung kampanye penyelamatan hutan Kinipan.

Saya meyakini hal sama juga terjadi di banyak perjuangan penyelamatan lingkungan lain. Pengalaman ketubuhan perempuan baik secara biologi dan sosial berbeda hingga menghasilkan pandangan dan pengetahuan yang berbeda dalam hubungan dengan lingkungan. Ini akan jadi penguat bagi perjuangan serupa di manapun. Itulah yang diajarkan Elisa, Hian, Ayu, Pinar dan Abil, bahwa selain laki-laki, para puan adalah kunci utama menjaga Kinipan.

 

*Penulis Taibah Istiqamah adalah, salah satu presidium Partai Hijau Indonesia. Alumni Sekolah Literasi Ekofeminis Musim Hujan 2021. Tulisan ini merupakan opini penulis.

 

******

Foto utama:

Elisabeth Ringit (ditandai) dalam aksi warga Kinipan menolak PT SML di wilayah Hutan Adat Laman Kinipan pada 19 Januari 2019. Foto:  Save Our Borneo

 

 

Exit mobile version