Mongabay.co.id

Pembenahan Tata Kelola Baru Mulai, Lanjutkan Kebijakan Moratorium Izin Sawit

Aksi menyuarakan penyelamatan hutan adat Laman Kinipan di Lamandau, Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

 

 

 

Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Sawit serta Peningkatan Perkebunan Sawit, sudah berjalan selama tiga tahun, pada 19 September lalu. Hingga kini, belum ada kejelasan dari pemerintah soal kelanjutan dari aturan moratorium izin sawit ini. Selesai, perpanjang atau mungkin kebijakan setop permanen izin sawit?

Moratorium bertujuan memperbaiki tata kelola izin dan meningkatkan produktivitas sawit. Proses baru mulai, masalah masih bertumpuk seperti tumpang tindih lahan, deforestasi, konflik lahan, produktivitas sampai pendapatan negara belum optimal dari sektor ini. Untuk itu, berbagai kalangan menyuarakan betapa penting memperpanjang dan menguatkan serta memperluas cakupan inpres ini. Bahkan, ada yang mengusulkan aturan moratorium naik jadi setop izin sawit.

Mufti Ode, Direktur Eksekutif Forest Watch Indoensia menyatakan, sepanjang 2017-2020, luas hutan alam di perkebunan sawit terus menurun dari 3.645.314,49 pada 2017 jadi 3.549.173,69 hektar pada 2021. Berarti pembersihan lahan di perkebunan sawit, yang menyebabkan deforestasi terus terjadi.

Ada moratorium saja seperti itu, apatah lagi kalau kebijakan ini setop, ekspansi perkebunan sawit akan makin luas. Ada kerawanan terjadi pembukaan hutan antara lain untuk keperluan bahan bakar nabati dari sawit.

Kalau inpres ini diperpanjang, katanya, tak sekadar diperpanjang, pemerintah harus menghilangkan deforestasi dari pembangunan sawit, transparansi keterbukaan informasi.

“Termasuk informas HGU, perbaikan tata kelola, dan peningkatan produktivitas,” katanya, akhir pekan lalu dalam diskusi Forest Watch Indonesia bertema “Nasib Hutan dan Lahan Indonesia kalau Inpres Moratorium Tak Diperpanjang.”

Mouna Wasef dari Auriga Nusantara menyoroti soal perpanjangan moratorium tak akan berdampak pada penurunan pendapatan negara dari sektor sawit. Dengan luasan ini, pemerintah masih bisa mengotimalkan penerimaan negara.

Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2016 menunjukkan, potensi pajak sawit Rp 40 triliun. Pajak tidak terpungut sekitar Rp18,13 triliun. Satu penyebab, kebocoran perdagangan keluar dengan cara under invoicing. Under invoicing ekspor disinyalir untuk mengurangi pembayaran pajak dan royalti.

“Jadi, pengusaha melaporkan eskpor lebih rendah dibandaing jumlah yang dicatat negara penerima atau importir. Itu salah satu penyebab bukan pajak.”

 

Baca juga: Organisasi Masyarakat Sipil Desak Perpanjangan Inpres Moratorium Sawit

Karhutla di kebun sawit Desa Puding, Muaro Jambi.JPG

 

Sawit, katanya, memiliki pertumbuhan positif. Selama pandemi, perrtumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi -2,07 % .

Sebaliknya, sektor tanaman perkebunan tumbuh positif. Ekspor minyak sawit Mei 2021 jadi rekor bulanan tertinggi sepanjang sejarah. Data Ditjenbun 2021, sawit juga menyerap tenaga kerja 147.350 orang pada 2020 atau naik 3,4%.

Sektor sawit berkontribusi terhadap penerimaan negara melalui penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Pajak dari sektor sawit antara lain, kebun, pabrik, dan penjualan minyak sawit mentah dan minyak inti sawit. Pendapatan sawit juga belum optimal karena Indonesia masih banyak bergerak pada sektor hulu atau perkebunan, dengan nilai tambah rendah.

Untuk daerah, pendapatan sektor kebun sawit hanya dari dana bagia hasil PBB. Besaran sekitar Rp43.000 per hektar pertahun. Besaran tidak selalu berbanding lurus dengan luas kebun karena berbagai persoalan, misal, tata cara pungutan. 

“Dana bagi hasil (DBH) yang diterima tidak sebanding dengan dampak ekologi, konflik sosial, dan konflik lahan yang terjadi di daerah.

Bayu Eka Yulian dari Pusat Studi Agraria Institut Pertanian Bogor mengatakan, persoalan ekonomi politik di balik pemberian izin-izin sawit. Pengambilalihan lahan skala luas atau land grabbing jadi persoalan global saat ini.

Indonesia, satu dari 24 negara dunia yang banyak mengalami masalah perampasan lahan.

Kebutuhan pangan dan energi mendorong ekspansi mencari lahan murah, tenaga kerja murah, didukung kebijakan negara yang memudahkan mereka. Hal ini akan menyebabkan perubahan struktur agraria, landscape ekologi dan perubahan sosial budaya masyarakat.

Dari pengamatan mereka, berbagai persoalan masih terjadi di masa moratorium, mulai dari ekspansi katanya, masih terjadi pembukaan-pembukaan lahan senyap untuk kebun sawit dalam skala kecil di banyak titik, pembukaan kebun tanpa HGU, masalah plasma hingga konflik lahan dan lain-lain.

Catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam 2020, menunjukkan konflik lahan paling banyak terjadi di sektot perkebunan, tertinggi di perkebunan sawit.

Ekspansi sawit ini, katanya, berbanding lurus dengan kenaikan konflik agraria. Namun, kata Bayu, semua itu di hilir.

Upaya perbaikan tata kelola, harusnya memperhatikan masalah-masalah di hulu mencakup kebijakan ekonomi politik luar negeri Indonesia dan deregulasi kebijakan.

 

Baca juga: Bagaimana Implementasi Inpres Moratorium Sawit dalam Tataran Petani?

Masyarakat adat di Sorong Selatan, yang berkonflik dengan perusahaan sawit. Foto: Pemuda Mahasiswa Iwaro/Mongabay Indonesia

 

Hariadi Kartodiharjo, Guru Besar di Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB mengatakan, secara keseluruhan, tujuan moratorium yakni, perbaikan perizinan maupun peningkatan produktivitas. Sebaliknya, meski inpres ini ada, berbagai pelanggaran di tingkat tapak masih terus terjadi.

Penghentian kebijakan moratorium izin sawit, katanya, sama dengan pengabaian pada persoalan-persoalan ini.

Jadi, katanya, inpres ini penting terus berlanjut. Tak sekadar perpanjangan, tetapi lebih luas, misal, memasukkan lembaga keuangan atau pendana sawit dan penerima manfaat (beneficiary ownership) dari perusahaan atau korporasi itu.

 

Belajar dari Sorong

Kabupaten Sorong, satu contoh daerah yang melakukan pembenahan tata kelola izin sawit, antara lain dengan evaluasi bahkaan mencabut izin-izin yang melanggar aturan.

Inpres moratorium izin sawit, jadi salah satu landasan pencabutan ini. Juga komitmen Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA) yang diinisiasi KPK, dan Deklarasi Manokwari, yaitu komitmen Pemerintah Papua dan Papua Barat untuk melaksanakan berkelanjutan berbasis wilayah adat.

Suroso, staf ahli Bupati Sorong mengatakan, ada tujuh peusahaan sawit mendapat izin di Kabupaten Sorong. Tiga sudah membuka kebun dengan luas HGU masing-masing PT. Henrison Inti Persada (HIP) 22.751,52 hektar, PT. Inti Kebun Sejahtera (IKS) 7.961,419 hektar, dan PT Inti Kebun Sawit (IKS) 6.844,66 hektar. Empat perusahaan izin dicabut bupati Maret 2021.

“Empat perusahaan yang memang bermasalah itu sudah dicabut oleh pak Bupati melalui SK Pencabutan yaitu PT Inti Kebun Lestari, PT Cipta Papua Plantation, PT

Sorong Agro Sawitindo, dan PT Papua Lestari Abadi.”

Total luas izin dicabut mencapai 105.702 hektar, masih berstatus kawsan hutan 59.407,1 hektar dan 46,294,84 hektar sudah pelepasan.

Yang berstatus kawasan hutan, katanya, akan dikelola masyarakat lewat program perhutanan sosial, sedangkan APL akan jadi hutan masyarakat adat dan milik melalui program tanah obyek reforma agraria (TORA).

“Poinnya, apapun yang akan dilakukan di hutan itu seyogyanya harus berkomunikasi dengan masyarakat adat.”

Idealnya, kata Suroso, perkebunan sawit mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Faktanya, tidak seperti itu di Kabupaten Sorong.

Upaya Pemerintah Sorong mencabut ini mendapat banyak apresiasi dari berbagai kalangan. Sayangnya, tiga perusahaan sawit yang izin dicabut– PT IKL, PT PLA dan PT SAS–menggugat Pemkab Sorong dan mengajukan kasus ini ke PTUN Jayapura awal Agustus lalu.

Atas dasar inilah, Bupati Sorong Johny Kamuru melihat perpanjangan moratorium sawit mendesak. “Kami menyayangkan apabila moratorium sawit tidak diperpanjang, apalagi di tengah upaya kami memperjuangkan keadilan dengan menghadapi gugatan dari tiga perusahaan sawit yang dicabut izinnya,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Mongabay.

Pencabutan izin ini, katanya, Pemerintah Sorong lakukan berdasarkan laporan evaluasi menyeluruh Pemerintah Papua Barat bersama beberapa kabupaten, termasuk Kabupaten Sorong dan KPK.

Dia menyebut, kalau lahan yang belum dibuka para perusahaan itu akan kembali ke masyarakat adat atau pemilik hak ulayat. Dengan demikian, lahan bisa jadi lebih bermanfaat bagi kehidupan masyarakat.

Hariadi mengapresiasi kebijakan Pemerintah Kabupaten Sorong yang mengembalikan lahan ke masyarakat adat. Menurut dia, itulah esensi dari moratorium yaitu tercapai rasa keadilan.

 

 

Baca juga: Inpres Moratorium Sawit Hampir Usai, Bagaimana Kelanjutannya?

Masalah lingkungan juga menjadi ancaman bagi industri sawit. Sawit yang diekspor juga ada sawit rakyat sehingga kita perlu perbaikan tata kelola. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Belum usai

Perbaikan tata kelola sawit belum usai, bahkan baru mulai. Koalisi organisasi masyarakat sipil pun menekankan perpanjangan inpres ini. Mereka juga bikin petisi online untuk menyuaran pentingnya perpanjangan kebijakan ini.

Teguh Surya, pendiri Yayasan Madani Berkelanjutan, menyebut ada 11,9 juta hektar izin sawit tak bertutupan, 10,7 juta hektar izin sawit bertutupan dan 8,4 juta hektar lahan sawit tak memiliki izin. Hal ini berdasarkan data yang dihimpun Yayasan Madani Berjelanjutan akhir 2020.

“Dari data ini masih banyak lahan yang tidak diketahui statusnya. Permasalahan ini dapat terjawab melalui evaluasi perizinan,” katanya dalam keterangan tertulis.

Selain itu, pengecekan antara area perkebunan sawit dengan data perizinan juga perlu dilakukan. Baik yang berada di dalam maupun di luar kawasan hutan termasuk di wilayah tata kelola masyarakat.

Teguh juga menekankan soal ancaman pelepasan emisi kalau inpres setop. Dia bilang, inpres ini dapat menahan laju ekspansi perkebunan sawit ke kawasan hutan. Ia dapat membantu menurunkan laju deforestasi secara signifikan.

“Karena ekspansi lahan sawit agresif merupakan sumber utama meningkatnya kontribusi emisi,” katanya.

Secara khusus, dia menyoroti ancaman ekspansi sawit ini berdasarkan turunan UU Cipta Kerja, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 23/2021 tentang Penyelenggaran Kehutanan. Juga, PP Nomor 24/2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan.

“Kedua PP ini tidak bisa menjamin masa depan tata kelola sawit yang lebih baik dan berkelanjutan di Indonesia,” katanya.

Peraturan-peraturan ini, kata Teguh, tidak tegas melarang sawit ekspansi di kawasan hutan. Sebaliknya, kawasan hutan justru bisa dikonversi untuk sawit. Apalagi, Pasal 29 UU Cipta Kerja di bagian perubahan UU Perkebunan disebutkan kalau perusahaan perkebunan wajib mengusahakan lahan perkebunan paling lambat dua tahun setelah pemberian status hak atas tanah.

Kewajiban ini justru mengancam kawasan hutan alam yang masuk dalam izin sawit.

Berdasarkan catatan Teguh, terdapat sekitar 1,4 juta hektar hutan alam di dalam izin sawit.“Harusnya hutan alam itu kita selamatkan untuk memenuhi komimen iklim, bukan wajib dibuka untuk sawit.”

Bustar Maitar, CEO Yayasan EcoNusa, dalam keterangan tertulis juga menyoroti hal sama. Dia menyebut, evaluasi izin ini perlu didorong pemerintah daerah agar tidak merugikan negara.

Sampai saat ini, katanya, belum banyak pemerintah daerah melakukan tinjauan termasuk izin sawit di dalam kawasan hutan, seperti di Kalimantan atau daerah lain. “Tinjauan perizinan juga berkaitan dengan memaksimalkan pendapatan negara dan menyelamatkan kekayaan negara,” katanya.

Berdasarkan kasus di Papua Barat saja, Bustar menyebut hanya ada 52.000 dari 650.000 hektar izin sawit yang sudah diberikan pemerintah yang benar-benar ditanami. “Kondisi ini berpotensi menimbulkan kerugian negara, khusus dari pajak, yang sangat besar.”

Dari sudut padang pasar, perbaikan tata kelola sawit mendesak. Apalagi, Indonesia adalah negara eskportir minyak sawit terbesar dunia.

Andi Muttaqien, Deputi Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) menyebut, saat ini pasar global tengah berupaya mengembangkan produk-produk ramah lingkungan, berkelanjutan dan tidak eksploitatif.

“Moratorium sawit ini merupakan salah satu skenario penting yang disusun pemerintah dalam merespon berbagai isu keberlanjutan di sektor perkebunan sawit,” katanya.

Berbagai masalah di seputar sawit, antara lain persoalan tumpang tindih perkebunan sawit di kawasan hutan hingga dampak pada hak asasi manusia (HAM). Inpres ini, dia nilai sebagai bagian proses uji tuntas HAM dan melindungi masyarakat di perkebunan yang terjadi pelanggaran HAM tinggi.

“Maka, penting agar pemerintah melanjutkan dan memperkuat kebijakan moratorium sawit.”

Adrianus Eryan, Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengatakan, konteks penegakan hukum menjadi relevan dan penting apabila pemerintah serius perbaikan tata kelola perkebunan sawit melalui implementasi inpres.

Kalau kewajiban dalam inpres belum seluruhnya selesai, maka makin relevan dan mendesak bagi presiden untuk memperpanjang sekaligus memperkuat Inpres Moratorium Sawit ini.

Serupa dikatakan Rahmadha, Juru Kampanye Sawit Kaoem Telapak. Dia bilang, perbaikan tata kelola sawit penting karena berpengaruh terhadap keberterimaan sawit Indonesia di pasar global.

Negara-negara pasar seperti Uni Eropa, Inggris, dan Amerika Serikat sedang mengembangkan legislasi uji tuntas untuk memastikan semua komoditas produk yang dijual di pasar bebas dari deforestasi dan degradasi lahan.

Sawit, adalah satu komoditas yang diusulkan bersama lima komoditas lain.”

Kaoem Telapak mencatat, uji tuntas yang sedang disusun UE dan Amerika Serikat kemungkinan besar menambahkan skema benchmarking di mana negara-negara dengan sejarah deforestasi tinggi akan memiliki persyaratan pelaporan dan penelusuran lebih ketat pula.

“Jika moratorium sawit diperpanjang dan diperkuat hingga berdampak pada perbaikan tata kelola, maka sawit Indonesia berpeluang tergolong komoditas low risk dan tingkat keberterimaan akan makin mudah,” katanya.

 

Pekerja tengah panen sawit perusahaan. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch mengatakan, walau implementasi inpres ini belum optimal, tetapi capaian patut diapresiasi.

Kalau inpres ini tak lanjut, katanya, akan sangat mengkhawatirkan, hutan terancam, ekspansi sawit terus terjadi serta bisa berujung peningkatan konflik di masyarakat.

“Kami melihat moratorium sawit penting lanjut.”

Kebijakan ini penting lanjut, kata Inda, dengan catatan seluruh pihak dapat menjalankan dengan serius, memiliki target capaian spesifik dan langkah-langkah, meningkatkan transparansi dan membuka peluang kolaborasi para pihak. “Demi mewujudkan tata kelola sawit yang makin baik”.

 

Perkembangan

Dodi Slamet Riyadi, Asisten Deputi Penataan Ruang dan Kawasan Strategi Ekonomi, Kemenko Perekenomian memaparkan, perkembangan dari implementasi moratorium izin sawit ini. Sesuai perintah presiden, Menko Perekonomian membuat peta indikatif tumpang tindih tata ruang kawasan hutan maupun hak atas tanah.

“Sampai hari ini kita masih mengalami tumpang tindih sampai  40,6% atau sekitar 77 juta. Inilah yang pemeritah sedang giat-giatnya untuk melakukan terobosan agar masalah tumpang tindih ini bisa segera diselesaikan,” katanya dalam diskusi Forest Watch Indonesia itu.

Pemerintah juga menunda pelepasan atau tukar menukar kawasan hutan untuk perkebunan sawit. Selama ada kebijakan ini lebih satu juta hektar permohonan pelepasan kawasan ditolak. Kecuali, izin sawit yang sudah ditanami.

Pemerintah juga sudah menyusun dan memverifikasi data pelepasan atau tukar menukar kawasan hutan untuk perkebunan sawit. Dari proses ini diketahui, pelepasan dan tukar menukar kawasan hutan untuk kebun sawit ada 588 seluas 5.875.585 hektar. Sebanyak 1,486.452 hektar masih berhutan, 2.885.817 hektar jadi kebun sawit. Yang belum dikerjakan atau terindikasi tidak sesuai peruntukan seluas 1.502.316 hektar.

Data padu serasi tutupan sawit nasional keluar pada 2019, seluas 16.381.959 hektar, sekitar 3.611.341 hektar dalam kawasan hutan. Tidak hanya itu, dari luasan ini tutupan sawit sudah dilengkapi dengan hak guna usaha (HGU) baru 4.147.139 hektar atau 25,3%. Sisanya, 12,2 juta hektar atau 74,7% belum ada HGU.

Yang masih berhutan dan di luar HGU, katanya, akan diusulkan kembali jadi kawasan hutan. Yang tak sesuai akan dilakukan pembinaan guna peningkatan produktivitas kebun sawit.

Adapun penyelesaian masalah tumpang tindih izin ini, katanya, sudah difasilitasi pemerintah lewat UU Cipta Kerja, salah satu lewat penyelesaian ketidaksesuaian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43/2021.

Pemerintah masih menyisakan pekerjaan penting setelah verifikasi data ini. Prabianto Mukti Wibowo, pernah jadi Asisten Deputi Penataan Ruang dan Kawasan Strategi Ekonomi, Kemenko Perkenomian—terlibat dalam kelahiran Inpres Moratorium Sawit–mengatakan, yang masih jadi pekerjaan berat dari kebijakan ini adalah identifikasi dan pemetaan kepemilikan perusahaan dan status. Hal ini penting dalam membedakan sawit korporasi dan sawit rakyat, ber-HGU dan non HGU. Beragai hal itu, katanya, masih perlu dikerjakan kalau moratorium diperpanjang. “Dari sini masalah tata kelola bisa diselesaikan pelan-pelan.”

Dia melihat juga, kebijakan ini bisa naik status, tidak lagi penundaan izin sementara tetapi sudah setop izin. “Kenapa inpres penghentian? Karena kita lihat tadi, masih banyak izin pelepasan maupun tukar menukar yang sampai saat ini belum terbangun kebun. Itu yang harus dioptimalkan.”

 

 

*****

Foto utama: Kala hutan ditebang untuk membuka kebun sawit, deforestasi dari sektor ini pun tak terelakkan. Foto: Save Our Borneo

Exit mobile version