Mongabay.co.id

Lomba Jukung, Cara Nelayan Menghibur Diri Ketika Paceklik Ikan

 

Para nelayan menghelat lomba-lomba perahu layar di Tulamben dan Amed, dua pesisir tersohor di Bali timur. Lomba yang didanai dari patungan sesama peserta ini adalah mekanisme release dari kesedihan karena beberapa minggu paceklik ikan di tengah pandemi ini.

Belasan jukung nelayan Amed menaikkan tiang layarnya pada 27 Agustus 2021 lalu. Di Bali, perahu tradisional dari kayu atau resin disebut jukung, biasanya memiliki sepasang cadik untuk penyeimbang. Jukung kini dilengkapi mesin tempel. Namun untuk lomba jukung layar, mereka harus mengemudikan jukungnya hanya dengan bantuan angin.

Inilah cara mereka menghibur diri dan memanen deru angin di pesisir. Minimnya tangkapan dimulai dari musim angin awal Agustus sampai saat ini. Tak heran, ratusan jukung diparkir.

Ratusan warga yang menonton memilih naik ke bebukitan untuk bisa menonton balapan jukung layar dari kejauhan. Salah satu titik paling ramai adalah Jemeluk. Ini adalah area tanjung tersohor sebagai titik memotret keindahan pesisir Amed berpadu dengan kemegahan Gunung Agung. Ketika laut dan gunung bersanding, visualisasi konsep Nyegara Gunung di Bali.

Sebelum tengah hari, layar jukung warna-warni sudah memulai start dengan perlahan. Ketika angin melambat, demikian pula laju jukungnya. Warga mengidentifikasi nama nelayan dari warna layarnya. Penonton bertepuk tangan memberi semangat pada jukung yang berjuang mengendalikan layarnya sampai garis akhir.

Hadiahnya uang antara Rp300-700 ribu yang dikumpulkan dari kocek nelayan sendiri. “Dulu, sebelum pandemi, ada sumbangan dana dari pengusaha hotel dan restoran untuk hadiahnya,” seru salah satu penonton.

baca : Ritual Merehatkan Laut di Perairan Nusa Penida

 

Lomba jukung layar di Amed, Bali timur. Foto : Luh de Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Menikmati pesisir Amed tak hanya asyik dari pantai, juga tengah laut. Panorama bebukitan, Gunung Agung, aktivitas nelayan, dan pengolahan garam laut adalah keseharian yang tak pernah menjemukan.

Salah satu warga yang melakoni semua aktivitas itu adalah Wayan Paing. Pada pagi hari saat matahari baru menyemburkan rona jingganya, ia mengolah ladang pembuatan garam tradisional yang terletak di halaman Hotel Garam. Jika potensi ikan melimpah, ia menyempatkan dulu melaut pada dini hari.

“Sudah hampir satu bulan susah dapat ikan, dari pada melaut, lebih pasti buat garam,” kata Paing. Ia bekerja dua kali mengolah ladang pembuatan garamnya. Pada pagi hari mengolah tanah untuk dipenuhi air laut. Dibiarkan satu hari, lalu digemburkan dan dijadikan filter saripati garam.

Pada sore hari, giliran memanen garam dari palungan-palungan batang kelapa. Proses pembuatan garam di Amed masih tradisional karena itu kelompok petani mendapatkan sertifikat Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis sebagai produk khas.

Hanya kurang dari 20 KK yang masih jadi petani garam di Amed. Mereka juga terdesak karena lahan pembuatan makin berkurang, akibat alih fungsi lahan.

Pada siang atau sore hari, Paing menawarkan jukungnya untuk wisatawan yang hendak mengeksplorasi laut Amed. Paing mengajak berlayar mengelilingi beberapa titik rumpon, area penangkapan ikan yang didesain agar ikan berkumpul.

Melihat daratan dari tengah laut memberikan perspektif berbeda. Terutama tata kelola pesisir. Sulitnya memastikan ruang sempadan pantai yang tidak boleh diisi bangunan, menurut regulasi tata ruang Bali adalah 100 meter dari bibir pantai. Perlunya kebijakan dan penataan ruang yang adil antara kepentingan nelayan, petani garam, dan pengusaha akomodasi.

baca juga : Ladang Garam Laut Makin Terdesak, Koperasi Petani Buka Amed Salt Center

 

Nelayan menjajakan jasa jukung kala paceklik ikan. Foto : Luh de Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Sementara itu dari Tulamben, I Made Selamat juga dengan antusias mengabarkan lomba jukung oleh Kelompok Nelayan Tukad Abu, Tulamben yang diikuti 18 peserta pada 31 Agustus 2021.

Juara 1, 2, dan 3 mendapat beras masing-masing 30, 25, dan 20 kg. Tak hanya tiga tercepat, namun hadiah beras juga diberikan pada peserta yang bisa mencapai garis finish. Mereka juga mendapatkan beras masing-masing 10 kg.

Warga Amed dan Tulamben sangat tergantung pariwisata terdampak pandemi. Nah, ketika paceklik ikan, warga makin terpukul. Karena alternatif penghasilan makin menghilang.

Biasanya sangat mudah mendapatkan ikan segar dari nelayan yang baru mendaratkan jukungnya. Paling dominan adalah ikan jenis tongkol. Jika ingin menikmati hasil olahannya, tinggal minta jasa pedagang di pinggir pantai untuk membakar atau menggoreng.

Namun kini, sangat sulit mencari ikan. Para nelayan yang mendarat tak membawa satu ekor pun. Istri dan anak yang menyongsong mereka di pantai pun harus membawa wadah kosong kembali ke rumah.

Warga mencoba peruntungan dengan menyebar jaring di pinggir pantai. Ada yang menyebar jaring puluhan meter, ditarik 10-20 orang. Ada juga yang menjaring sendiri dengan menariknya perlahan sambil berjalan sepanjang garis pantai.

Hasilnya pun tak mengembirakan. Hanya mendapat ikan teri, jika beruntung satu atau dua ekor ikan berukuran telapak tangan. Risikonya, jaring bisa robek karena ada batu-batu yang tersangkut jaring.

baca juga : Setelah Pantai Dibuka di Masa Pandemi

 

Menjala ikan di pantai Amed, Bali timur pada pagi hari. Foto : Luh de Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Jika datang sebagai pengunjung yang sedang plesiran, kegigihan nelayan ini adalah penyuntik energi di pagi hari. Aktivitas menjaring ikan di pantai bisa dinikmati sambil berendam atau berenang. Di sisi barat adalah Gunung Agung, sedangkan sisi timur bisa melihat puncak Gung Rinjani di Lombok jika langit cerah tak tertutup awan. Terutama di pagi hari saat sinar matahari menyeruak di kaki langit.

Berbeda dengan Tulamben, area 100 meter dari pantai ke arah laut adalah area perlindungan, tidak boleh ada aktivitas menangkap ikan dalam bentuk apapun. Tulamben menjaga potensi wisata menyelam yang memberikan dampak ekonomi jauh lebih besar. Para nelayan berlayar di luar zona perlindungan ini.

Dikutip dari laman BMKG, peringatan cuaca ekstrim masih ditampilkan. Di antaranya waspada potensi tinggi gelombang laut . Gelombang dapat mencapai 2 meter atau lebih di Selat Bali bagian selatan, Selat Badung, Perairan selatan Bali, Selat Lombok bagian selatan, dan Samudera Hindia selatan Bali.

 

Exit mobile version