- Garam Amed Bali adalah salah satu garam termahal
- Proses produksi dan sarana tradisional menjadikan garam Amed mendapat indikasi geografis
- Garam laut juga mendorong warga menjaga pesisir dan kualitas air laut agar tak tercemar
- Kini kelompok petani garam Amed mengelola Amed Salt Center bersama sejumlah lembaga pendukung lainnya sebagai etalase dan pusat informasi yang edukatif.
Kini di kawasan wisata pesisir Amed, Karangasem, Bali ada tempat rehat baru. Namanya Amed Salt Center, diresmikan pada Kamis (3/9/2019). Sebuah pusat informasi dan etalase produk para petani garam laut yang tergabung dalam Koperasi Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Garam Amed.
Sebanyak 24 orang petani garam laut Amed berkumpul di dalam Amed Salt Center yang baru diresmikan ini. Sebagian besar sudah lanjut usia, berusia di atas 50 tahun. Usai mengurus ladang garam, mereka muncul mengenakan kain dan selendang, berseragam baru kaos Amed Salt Center. Mereka membuka buku-buku yang dipamerkan, dan saling melempar gurauan melihat foto sendiri dan sejumlah rekannya di sana.
Ada juga petani yang berfoto dengan memperagakan membawa pikulan air laut di masa lalu, terbuat dari daun lontar yang kini sudah tak ada karena air laut ditarik mesin. Seluruh perlengkapan pembuatan garam di era sebelum tahun 2000 jadi pajangan. Membuka ingatan akan leluhur para petani saat ini.
baca : Inilah Garam Es Krim Dari Amed Bali
Memasuki bangunan baru ini, terlihat segar dengan dominan warna hijau dan kuning. Tembok bercat putih dihiasi aneka infografik dengan grafis kartun tentang tutorial cara membuat garam Amed dan sejarahnya. Dalam Bahasa Indonesia dan Inggris.
We Treasure Our Heritage. Demikian tagline sejumlah kaos, kartu pos, dan tote bag, dan merchandise lain yang diproduksi dan dijual di salt center ini. Menunjukkan kebanggan dan upaya pelestarian cara dan teknik pembuatan tradisional di Amed.
Jika baru pertama kali ke Amed dan ingin mengetahui cara pembuatan garam laut ini, Amed Salt Center sangat membantu. Termasuk jika ingin tur dan ikut membuat garam langsung dengan petani serta membeli garam untuk buah tangan. Karena fokus sebagai buah tangan, harga dan kemasan garamnya khusus, dengan toples kaca dan kaleng. Harga kemasan toples kaca (glass jar) 80 gram Rp30 ribu, dan kemasan kaleng (can) 150 gram Rp40 ribu. Lebih mahal dibanding harga beli curah atau kemasan 1-2 kg.
Di samping kios, beberapa langkah di sampingnya, ada ladang garam. Sekitar empat petak yag dikelola sejumlah petani. Jika berkunjung singkat kurang dari 1 jam pun masih bisa melihat dan mempelajari warisan leluhur petani garam di Amed.
baca juga : Petani Amed Memetakan Lahan Garamnya. Untuk Apa?
Petani garam berusia di bawah 40 tahun bisa dihitung dengan sebelah jari, mereka penerus bapak ibu yang mulai bekerja penuh waktu mengurus ladang. Misalnya Kadek Artana, baru setahun ini fokus mengurus ladang garam penerus bapaknya. Mereka sempat berhenti membuat garam karena ladang yang digarap berubah fungsi jadi penginapan.
Itu kisah yang selalu muncul di tiap alih fungsi ladang garam di Amed. Ladang berpindah-pindah karena berubah jadi bangunan, terutama akomodasi. “Meneruskan bapak yang berhenti karena lahannya jadi penginapan,” urai Artana yang sebelumnya bekerja jadi buruh tukang bangunan di Tabanan. Dari 24 Kepala Keluarga (KK), sedikitnya hanya 6 KK petani yang membuat garam di lahan milik sendiri. Sisanya tergantung kerjasama pemilik lahan dengan sistem bagi hasil.
“Bagi hasil 50:50, tiap panen bagi dua,” tambah Komang Juniari, petani garam perempuan muda yang juga menjadi petani penggarap. Panen garam tiap empat hari sekali. Jika menghasilkan 20 bakul, maka hanya 10 bakul yang bisa dijual ke Koperasi MPIG Garam Amed, dengan harga sekitar Rp50 ribu per bakul. Tiap bakul berisi sekitar 10 kg. Garam ini masih kotor dan agak basah, akan disortir dan dikeringkan ulang. Tahap ini memerlukan cukup banyak tenaga kerja dan waktu.
menarik dibaca : Beginilah Kolaborasi Seni dan Aktivisme Selamatkan Garam Amed Khas Bali
I Nengah Suanda, Ketua Koperasi MPIG Garam Amed Bali mengalami musibah beberapa jam jelang pembukaan Amed Salt Center. Ia harus masuk unit gawat darurat RSUD Karangasem karena infeksi saluran kencing. Saat ditemui Sabtu (5/9/2019), kondisinya membaik dan sudah bisa ngobrol. Saat ini musim kemarau lebih panjang dari tahun lalu, panen juga lebih banyak, sampai September lebih dari 30 ton. Sementara tahun lalu sekitar 25 ton.
“Tahun ini panen lebih banyak, tapi masih kesulitan mengeringkan kembali, perlu sarana lebih besar,” ujar Suanda. Pengeringan ulang diperlukan untuk memastikan garam yang dikemas kualitasnya lebih baik, tak mudah berair dalam jangka waktu lebih panjang. Ide-ide membuat penutup di area ladang garam sedang digodok, untuk mencegah debu dan kotoran, dan memungkinkan produksi tetap jalan di musim hujan.
Para petani saat ini masih menjalani cara lama tanpa tambahan teknologi pengembangan hasil. Hanya produksi di musim kemarau menggunakan palungan (bilah batang kelapa) untuk menjemur air garam, tinjungan (anyaman bambu untuk menyaring), dan cara-cara tradisional.
baca juga : Melestarikan Garam Tradisional, Bisa Mengurangi Risiko Mikroplastik
Geliat kelompok petani garam Amed Bali menarik perhatian sejumlah lembaga untuk terus memberi dukungan. Misalnya Indonesian-Swiss Intellectual Property Project (ISIP) lewat Yayasan Sahabat Cipta yang mendampingi proses pendampingan pendaftaran hak cipta dan Indikasi Geografis (IG).
Dollaris Riauaty Suhadi, Direktur Yayasan Sahabat Cipta yang bekerja di sejumlah program pemberdayaan di Indonesia mengatakan Amed Salt Center menargetkan peningkatan penjualan garam curah dan ritel. Penjualan garam terbanyak curah, dan target penjualan 2019-2021 adalah curah sekitar 70%, sisanya ritel di Bali dan luar Bali. Target ritel adalah turis yang berkunjung ke Amed, jadi salt center menjadi penghubung untuk promosi dan pemasaran produk.
“Turis perlu oleh-oleh khas dari Amed. Mereka bisa menjadi promotor word of mouth ke teman-teman di negara mereka, membuat testimoni. Ini bagian dari memperkenalkan garam Amed,” kata Waty, panggilan perempuan pendiri Sahabat Cipta pada 2007 ini.
Sebelum ada Amed Salt Center, turis bisa membeli garam dari para pedagang asongan di pantai dan pinggir jalan yang menjual dalam berbagai wadah. Namun, kelompok petani tak bisa memastikan yang dijual itu benar produksi garam Amed. Jika hendak membeli langsung di ladang saat panen juga bisa, tinggal dibersihkan lagi di rumah.
Waty mengatakan perlu terus diupayakan meningkatkan kualitas karena Garam Amed sedang didaftarkan di Uni Eropa untuk mendapatkan Geographical Indication European Union, seperti IG di Indonesia. Garam Amed Bali terdaftar di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Ham Republik Indonesia dengan sertifikat Indikasi GeografiS (IG) ID G 000000038 pada tanggal 23 Desember 2015.
Upaya peningkatan seperti di pengeringan dan sortir, perlu sistem tertutup supaya tidak banyak debu halus. Sortir saat ini lebih lama dan banyak yang terbuang. Pengeringan musim hujan juga masih bisa dilakukan jika system closed misalnya menggunakan UV plastic solar dryer.
Target lain, peralatan dan proses produksi sesuai standar IG, peningkatan internal quality control, dan lainnya karena akan diaudit ketika ekspor.
Kehadiran Amed Salt Center menjadikan pekerjaan membuat garam di pesisir Amed menarik perhatian generasi muda. Tak hanya petani, juga petugas penjualan dan pemasaran. Jika ladang-ladang garam indah menghampar ini lebih menjanjikan dan bersaing dengan penghasilan sebagai pekerja hotel, niscaya warisan leluhur mereka masih berumur panjang.