Mongabay.co.id

Mereka yang Berwirausaha sambil Kampanye Peduli Lingkungan

Sedotan bambu, pengganti sedotan plastik agar lebih ramah alam. Foto: Youtube FAM

 

 

 

Dunia sedang menghadapi krisis iklim. Perlu kesadaran iklim maupun lingkungan hidup termasuk dalam berusaha atau berwirausaha. Bahkan, berbisnis atau berwirausaha pun bisa jadi sarana kampanye maupun edukasi kepedulian terhadap lingkungan hidup. Seperti apa?

Atikah Risyad, pendiri Famili Agrowisata Mahakarya (FAM) Lintau dan Dangau Baraja Sumatera Barat bercerita cara kampanye peduli lingkungan di daerahnya. Kampanye dengan menjalankan wirausaha sosial untuk menginisiasi gerakan cinta bumi , peduli lingkungan melalui FAM Lintau dan Dangau Baraja.

Satu contoh, kerajinan tangan mansiang khas Sumbar jadi tas belanja ramah lingkungan. Mereka juga mengedukasi masyarakat termasuk anak-anak untuk peduli lingkungan melalui kegiatan belajar.

Program FAM, katanya, antara lain menciptakan rumah belajar berbasis kearifan lokal, ciptakan toko produk lokal, sediakan paket wisata edukasi serta pelatihan maupun menerapkan konsep homstay di rumah masyarakat.

“Paradigma from ego to eco harus mulai dari diri sendiri, mulai dari hal-hal kecil dari sekarang. Intinya, perubahan tingkah laku ramah lingkungan adalah sebuah proses,” katanya.

Untuk mulai dari hal kecil, katanya, bisa dengan menerapkan prinsip refuse, reduce, reuse, recycle, dan rot. Refuse, dengan menolak dan menghindari pemakaian bahan yang gunakan plastik serta memilih bahan lebih alami. “Bahan plastik yang terbuang tidak terurai seperti pada bahan alami.”

Reduce yakni kurangi pemakaian, seperti membawa kantong sendiri saat belanja di toko atau supermarket, baik terbuat dari kardus atau plastik. Kalaupun tidak tersedia dan barang belanjaan masih bisa dengan tangan, katanya, bawalah dengan tangan. “Jangan minta kantong plastik.:

Dia juga sarankan, agar tidak membeli barang dalam kemasan plastik kecil kalau benar-benar tak mendesak. Karena kemasan kecil,katanya, memproduksi sampah lebih banyak.

 

Kerajinan tangan dari sampah daur ulang sampah. Foto : Petrus Riski

 

Reuse atau guna ulang, katanya, dengan cara mamanfaatkan barang bekas pakai menjadi kerajinan dan berfungsi untuk hal lain. “Membawa botol minum sendiri yang bisa diisi ulang, dibandingkan membeli kemasan air sekali pakai.,” katanya.

Kemudian, recycle atau daur ulang. Barang-barang seperti ember rusak menjadi tempat sampah/pot tanaman, kemasan botol air menjadi tempat detergen. “Kaos bekas menjadi keset atau pel, dan lain-lain.”

Rot atau komposting, katanya, dengan cara pisahkan sampah sesuai jenis organik atau anorganik. Sampah organik seperti sisa makanan, sayuran, buah-buahan, dan lain-lain bisa buat pupuk kompos.

Yune Angel, Co-Founder Papua Paradise Center mengatakan, Indonesia akan mencetak generasi emas yang berkarakter dan cinta lingkungan ketika pendidikan karakter dan pendidikan ekoedukasi diterapkan sejak dini. Papua Paradise Center, berupaya hadirkan pendidikan karakter dan ekoedukasi ini.

Ekoedukasi menjadi kurikulum terpenting dan mendasar yang terpisah dari kurikulum lain. Artinya. menjadi fokus dan perhatian khusus yang kemudian diterapkan kontinyu pada anak usia dini.

Pendidikan karakter dan ekoedukasi, katanya, merupakan pendidikan penting bagi anak usia dini. Hal ini membuktikan, katanya, pendidikan semata-mata bukan hanya tanggung jawab seorang guru atau  yang berlatarbelakang pendidikan, juga tanggung jawab lintas profesi.

Gede Praja Mahardika, pendiri Yayasan Sahabat Bumi Bali mengatakan, bertani secara alami bisa jadi usaha yang bisa menciptakan kemandirian pangan sekaligus baik bagi bumi .

Masa pandemi, katanya, banyak memunculkan kesadaran baru bagi pemuda mengenai sistem ekonomi yang tampak digdaya ternyata begitu rapuh dan goyah dalam waktu singkat berhadapan dengan corona.

Mereka yang tinggal di kota terhenyak ketika pekerjaan terhenti, perputaran uang tak selancar waktu lalu, pasokan pangan keluarga juga mulai menipis.

“Mari belajar bersama dengan cara sederhana. Dengan memanfaatkan telajakan rumah terutama yang tinggal di kota untuk memulai membuat lumbung pangan keluarga, mengelola sampah organik dengan cara sederhana, buat kompos.”

 

Sukiman,petani kopi dan sayur dengan cara alami (organik) sembari aktif melakukan penyadartahuan terhadap penanggulangan risiko bencana. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Bisa juga bikin lubang biopori, yang juga banyak manfaat seperti mencegah banjir, dan memperbaiki air tanah.

Putri Lisya Anggraini, pendiri Ecosociopreneur Indonesia mengatakan, menjalankan bisnis tak melulu bicara profit, juga benefit bagi lingkungan dan masyarakat. Salah satu cara agar itu bisa terwujud, katanya, dengan jadi ecosociopreneur.

“Menjadi ecosociopreneur suatu upaya mendukung pembangunan berkelanjutan. Seorang ecosociopreneur tidak hanya mencari profit juga benefit bagi lingkungan dan masyarakat sekitar,” katanya dalam webinar baru-baru ini.

Dia mengatakan, krisis ekologi merupakan ancaman tersendiri bagi biodiversitas. Pemicu krisis iklim antara lain kurang tepatnya kebijakan, jenis invansi asing, eksploitasi berlebih, perubahan iklim, kerusakan habitat dan pencemaran lingkungan.

“Biodiversitas sangat penting karena mengadung nilai ekologis, nilai ekonomi dan nilai sosial budaya,” katanya.

Bernilai ekologis, katanya, karena biodiversitas merupakan paru-paru dunia, mampu menjaga keseimbangan suhu, menjaga kelembapan udara, mencegah krisis iklim, sumber energi, maupun sumber plasma nutfah. Sedang nilai ekonomi, katanya, karena jadi sumber makanan, obat obatan, bahan baku industri, bahan bangunan dan perabotan, tanaman hias dan lain.

Untuk nilai sosial budaya, dengan tetap memperhatikan ekosistem, maka biodiversitas dapat jadi laboratorium penelitian dan pendidikan serta jadi tempat rekreasi alamiah. Untuk mewujudkan itu, katanya, perlu pembangunan berkelanjutan.

 

*****

Foto utama: Sedotan bambu, pengganti sedotan plastik agar lebih ramah alam. Foto: Youtube FAM

Exit mobile version