Mongabay.co.id

Mural, Besek, sampai Mujahadah, Perlawanan Simbolis dari Wadas

srol (Media Legal) tengah menyelesaikan gambar wajah petani..JPG

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

 

 

 

 

Pada satu perempatan di Desa Wadas, mereka berhenti sejenak melepas penat. Sebagian sepeda dari Komunitas Pit Dhuwur Yogyakarta sudah naik ke truk. Pada 28 Agustus lalu, mereka mengayuh sepeda dari Yogyakarta ke Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, sebagai bentuk dukungan kepada warga desa itu yang menolak tanah ditambang untuk bendungan.

Mereka berhenti di dekat posko yang penuh spanduk perlawanan bertuliskan “Tanah Leluhur Bukan Tanah Kosong.” Warga menghidangkan teh manis dan makanan kepada rombongan. Beberapa perempuan memperhatikan tetamu yang baru datang sambil menganyam besek.

“Hari ini, teman-teman mulai aksi mural di beberapa titik. Malamnya mujahadah,” kata Uut, pemuda Desa Wadas yang memakai kaos bertuliskan Satgas Gempadewa, Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas.

Tak lama dikawal satgas, mereka bergerak bergabung dengan kelompok lebih besar. Di jalan desa rombongan berpapasan dengan ibu-ibu dari Wadon Wadas yang menyambut dengan tepuk tangan sembari menyanyikan lagu.

Aura semangat dan tekad warga mempertahankan tanah dari penambangan terasa di setiap sudut Desa Wadas. Di sepanjang jalan desa, di beberapa titik strategis terlihat bendera, spanduk, baliho. Ada pula pos ronda yang jadi posko perjuangan.

Tulisan dengan kalimat perlawanan ada di sana sini. “Lebih Baik Gugur Berjuang Daripada Tergusur dan Terbuang.” “Rakus Tambang Dilarang Masuk.” “Lawan Segala Bentuk Perampasan Ruang Hidup. Batuan Penopang Hutan Ojo Mbok Jupuk.” “Tanah Subur Rakyat Makmur Tanpa Tambang. “

Di depan pintu masuk Mesjid Nurul Huda ada gambar KH Hasyim Asyari dengan ukuran besar bertuliskan “Petani Adalah Penolong Negeri.” KH Hasyim Asyari adalah tokoh pendiri NU yang disegani.

Pada 30 Agustus, Pengadilan tata Usaha Negara (PTUN) Semarang memutuskan gugatan warga Desa Wadas terhadap Gubernur Jawa Tengah atas izin penetapan lokasi (IPL) penambangan batu quarry. Hasilnya, PTUN menolak gugatan warga Wadas.

Penolakan warga Wadas atas rencana penambangan di lahan milik mereka mulai sejak tiga tahun lalu. Kala itu, ada sosialisasi pengadan tanah untuk Bendungan Bener di Balai Desa Wadas. Pertemuan berjalan tegang dengan penjagaan aparat kepolisian. Sebagian besar warga menolak dan memilih mempertahankan lahan dari pengerukan.

Fuad, pemuda Desa Wadas yang tergabung dalam Kamudewa atau Kawula Muda Desa Wadas mengatakan, warga Wadas tak menolak pembangunan bendungan yang berjarak sekitar 12,5 kilometer dari desanya. Mereka menolak penambangan bebatuan dari dalam tanah desa mereka untuk menguruk Bendungan Bener.

Di atas tanah Desa Wadas, ada ribuan pohon durian, aren, kemukus, panili, petai, sengon, yang selama ini menghidupi mereka secara berkelanjutan. Rerimbunan pohon dengan aneka vegetasi jadi habitat dan persinggahan berbagai jenis burung untuk makan dan mencari pasangan.

 

Baca juga: Warga Wadas Bertahan, Tolak Penambangan buat Proyek Bendungan Bener

 

 

Coretan perjuangan

Saat aksi mural tengah menjadi sorotan karena beberapa mural di berbagai kota dihapus petugas, justru di Wadas, mural mendapat tempat. Warga desa menyediakan rumah untuk dilukis. Sebagian warga lain kerja bakti membersihkan tempat umum dari lumut dan tetumbuhan liar agar mudah dilukis.

Pada 28-29 Agustus lalu, sejumlah seniman dari berbagai kota mengadakan aksi pembuatan mural di desa ini. Dari undangan yang tersebar, para seniman mural ini antara lain dari Taring Padi, Antitank Project, Media Legal, Kamudewa, Digie Sigit, Fajar Copet, Farid Stevy, Guerillas, Birdpeace, Komikrukii, Saka Rola Vaerhoven, dan Bodhi IA X Judith Chung. Juga, Dian Suci Rahmawati, Menolak Tobat, Momo, Resureksi, Svararinjani, Umar Faruq, Yayak Yatmaka sampai Roni Cardo x Yngvie A Nadiyya.

Para seniman mural itu diberi kebebasan menuangkan karya di lokasi-lokasi yang sudah ditentukan. Secara teknis mereka diberi kebebasan menggunakan cara apa dalam mewujudkan karnyanya. Mulai dari teknik cat semprot, cukil kayu, hingga stensil.

Insin Sutrisno, Ketua Gempadewa mengatakan, pilihan mural sebagai media perlawanan wujud dukungan terhadap perjuangan warga Wadas dari pekerja seni.

“Lokasi yang dilukis tersebar di beberapa titik di tujuh RT dan jalan desa Wadas. Warga antusias, tambah semangat, dan percaya diri bahwa kami berjuang didukung banyak pihak karena perjuangan untuk mengutuhkan alam bukan merusak,” kata Insin.

Dia bilang, tak takut atau pun khawatir dengan klaim dari kelompok baru yang mengatasnamakan warga Wadas yang siap menjual tanah untuk penambangan.

Kelompok ini menyebut diri Matadewa atau Masyarakat Terdampak Desa Wadas. Mereka ini mengklaim dari sekitar 500 pemilik tanah terdampak, 70% menyatakan setuju ditambang.

Beberapa waktu lalu mereka bahkan menggelar jumpa pers di sebuah rumah makan sambil memperlihatkan tumpukan dokumen berupa foto kopi surat pemberitahuan pajak terhutang pajak bumi dan bangunan (SPPT PBB). Mereka juga perlihatkan KTP sejumlah warga yang setuju.

“Kami tidak takut atau was-was karena laporan itu palsu. Kami tahu karena nama-nama yang jadi dasar klaim itu tidak benar atau palsu.”

 

Baca juga: Warga Wadas Tolak Pengerukan Bukit untuk Proyek Bendungan Bener

Rombongan solidaritas untuk warga Wadas beristirahat dekat posko perjuangan. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Fitri dari Taring Padi mengatakan, mengapa mau datang ke Wadas. Taring Padi adalah organisasi seniman dan budayawan yang berorientasi kerakyatan. Kelompok ini memanfaatkan seni sebagai media penyampaian gagasan dan pendidikan.

“Ketika mendengar ada acara ini, acara mural ini, kami ingin hadir bersolidaritas buat dulur-dulur Wadas. Kami menampilkan gambar petani karena memang di sini sebagian besar mata pencahariannya petani,” katanya.

Satu rumah berfungsi sebagai warung jadi medium ekspresi seni mereka. Ada gambar besar di atas kertas coklat memanjang berukuran 1,5 x 2 meter dengan teknik cukil kayu. Di bawah gambar itu ada tulisan “Tanah dan Petani Merdeka Menghidupi Semua.”

“Kami berenam datang dari Jogja, banyak seniman sebenarnya yang ikut dalam mural ini. Kebetulan kami dikasih space-nya di sini. Kami mengangkat tema tentang petani dan lingkungan.”

Pada bagian lain, ada gambar dalam beberapa lingkaran diameter 0,5 meter, salah satu disertai tulisan “Perjuangkan Keadilan Ekologi.” Ada gambar seorang perempuan bercaping bersila, kedua tangan memegang hasil bumi.

Sebagai seniman jalanan, Fitri merasa peristiwa penghapusan karya mural yang berbau protes akhir-akhir ini sebagai tindakan berlebihan. Dia mempertanyakan, mengapa pemberangusan terus terjadi.

Seniman lain, Isrol dari Media Legal, memilih menggunakan teknik stensil. Pertama yang dikerjakan menyiapkan gambar di atas kertas, lalu dipotong atau diberi lubang. Selanjutnya, gambar yang terbentuk direpetisi ke tembok dengan semprot atau sapuan cat.

“Aku tertarik sama gerakan kaum perempuan. Visualisasi gambar juga figur perempuan pakai caping, quote yang aku taruh di karya “Nandur Panguripan.” Seperti juga pesan yang ingin aku sampaikan.”

Gambar di ruang publik ini jadi media kesadaran, membangun value, yang hadir lebih cepat, tepat, bahkan bisa langsung ditampilkan di lokasi kejadian. Gambar itu telah menghidupi ruang dan jadikan itu sebagai ruang dialog.

Dian alias Ultraman, memilih mengangkat tema kekuatan Wadon Wadas dalam aksi-aksi mereka. Pengaruh wadon Wadas, yang lantang menyuarakan penolakan penambangan itu sangat besar bagi keberhasilan warga mendapatkan keadilan.

Selain diikuti seniman, aksi pembuatan mural juga oleh pemuda desa Wadas. Walau secara teknis gambar sederhana namun pesan kuat. “Akan Murka Jika Ibu Bumi Diperkosa.” “Lestari Desaku, Lestari Alamku.”

 

Baca juga: Jaga Lahan Tani, Warga Wadas Tolak Penambangan Batu (Bagian 1)

Dua anak memperhatikan karya mural di Desa Wadas. FotoL Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Menganyam perlawanan

Tangan Khotimah cekatan menganyam besek, wadah serba guna yang terbuat dari bambu. Ada sekitar 10 perempuan lain juga tengah menganyam. Dalam sehari, perempuan Desa Wadas ini bisa menyelesaikan 10 tangkep atau 10 pasang besek. Sebulan sekitar 100-300 pasang besek.

Di tangan pengepul, satu tangkep besek besar Rp2.500. Ukuran paling kecil Rp1.200. Menjelang Idul Adha jadi masa panen mereka karena permintaan besek tinggi. Orang mulai mengganti kantong plastik dengan besek yang ramah lingkungan. Desa Wadas menjadi salah satu rantai pemasok wadah ramah lingkungan ini untuk wilayah Jogja dan sekitar.

Membuat besek menjadi pekerjaan banyak perempuan desa Wadas dan sekitar untuk mengisi waktu senggang.

Saat Mongabay, ke sana, setidaknya tiga kumpulan ibu-ibu di sepanjang jalan yang dilewati sedang membuat besek. Pekerjaan ini sekaligus menjadi media mereka berbagi kabar, bersosialisasi, dan menebalkan ikatan sosial antarwarga.

Di halaman PTUN Semarang, 9 Agustus lalu, sejumlah perempuan yang tergabung dalam Wadon Wadas mengadakan aksi simbolik menganyam besek. Saat itu agenda sidang keterangan saksi ahli para penggugat.

Membuat besek sudah turun temurun. Besek menjadi simbol menyatunya kaum perempuan Wadas dengan alam.

Saat aksi di Semarang itu, mereka juga membagikan makanan berwadah besek kepada warga dan pekerja sektor informal di jalan di sekitar PTUN Semarang.

 

Baca juga: Ribuan Pohon Durian Terancam Proyek Bendungan Bener (Bagian 2)

***

Malam itu, dengan beratap langit sekitar 100 warga Desa Wadas, bersimpuh di atas lembaran terpal dan tikar plastik. Banyak dari mereka mengenakan jaket atau baju tebal untuk melawan dingin. Derik serangga malam bersahut-sahutan.

Warga sedang melakukan mujahadah, di area yang mereka sebut sebagai Alas Wadas atau hutan Wadas. Ini adalah area berbukit tempat warga menanam aneka pohon di tanah mereka. Belakangan tempat ini masuk dalam kawasan yang bakal ditambang untuk material proyek Bendungan Bener.

Mayoritas warga Wadas adalah kaum NU (Nahdliyin). Mereka biasa melakukan tradisi mujahadah berarti bersungguh-sungguh berjuang melalui laku batin, dengan mengadu langsung kepada Sang Pencipta.

“Tentang Mujahadah sejak awal berjuang sampai sekarang sudah jadi amalan rutin, karena Allah lah Yang Maha Tahu dan Maha Adil,” kata Insin.

Warga makin sering menggelar mujahadah sejak 2018. Saat itu, mulai berhembus kabar Desa Wadas bakal jadi lokasi penambangan material untuk proyek Bendungan Bener.

Mulanya, mujahadah di hutan terdampak. Kini juga di mesjid dan mushola.

Anita Wahid, putri keempat Abdurrahman Wahid menyatakan, penambangan di Wadas berpotensi membuat warga tercerabut dari penghidupannya, terutama dari bertani, berkebun, dan beternak. Kebudayaan dan ikatan sosial yang dipertahankan secara turun temurun juga terancam.

Dia mendesak Pemerintah Jawa Tengah membatalkan kebijakan-kebijakan yang berpotensi merusak tatanan sosial-budaya masyarakat dan mengancam kelestarian lingkungan.

Melanie Soebono, artis sekaligus aktivis lingkungan menguatkan, Wadon Wadas untuk terus berjuang walau kemenangan belum tentu diraih seketika.

Sekjen PBNU, A Helmy Faishal Zaini akan mengadvokasi warga Wadas dan memberi bantuan hukum. Dia sampaikan usai peristiwa bentrokan aparat dengan warga Wadas, April lalu.

Yatimah, dari Wadon Wadas, hadir di acara aksi dukungan secara daring 27 Agustus lalu. Dukungan juga datang dari Komnas Perempuan, Solidaritas Perempuan, YLBHI, Walhi, dan elemen lain.

Dia  ingin bisa hidup seperti sedia kala, saat warga masih utuh dan bebas dari ancaman pertambangan.

“Semoga IPL segera dicabut.”

 

 

 

******

Foto utama: Isrol (Media Legal) tengah menyelesaikan gambar wajah petani..Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version