Mongabay.co.id

Daerah Aliran Sungai Rusak, Bencana Makin Sering Landa Aceh

 

 

Sejumlah daerah aliran sungai (DAS) di Provinsi Aceh mengalami kerusakan. Hal tersebut dikarenakan bantaran sungai dijadikan lahan perkebunan serta adanya kegiatan ilegal merusak hutan seperti perambahan dan pembalakan liar. 

Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung [BPDASHL] Krueng Aceh, Eko Nurwijayanto, dalam webinar yang dilaksanakan Forum Jurnalis Lingkungan Aceh bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Aceh,  mengatakan provinsi ini memiliki 954 DAS. Dari jumlah itu, sekitar 60 persen berada di kawasan hutan, sisanya di area penggunaan lain [APL]. 

“Sekitar 20 DAS rusak akibat alih fungsi menjadi kebun dan aktivitas tambang ilegal. Rusaknya DAS dapat dilihat dari intensitas bencana yang terjadi, khususnya banjir, di DAS tersebut,” ujarnya, Selasa [07/9/2021]. 

Eko mengatakan, dari lima juta hektar wilayah kerja BPDASHL Krueng Aceh, sekitar 264.900 hektar kondisinya rusak. Ini tidak termasuk DAS Sungai Alas – Singkil karena masuk wilayah kerja BPDASHL Medan, Sumatera Utara. 

“Beberapa DAS yang rusak adalah DAS Jambo Aye, DAS Peusangan, dan Krueng Tripa. Sebagian DAS ada yang rusak di hulu dan ada yang di tengah.”

Eko menambahkan, BPDASHL Krueng Aceh setiap tahun melakukan penanaman pohon di areal kritis. Namun, laju kerusakan tidak sebanding dengan upaya pemulihan. 

“Kami berusaha memperbaiki DAS yang rusak dengan menanam pepohonan,” tuturnya.

Baca: Aceh Banjir Lagi, Rusaknya Hutan Masih Jadi Sorotan

 

Kegiatan galian ini berada di pinggir Sungai Alas, wilayah Aceh Tenggara. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Agustian dari Teknik Pengairan Madya Balai Wilayah Sungai [BWS] Sumatera I Banda Aceh, mengatakan saat ini daerah paling rawan banjir bandang adalah Aceh Singkil dan Aceh Utara. 

Di Aceh Utara, terdapat Sungai Jambo Aye dan di Singkil ada Sungai Alas. Kondisi sungai ini dalam keadaan tidak sehat, sehingga berpotensi mendatangkan bencana.

“Itu karena perambahan hutan, pembalakan liar, dan pengrusakan aliran sungai,” ucapnya.

Agustian menambahkan, beberapa sungai telah direhabilitasi dengan dibangun tanggul. Langkah ini untuk mencegah luapan air ke permukiman warga. 

“Namun, jika kawasan hulu tidak dipulihkan usaha ini tidak memberi dampak besar terhadap mitigasi,” sebutnya.

Sementara itu, Kepala Seksi Pencegahan, Badan Penanggulangan Bencana Aceh [BPBA], Yudhie Satria, menjelaskan bahwa bencana ekologis seperti banjir dan longsor merupakan dampak dari kerusakan hulu sungai.

BPBA, dalam hal ini, hanya bisa membangun kesiapsiagaan pada warga dalam menghadapi bencana. “Di Aceh, bencana alam berupa banjir dan longsor sudah menjadi langganan,” ujarnya.  

Sebelumnya, Kepala BPBA, Ilyas mengatakan, dari Januari hingga Agustus 2021, di Aceh terjadi 67 kali banjir akibat meluapnya sungai. Kondisi ini merusak 2.228 rumah dan satu tanggul, sementara banjir bandang terjadi empat kali. Tahun 2020, banjir mencapai 95 kali, longsor 57 kali, dan banjir bandang terjadi lima kali. 

Foto Udara: Melihat Langsung Penyebab Banjir di Aceh Utara

 

Perkebunan sawit hingga bantaran sungai di Aceh Utara. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Mengundang bencana

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, Muhammad Nur menerangkan, selain maraknya pembukaan lahan, penyebab lain tingginya bencana alam di Aceh adalah, maraknya pertambangan ilegal di hulu sungai ditambah galian C. 

“Tambang ilegal maupun legal berdampak pada rusaknya sungai dan membuat air tercemar,” ujarnya

Berdasarkan catatan Walhi Aceh, tingginya kegiatan ilegal kehutanan dikarenakan adanya akses ke hutan seperti pembangunan jalan yang membelah kawasan hutan. Juga, adanya pembangunan proyek-proyek strategis lain seperti bendungan dan pertambangan.

“Ini adalah risiko yang harus ditanggung masyarakat dan pemerintah akibat rusaknya hutan,” ungkapnya.  

Baca juga: Aceh Tengah Banjir Bandang, Walhi: Kembalikan Fungsi Hutan Sebagaimana Mestinya

 

Foto udara yang menunjukkan galian tambang emas ilegal di Kecamatan Sungai Mas, Kabupaten Aceh Barat, Aceh, pada Januari 2021 lalu. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sebelumnya, Dosen Teknik Geologi Universitas Syiah Kuala [Unsyiah], Ibnu Rusidy mengatakan,  bencana ekologis terjadi karena dipicu curah hujan yang tinggi, pembangunan di daerah rawan longsor, adanya kawasan rawan gempa, serta kondisi lereng yang curam. 

“Untuk mencegah terjadi longsor dan banjir perlu diperkuat daya tahan tanah dengan menanam pohon. Potensi longsor dan banjir bisa dihindari kalau kawasan hulu, ditanami pohon berakar kuat.” 

Ibnu Rusidy menjelaskan, siklus hidrologi terjadi sangat kompleks, tergantung dari hutan. Hujan yang turun, sebagian airnya mengalir di atas permukaan tanah, sebagian diserap akar-akar pohon, dan sebagian menjadi air tanah. 

“Air yang mengalir menuju sungai dan danau. Air di sungai dan danau akan menguap karena sinar matahari. Air yang diserapkan akar pohon juga akan diuapkan ke atmosfer oleh daun-daun dalam proses transpirasi,” jelas Ibnu. 

Pohon di hutan berfungsi sebagai pompa air raksasa alami. Pohon juga berfungsi menahan tanah agar tidak tergerus air saat hujan. “Akar-akarnya menancap ke tanah, sebagai paku-paku bukit. Ketika hutan rusak, proses hidrologi alami akan terganggu.”

Kejadian lain akibat terganggunya sistem hidrologi adalah terkikisnya tanah-tanah di sepanjang lereng yang selanjutnya terbawa ke aliran sungai. Akibatnya, terjadi sedimentasi sungai yang menyebabkan pedangkalan sungai.

“Ketika sungai dangkal dan intensitas hujan meningkat, airnya akan meluap dan terjadilah banjir.”

Terkikisnya tanah di sepanjang lereng juga bisa menyebabkan bencana tanah longsor.

“Tanah di sepanjang lereng sudah jenuh air hujan, sehingga daya ikat antar-butir tanah berkurang dan berat tanah semakin bertambah. Ketika lereng sudah tidak sanggup menahan beban, terjadilah longsor. Andai di sepanjang lereng masih ada pepohonan, tentunya lereng tetap stabil,” paparnya.

 

 

Exit mobile version