Mongabay.co.id

Sawit, dan Selamatkan Hutan Alam Tersisa

 

 

Genap sudah tiga tahun masa berlaku Instruksi Presiden No. 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Sawit, biasa disebut Inpres Moratorium Izin Sawit, dalam September ini. Pada 19 September lalu, kebijakan ini berakhir, namun belum ada kejelasan kabar dari pemerintah soal kebijakan ini, lanjut atau tidak.

Hingga masa berakhir, belum ada evaluasi menyeluruh dari pemerintah yang bisa terakses publik atas kebijakan ini. Tak ada kabar soal ini.

Meski begitu, yang dapat teramati, selama kebijakan ini berlaku pemerintah terkesan membiarkan konversi hutan alam untuk kepentingan kebun sawit.

Patut diingat, beberapa alasan kehadiran Inpres Moratorium Izin Sawit ini sebagai upaya peningkatan tata kelola perkebunan sawit berkelanjutan dan memberi kepastian hukum. Kehadiran beleid ini menegaskan, ada masalah dalam pengelolaan kebun sawit Indonesia dan mendesak ada penyelesaian.

Kala itu, Presiden Joko Widodo, memberi tenggat tiga tahun bagi bawahan untuk menyelesaikan masalah itu, terhitung 19 September 2018.

Sesungguhnya, pemerintah telah menyadari cukup lama kalau ada masalah tata kelola sawit. Terutama, soal sawit dalam kawasan hutan. Hal ini dapat kita lacak dari kebijakan yang ada.

Pada 2012, pemerintah menyisipkan ketentuan mengenai penyelesaian sawit dalam kawasan hutan lewat PP 60/2012. Kebijakan ini memberikan waktu bagi pemerintah selama enam bulan untuk menyelesaikan masalah sawit dalam kawasan hutan.

 

Baca juga: Bagaimana Implementasi Inpres Moratorium Sawit dalam Tataran Petani?

Konsesi perusahaan sawit PT MAS di Desa Sipik, Muarojambi, pasca sebulan terbakar.Tampak tutupan hutan terbakar. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Upaya pertama pada 2012, tidak membuahkan hasil. Pemerintah terus relaksasi penyelesaian ini dengan merevisi kebijakan. Pada 2015, pemerintah menerbitkan PP 104/2015. Lewat kebijakan itu, pemerintah menarget penyelesaian sawit dalam kawasan hutan selama satu tahun.

Lagi-lagi upaya penyelesaian ini tidak menampakkan hasil. Mengantisipasi itu, Presiden Jokowi sepertinya melihat penting ada instruksi jelas kepada jajaran kabinet yang memiliki kewenangan di sektor sawit.

Pada 19 September 2018, tiga tahun lalu, presiden memberikan instruksi kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri Agraria dan Tata Ruang, Menteri Dalam Negeri, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Gubernur, dan Walikota.

Setelah tiga tahun, moratorium izin sawit berlalu begitu saja. Tidak ada laporan resmi dari pemerintah mengenai capaian masing-masing kementerian yang mendapat instruksi itu. Senyap.

Setahun sebelum berakhir Inpres Moratorium Izin Sawit ini, pemerintah sepertinya menyiapkan langkah antisipasi dengan tetap menguntungkan perusahaan-perusahaan sawit yang beroperasi di kawasan hutan. Lewat UU Cipta Kerja, pemerintah memberi waktu tiga tahun bagi perusahaan untuk menyelesaikan perizinan mereka.

Ketentuan pidana dalam UU 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, yang dapat menjerat perusahaan perambah kawasan hutan ditiadakan, berganti prosedur administratif. Langkah ini diambil setelah hampir satu dekade tak dapat menyelesaikan masalah sawit dalam kawasan hutan.

 

Setop izin baru

Sistem tata kelola sawit Indonesia rentan kasus korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan ini pada 2016. Dalam laporan mereka berjudul Kajian Sistem Pengelolaan Perkebunan Sawit, telah menyoroti sejumlah potensi korupsi dalam tata kelola sektor ini.

KPK berkesimpulan, lemahnya mekanisme perizinan, pengawasan, dan pengendalian merupakan aspek utama yang harus dibenahi.

 

Baca juga: Organisasi Masyarakat Sipil Desak Perpanjangan Inpres Moratorium Sawit

Batang kayu sisa-sisa hutan alam yang terbabat jadi kebun sawit di Taman Nasional Tesso Nilo. Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia

 

Pada 2018, di bawah supervisi KPK, Kementerian Pertanian bersama LAPAN, dan Badan Informasi Geospasial menerbitkan laporan yang menyebut luas tutupan sawit di Indonesia 16,83 juta hektar. Atau lebih luas sekitar 13% dari total luas izin perkebunan sawit berdasarkan statistik perkebunan Indonesia pada tahun sama. Luas tutupan sawit ini, dikoreksi kembali oleh Kementerian Pertanian menjadi 16,38 juta hektar.

Berdasarkan analisis tutupan sawit ini, akhirnya diketahui ada 3,4 juta hektar perkebunan sawit di kawasan hutan (Kehati dan Auriga, 2018). Sedang hitungan Greenpeace, ada tutupan hutan alam di konsesi sawit sekitar 1,5 juta hektar. Dari total luas tutupan hutan alam ini sekitar 23% atau 290.000 hektar teridentifikasi sebagai areal peta indikatif penghentian pemberian izin baru (PIPPIB).

Sebagai langkah mitigasi iklim, menyelamatkan hutan alam tersisa harus jadi agenda prioritas. Inpres Moratorium Izin Sawit sesungguhya sudah mengadopsi ini, dengan memerintahkan pengembalian area berhutan jadi kawasan hutan. Upaya ini, jauh lebih progresif dibanding sekadar menyelesaikan sawit di kawasan hutan. Sayangnya, hal ini tak terwujud setelah tiga tahun sejak instruksi itu terbit.

Peringatan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dalam laporan asesmen mereka keenam semestinya jadi sinyal bagi semua pihak kalau Indonesia perlu langkah agresif dalam mitigasi iklim. Untuk itu, upaya penyelesaian sawit di kawasan hutan dan menyelamatkan tutupan hutan alam tersisa di konsesi sawit masih relevan hingga kini.

Dari hasil analisis Greenpeace, emisi gas rumah kaca yang terlepas karena konversi hutan alam jadi kebun sawit mencapai 44,4 juta ton CO2eq. Tak dapat dibayangkan betapa banyak karbon terlepas kalau konversi hutan alam untuk kebun ini terus berlanjut.

Di Papua saja, misal, kini hampir 700.000 hektar tutupan hutan alam di konsesi kebun sawit. Kalau hutan alam ini terus dikonversi akan ada 71,2 juta ton karbon lepas. Jumlah ini, setara dengan setengah total emisi karbon Indonesia 2018, atau setengah dari emisi karbon penerbangan internasional pada tahun sama (Greenpeace, 2021).

Karena itu, setop ekspansi perkebunan sawit yang membuka hutan alam termasuk menyelesaikan masalah sawit dalam kawasan hutan. Pemerintah, harus segera membentuk instrumen hukum sebagai landasan kegiatan ini. Tidak cukup hanya berdasarkan aturan saat ini, yang lebih cenderung eksploitatif.

Sejumlah kepala daerah di Papua Barat, telah menunjukkan keseriusan. Mereka mencabut izin-izin yang dinilai bermasalah. Pemerintah pusat, harus mendukung langkah penertiban izin ini. Bukan sebaliknya, melindungi kepentingan investor belaka dan mengabaikan aspek lingkungan hidup dan sosial.

***

 

*Syahrul Fitra, adalah Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia. Tulisan ini merupakan opini penulis.

 

Baca juga: Jalan Panjang Menuju Sawit Swadaya Berkelanjutan di Sintang

Hutan Papua yang terus terancam antara lain jadi kebun sawit. Foto: Nanang Sujana

*******

Exit mobile version