Mongabay.co.id

Masyarakat Makin Peka Isu Perubahan Iklim?

Deforestasi, salah satu penyebab makin cepat pelepasan emisi karbon. Foto: dokumen Laman Kinipan

 

 

 

Dunia sedang menghadapi krisis iklim. Para pihak termasuk masyarakat harus menyadari kondisi mengkhawatirkan ini untuk mengambil langkah-langkah mitigasi maupun adaptasi. Sejalan dengan itu, Purpose, beberapa waktu lalu mengadakan penelitian untuk melihat persoalan perubahan iklim di mata publik. Beberapa temuan menarik terlihat dari penelitian ini.

Purpose, adalah lembaga yang berfokus terhadap dampak sosial dengan fokus pada penciptaan dunia yang adil, terbuka, dan harmonis.

Rika Novayanti, Direktur Kampanye Purpose, mengatakan, survei Purpose di Indonesia bagian barat dan tengah dengan 7.000 responden.

Beberapa hal menarik tampak dari survei ini, seperti, dari 10 masyarakat sebanyak sembilan orang khawatir terhadap perubahan iklim.

“Namun, secara pengetahuan [mengenai perubahan iklim], mereka [masyarakat masih] rendah,” katanya dalam talkshow virtual yang diselenggarakan AJI dan Purpose, baru-baru ini.

Dari hasil survei Purpose ditemukan masyarakat hanya mengetahui soal perubahan iklim sebagai pancaroba, paceklik dan lain-lain. Dari survei itu pula, kebanyakan warga yang pernah jadi korban bencana alam lebih khawatir terhadap dampak perubahan iklim.

“Angka kekhawatiran lebih tinggi di Jakarta, Sumatera Selatan, yang sering mengalami bencana alam seperti banjir, kebakaran hutan,” kata Rika.

Di bagian ini, masyarakat Bali juga khawatir dengan perubahan iklim, meskipun di provinsi ini jarang terjadi bencana alam. Dugaan dia, karena di Bali, begitu kuat tradisi budaya yang lekat dengan alam.

“Tetapi ini perlu penelitian lebih dalam lagi,” katanya.

 

Banjir di Semarang. Foto: dari Film Tenggelam dalam Diam

 

Temuan lain lagi dari survei Purpose ini, sebanyak 41% responden mengaku perubahan iklim berdampak kepada kesehatan mental. Sedangkan 54% nyatakan berdampak pada fisik.

“Ini menarik, artinya masyarakat juga paham dengan isu kesehatan mental, ketika kami tanya soal perubahan iklim mereka mengaku gelisah, depresi, takut,” katanya.

Survei Purpose, katanya, menunjukkan hambatan paling besar melakukan aksi melawan perubahan iklim adalah kemampuan, kesempatan dan motivasi. Kemampuan berasal dari internal, misal, masyarakat tidak mengetahui apa yang harus mereka lakukan.

Kemudian kesempatan berasal dari eksternal, misal, setelah masyarakat sadar membuang sampah pada tempatnya tetapi tidak ada manajemen pengolahan sampah yang baik dari pemerintah.

“Selain itu, ada motivasi, yaitu masyarakat belum tersentuh untuk melakukan hal-hal menghadapi perubahan iklim. Ini semua kembali lagi kepada edukasi kepada masyarakat yang tidak mengetahui apa yang perlu mereka lakukan.”

Dalam penelitian ini, Purpose juga menemukan masyarakat utama lebih mendengarkan pemerintah daerah, diikuti pemimpin agama, ilmuwan, media, keluarga.

Survei ini juga menemukan, 23% orang yang merasa perubahan iklim adalah tanggung jawab manusia. “Sedangkan 61% nyatakan manusia tak bertanggung jawab penuh, sebagai kehendak Tuhan.”

Medrilzam, Direktur Lingkungan Hidup Bappenas mengatakan, penelitian ini sangat menarik, apalagi memperlihatkan 40% masyarakat paham dengan isu perubahan iklim. “Itu angka yang besar,” kata Medril.

Untuk itu, katanya, perlu kampanye lebih gencar lagi ke depan agar masyarakat lebih paham dengan isu perubahan iklim.

Bappenas, katanya, sudah fokus beberapa daerah menjadi target isu perubahan iklim.

Meskipun hasil penelitian memperlihatkan, pemerintah daerah jadi tempat masyarakat mencari informasi seputar perubahan iklim, Medril bilang, Bappenas sudah bekerjasama dengan 34 provinsi di Indonesia.

“Bahkan provinsi sudah membuat pergub (peraturan gubernur) untuk persoalan isu perubahan iklim ini. Kita juga akan masuk ke kabupaten dan kota.”

Medril bilang, banyak warga tidak mengetahui perubahan iklim, padahal pemerintah sudah menyediakan informasi seputar itu di website.

Dia berharap, masyarakat bisa kontribusi memberikan langkah nyata seperti memilah sampah plastik dan non plastik, membuat bank sampah, menanam pohon, menganti lampu hemat energi dan upaya sederhana lain.

“Sayangnya, banyak tidak sadar, pak presiden sudah sampaikan itu, perintahkan kita mendorong hal-hal sederhana seperti itu,” katanya.

Intan Suci Nurhati, Lead Author IPCC Sixth Assessment Report menjelaskan, satu tugas besar pemerintah menyampaikan persoalan isu perubahan iklim tidak boleh abstrak termasuk dalam penjelasan.

“Bahkan beberapa hasil penelitian masih menggunakan bahasa teknis, pekerjaan rumah kita banyak. Itulah tugas kita menjelaskan,” katanya.

 

Kala hutan terbabat jadi tambang bijih besi. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Intan menilai, masyarakat sudah paham dengan isu perubahan iklim. Mskipun mereka melakukan perubahan kecil harus secepatnya seperti menganti lampu taman dengan yang hemat energi.

Kalau bicara peraturan tentang perubahan iklim bamyak peran masyarakat contoh lain saat ini viral berkompos, urban farming atau membuat kebun di atas apartemen. “Kegiatan itu akhirnya mendukung Bappenas dalam upaya penurunan rendah karbon,” katanya.

Intan melanjutkan, temuan Purpose soal peran agama dan perubahan iklim memang sinkron. “Ini ruang yang cukup besar, agama dan sains berevolusi,” katanya.

Roy Murtadho, Cendekiawan Muslim Pesantren Ekologi Misykal Al Anwar mengatakan, survei ini bagus dan penting sebagai wawasan baru. Hasil survei, katanya, memperlihatkan, masyarakat lebih mendengarkan tokoh agama daripada saintis atau ahli lain.

Kondisi itu, katanya, bisa menguntungkan dan merugikan, tergantung tokoh agamanya peduli atau tidak dengan lingkungan hidup.

“Kami sudah punya koalisi keberagaman transisi energi dan perubahan iklim,” katanya.

Beberapa aksi, seperti pengelolaan sampah di ratusan pesantren dan mengolah zero waste yaitu suatu gerakan untuk tidak menghasilkan sampah dengan cara mengurangi kebutuhan, menggunakan kembali, mendaur ulang, bahkan membuat kompos sendiri.

Indonesia, katanya banyak regulasi tidak mendukung, hingga upaya masyarakat melakukan hal-hal kecil akan sia-sia. “Kalau regulasi tidak jelas, jadinya seperti kran bocor,” kata Roy.

Apalagi, katanya, banyak kerusakan. Kalau secara agama dalam ilmu ushul fiqih “mencegah kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil manfaatnya.” Kita sebagai rakyat wajar mengkritik dan mengoreksi itu semua,” katanya.

Dia bilang, agama bisa jadi pintu masuk melawan perubahan iklim. Nahdlatul Ulama (NU) berupaya lakukan itu, dengan pengajian di kampung-kampung tanpa membawa plastik. “Bahkan makan bersama mereka menggunakan pelepah pisang.”

Menurut Roy, perlu sinergitas lebih baik lagi di dalam melawan perubahan iklim ini. “Syura bainahum (musyawarah) sangat perlu.”

 

 

***

Pendidikan lingkungan dinilai perlu segera masuk dalam kurikulum sekolah. Upaya ini, dapat memberikan pemahaman soal lingkungan termasuk perubahan iklim kepada generasi muda. Perubahan iklim tidak hanya bicara sekarang juga masa mendatang.

Medril mengatakan, pemerintah sudah komitmen, isu perubahan iklim, salah satu dengan memberikan pemahaman kepada anak-anak. “Jangan lihat isu perubahan iklim sekarang saja, juga berpengaruh kepada yang lain,” katanya.

Roy mengatakan, pendidikan lingkungan harus ditekankan di sekolah-sekolah. Dia contohkan di pesantren yang dikelolanya ada ilmu ekologi. “Dari ilmu itu mereka langsung tau, melihat persoalan lingkungan sekeliling, seperti aturan membuang sampah.”

 

Sampah dengan sebagian besar sampah plastik sekali pakai berserakan di tepian jalan di banten. Foto: Saparian Saturi/ Mongabay Indonesia

******

Foto utama:  Kala hutan terbabat untuk tanaman monokultur, memperparah krisis iklim. Foto: Laman Kinipan

Exit mobile version