Kabar gembira datang bersama rasa prihatin bagi Nengah Suanda, petani garam di kawasan Amed, Desa Purwakerthi, Kecamatan Abang, Karangasem, Bali bagian timur. Akhir tahun lalu, garam Amed sebagai produk kebanggaan petani garam desa itu mendapatkan sertifikasi sebagai Produk Indikasi Geografis. Namun, di sisi lain, kondisi petani garam di desa tersebut justru terus terjepit.
Indikasi geografis adalah pengakuan terhadap sebuah produk khas dari daerah tertentu berdasarkan lingkungan geografis, baik alam, manusia, ataupun kombinasi keduanya sehingga tak bisa digunakan oleh daerah lain. Dengan memiliki indikasi geografis, maka garam Amed tidak tak hanya diakui sebagai produk khas kawasan ini tapi juga mendapat perlindungan nama. Daerah atau perusahaan lain tak boleh menggunakan nama garam Amed.
Di Indonesia, ada 31 produk yang sudah memiliki indikasi geografis antara lain Kopi Arabika Gayo, Ubi Cilembu Sumedang, Kopi Arabika Java Preanger, Bandeng Asap Sidoarjo, dan lain-lain. Mereka tersebar dari Aceh sampai Kepulauan Alor. Sebagian besar berupa produk alam yang diproduksi secara komunal dalam kawasan.
Dengan memiliki indikasi geografis, produk pun memiliki nilai jual lebih tinggi. Hal ini yang membuat Suanda dan petani garam lain di kawasan Amed senang sekaligus bangga. “Kami optimis memiliki sertifikat indikasi geografis bisa menjadi angin segar karena kami bisa memasarkan dengan lebih percaya diri. Kami bisa berbangga,” kata Ketua Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Garam Amed itu.
Namun, Suanda juga menyimpan kegundahan. Ketika garam Amed mendapatkan indikasi geografis, pada saat yang sama petani garam di desa ini justru menghadapi tantangan di desa mereka sendiri. Lahan untuk bertani garam Amed makin sedikit. Mereka kian terdesak oleh pembangunan perumahan ataupun fasilitas pariwisata di desanya.
Garam vs Pariwisata
Amed merupakan salah satu kawasan pariwisata di Karangasem selain Tulamben. Dua desa ini berjarak hanya sekitar 20 km dengan keindahan bawah laut yang tak jauh berbeda. Lokasi yang berada persis di pinggir pantai tak hanya menjual pesona bawah laut tapi juga keindahan saat matahari terbit dan tenggelam. Turis berdatangan bersamaan dengan kian banyaknya hotel ataupun vila.
Warga lokal yang dulunya menjadi petani garam, kini menjual lahan mereka kepada investor yang kemudian mengubah fungsi lahan menjadi hotel atau penginapan. Di sisi lain, anak-anak muda juga tidak lagi tertarik mengolah garam. Mereka memilih bekerja sebagai staf hotel atau restoran.
Saat ini, menurut Suanda, jumlah petani garam hanya berkisar 20 orang. Padahal, 10 tahun lalu masih 200an. Lokasi pembuatan garam yang dulunya tersebar di sepanjang pantai pun kini terkepung hotel, restoran, penginapan, dan perumahan. Tiap petani rata-rata mengolah 2 are (200 meter persegi) lahan pembuatan garam.
Kolaborasi
Ancaman terhadap kelestarian garam Amed di antara kian bagusnya potensi garam khas itu menggugah Suanda dan petani garam lainnya untuk berkolaborasi dengan dua seniman dan dua lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Bali. Mereka ingin melestarikan garam Amed melalui proyek kolaboratif bernama Mabesikan Project; Art for Social Change.
Mabesikan berasal dari bahasa Bali yang bisa disederhanakan sebagai kolaborasi. Proyek ini digagas lembaga Search for Common Ground (SFCG) dan Kedutaan Besar Denmark untuk mengajak seniman dan aktivis berkolaborasi untuk mendorong perubahan. Selain isu lingkungan, seperti perlindungan garam Amed dan pelestarian sawah di Ubud, ada juga isu-isu sosial, seperti kesetaraan gender dan pendampingan bagi orang dengan gangguan jiwa.
“Kolaborasi ini adalah salah satu bentuk kepedulian terhadap potensi petani dan lahan garam di Amed, keberlanjutan pelestarian alam serta warisan budaya,” kata Pungkas Darma, Program Assistant SFCG untuk Mabesikan Project.
Dalam Mabesikan Project untuk pelestarian garam Amed, dua seniman yang terlibat adalah forografer Rudi Waisnawa dan seniman mural Arie Putra. Mereka bekerja sama dengan Sloka Institute dan Conservation International (CI) Indonesia. Sloka Institute dan CI Indonesia sebelumnya sudah berkolaborasi untuk mendampingi petani garam di Amed maupun warga pesisir lain di Karangasem melalui program pengelolaan informasi bagi warga desa.
Warga lokal yang terlibat selain Kelompok Indikasi Geografis Garam Amed juga Tim Pewarta Warga dan seniman lokal.
Rudi Waisnawa mengatakan tujuan kolaborasi ini adalah untuk melakukan upaya perlindungan lahan Garam Amed. Upaya yang dilakukan antara lain mengadakan workshop seni, pameran foto dan pembuatan mural yang mengangkat tema potensi Garam Amed. Kelompok kolaborasi ini juga memfasilitasi ruang dialog antara petani garam Amed, pengusaha dan stakeholder pemerintah.
Sebagai fotografer, Rudi merasa tertantang untuk berkolaborasi dalam Mabesikan Project yang mengangkat topik perlindungan garam Amed ini. “Secara pribadi saya berharap proyek ini bisa terus berkelanjutan, artinya tidak selesai begitu saja setelah pameran foto,” katanya.
“Hal lebih penting adalah kolaborasi ini bisa memecahkan masalah yang dihadapi petani garam Amed yaitu menjaga keberlanjutan lahan mereka,” tambahnya. Rudi berharap proyek ini akan lahir kebijakan tentang perlindungan lahan petani garam Amed yang diikuti peningkatan kualitas produksi, pengemasan dan pemasaran.
Manajer Program Conservation International Indonesia untuk Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Bali Iwan Dewantama menambahkan, belum adanya kebijakan perlindungan terhadap lahan garam Amed memang menjadi salah satu isu penting. Padahal, menurutnya, pelestarian garam Amed sangat terkait dengan kebijakan.
“Tata ruang desa akan memberikan payung hukum perlindungan hukum lahan dan masyarakatnya. Tata ruang laut itu penting. Jangan sampai di mana ada petani garam, tapi lautnya ada jetski, bananaboat, dan restoran terapung yang justru mengganggu petani garam,” kata Iwan.
Suanda pun mengatakan hal sama. “Kami sulit mengontrol alih fungsi lahan karena memang belum ada aturan zona khusus lahan produksi garam,” katanya.
CI Indonesia sendiri sudah bekerja untuk mewujudkan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) di Karangasem agar disahkan. Menurut Iwan, kawasan konservasi yang diusulkan itu meliputi kawasan Tulamben 13.35 hektar, Amed-Bunutan 2.293 ha, dan Candidasa 2.055 ha. Adanya KKP itu akan membuat pengelolaan kawasan juga lebih tertata. Bisa dimanfaatkan secara ekonomi namun tetap melestarikannya.
Iwan Dewantama, mengatakan bahwa kegiatan Mabesikan Project merupakan bentuk konservasi Alam dengan pendekatan baik di darat maupun di laut atau “Nyegara-Gunung”. Pendekatan ini didasari prinsip keterkaitan lingkungan dari gunung sampai laut yang perlu dikelola secara terpadu.
“Kegiatan ini diharapkan dapat menjadikan Amed sebagai salah pariwisata berbasis ekosistem dan budaya, yang dapat mendukung keberlanjutan dan kejayaan garam Amed,” tambahnya.
Keunikan produksi garam Amed selama ini memang menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan. Selain melihat keindahan alam, turis-turis juga bisa melihat proses pembuatan garam Amed dengan teknik tradisional yang hanya ada di kawasan ini. “Jangan sampai turis datang ke sini karena garam Amed namun lahannya justru tidak dilindungi,” Suanda mengingatkan.