Mongabay.co.id

Kemenangan Warga atas Gugatan Pencemaran Udara Jakarta

 

 

 

 

Yuyun Ismawati, tidak bisa menyembunyikan kegirangan. Co-founder Nexus Foundation itu masih membalas pesan instan dengan ramah sekalipun saat itu sibuk membalas rentetan permohonan wawancara yang tidak ada putusnya sepanjang hari.

Happy and big smile today!” katanya diakhiri emoticon senyum, Kamis (16/9/21).

Kegembiraan Yuyun bukan tanpa alasan. Pagi itu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan sebagian gugatan warga atas pencemaran udara Jakarta.

“Kemenangan yang menyenangkan,” katanya, mengingat proses gugatan ini berjalan lebih dua tahun dan harus mengalami delapan kali penundaan pembacaan putusan hingga sempat buat dia geregetan.

Dia salah satu dari 32 penggugat karena prihatin risiko penyakit yang bisa diderita generasi mendatang karena polusi udara. Seharusnya, negara menikmati bonus demografi pada 2030-2045.

Belum lagi, beberapa penyakit pernapasan sampai turunan karena polusi mengintip jutaan masyarakat produktif tahun itu. “Apa yang diharapkan Indonesia emas kalau mereka penyakitan karena polusi udara?” katanya.

Baca juga: Kala Kualitas Udara Jakarta Buruk, Warga Gugat Pemerintah ke Pengadilan

 

Polusi dari kendaraan pribadi di Jakarta, jadi sumber polusi. Belum lagi ditambah polutan dari PLTU, yang mengungkung Jakarta, dalam radius 100 km, turut berkontribusi meningkatkan konsentrasi PM2,5. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Amar putusan

Ada sembilan poin putusan dibacakan Ketua Majelis Hakim Saifuddin Zuhri di ruang sidang Hatta Ali, PN Jakarta Pusat, pagi itu. Pembacaan sembilan poin putusan itu berlangsung sekitar enam menit.

Pertama, hakim menyebut kalau gugatan para penggugat dikabulkan sebagian. Kedua, menyatakan tergugat I (Presiden Indonesia), tergugat II (Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan), tergugat III (Menteri Kesehatan), tergugat IV (Menteri Dalam Negeri) dan tergugat V (Gubernur Jakarta), telah melawan hukum. Masing-masing mendapat vonis berbeda dari hakim.

Ketiga, menghukum presiden mengetatkan baku mutu udara ambien nasional agar cukup melindungi kesehatan manusia, lingkungan dan ekosistem. “Termasuk, kesehatan populasi yang sensitif berdasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,” kata Hakim Saifuddin.

Keempat, katanya, menghukum KLHK mesupervisi Gubernur Jakarta, Gubernur Banten dan Gubernur Jawa Barat dalam pengetatan emisi lintas batas provinsi Jakarta, Banten dan Jawa Barat. Kelima, menghukum Menteri Kesehatan untuk pengawasan dan pembinaan kinerja Gubernur Jakarta dalam pengendalian pencemaran udara.

Keenam, menghukum Menteri Dalam Negeri untuk penghitungan penurunan dampak kesehatan akibat pencemaran udara di Jakarta yang perlu dicapai sebagai dasar pertimbangan Gubernur Jakarta dalam penyusunan strategi rencana aksi pengendalian pencemaran udara.

Ketujuh, majelis hakim menghukum Gubernur Jakarta untuk pengawasan terhadap ketaatan setiap orang terhadap setiap ketentuan peraturan perundangan di bidang pengendalian pencemaran udara dan atau ketentuan dokumen lingkungan hidup. Juga, menjatuhkan sanksi terhadap setiap orang yang melanggar peraturan perundang-undangan tentang pengendalian pencemaran udara.

Kemudian, menyebarluaskan informasi pengawasan dan penjatuhan sanksi berkaitan pengendalian pencemaran udara kepada masyarakat serta mengetatkan baku mutu udara ambien daerah untuk Jakarta hingga cukup melindungi kesehatan manusia, lingkungan dan ekosistem. “Termasuk kesehatan populasi yang sensitif berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.”

Kedelapan, majelis hakim menghukum Gubernur Jakarta untuk menginventarisasi baku mutu udara ambien, potensi pencemaran udara, kondisi meteorologis dan geografis serta tata guna lapangan. Dengan mempertimbangkan penyebaran emisi dari sumber pencemar yang melibatkan partisipasi publik, menetapkan status mutu udara ambien setiap tahun dan mengumumkan kepada masyarakat.

“Serta menyusun dan mengimplementasikan strategi dan rencana aksi pengendalian pencemaran udara, dengan mempertimbangkan penyebaran emisi dari sumber pencemar serta terfokus tepat sasaran dan melibatkan partisipasi publik,” kata Saifuddin.

Kesembilan, menolak gugatan para tergugat dan menghukum mereka membayar perkara Rp4, 255 juta.

Baca juga: Polusi Udara Pembunuh Senyap di Jabodetabek

 

Hidup bersama udara buruk seperti di Jakarta, memaksa warga berpikir, upaya mengurangi paparan, salah satu dengan pakai masker. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

HAM yang hilang

Putusan pengadilan memang memberikan kemenangan besar bagi para penggugat. Meskipun demikian, ada yang lalai dilihat majelis hakim yakni, tuntutan bahwa para tergugat lalai terhadap hak asasi manusia.

Padahal, menyediakan udara bersih adalah tanggung jawab pemerintah. Udara bersih itu masuk ke dalam hak manusia yang paling asasi.

“Mungkin karena pertimbangan politik atau pertimbangannya yang terlalu kompleks,” kata Yuyun.

Ada kecurigaan, kalau hakim mengabulkan tuntutan ini, maka pemerintah dinilai lalai HAM dan memiliki citra kurang baik. “Padahal, yang kami kedepankan hak udara yang sehat. Itu penting.”

Senada dengan Yuyun, Bondan Andrinayu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia dalam keterangan tertulis juga menyoroti kelalaian HAM dalam putusan majelis hakim.

Not bad at all. Message bisa difokuskan pada celebrate victory!” katanya.

Baca juga: Laporan Ungkap Polusi Udara Jakarta Terburuk di Asia Tenggara

 

Berdasarkan data inventarisasi Dinas Lingkungan Hidup Jakarta, penyumbang polusi udara, 75% transportasi darat, 8% industri, 9% pembangkit listrik dan pemanas, dan 8% pembakaran domestik. Kendaraan bermotor yang melewati jalan di ibukota, berdasarkan data statistik transportasi Jakarta terus meningkat setiap tahun. Foto: Lusia Arumingtyas/Mongabay Indonesia

 

Kawal terus

Meskipun sudah ada putusan pengadilan, tetapi bukan berarti warga ibu kota langsung menghirup udara bersih. Masih perlu waktu adan aksi serius pemerintah mengeluarkan aturan baru dan eksekusi yang diperintahkan pengadilan.

Yuyun bilang, bersama para para penggugat lain akan bersiap mengawal putusan ini sampai terealisasi. “Kami tidak tahu seperti apa proses di belakang layar tapi kami akan terus fight.”

Pemerintah Jakarta memutuskan tak akan banding atas putusan ini. Sikap serupa diminta Yuyun kepada pemerintah pusat dan kementerian.

“Semua bukti tunjukkan kalau mereka bersalah dan abai. Jadi, kalau mau banding, apa yang mau mereka pamerkan?”

Ayu Eza Tiara, kuasa hukum penggugat, , dalam keterangan tertulis menyerukan hal sama. Seharusnya, para tergugat menerima kekalahan dengan bijaksana dan memilih fokus upaya perbaikan kondisi udara.

“Daripada melakukan hal sia-sia seperti upaya hukum perlawanan banding atau kasasi, lebih baik fokus di perbaikan.”

Ayu juga menyebut kalau tim advokasi koalisi Ibukota sebagai penggugat sangat terbuka turut dalam perbaikan kualitas udara di Jakarta, Banten dan Jawa Barat. “Karena itu kami akan mengawal pemerintah untuk betul-betul menuntaskan kewajibannya,” kata Ayu.

 

Exit mobile version