Mongabay.co.id

Tantangan Penanganan Limbah Medis di Masa Pandemi

Sistem yang jelas mengenai penanganan limbah medis yang belum ada hingga banyak sampah-sampah medis terbuang sembarangan. Masa pandemi corona ini, membuat kondisi makin mengkhawatirkan karena bukan mustahil penyebaran virus malah melalui limbah-limbah medis yang tak tertangani dengan baik ini. Foto: Adi Renaldi/ Mongabay Indonesia

Sistem yang jelas mengenai penanganan limbah medis yang belum ada hingga banyak sampah-sampah medis terbuang sembarangan. Masa pandemi corona ini, membuat kondisi makin mengkhawatirkan karena bukan mustahil penyebaran virus malah melalui limbah-limbah medis yang tak tertangani dengan baik ini. Foto: Adi Renaldi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Masa pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) berdampak pada berbagai sektor, termasuklah soal persampahan. Persoalan sampah medis muncul dan jadi tantangan penanganan atau pengelolaan sampah atau limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) di Indonesia.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan, timbunan limbah medis meningkat sekitar 30-50%. Tantangan lagi bagaimana pengelolaan limbah medis.

Fahrian Yovantra, Head of Program Greeneration Foundation mengatakan, penanganan COVID-19 menyebabkan berbagai ancaman lingkungan baru, seperti limbah medis (B3) yang belum terkelola optimal.

“Pandemi COVID-19 juga mengekspos betapa karut marut tata kelola limbah medis di Indonesia,” katanya dalam Bincang Alam “Indonesia Pasca Pandemi: Tata Kelola Limbah Medis,” beberapa waktu lalu.

Soal limbah medis, katanya, sebenarnya sudah ada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 56/2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah B3 dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan. “Realisasinya masih belum maksimal, ditambah COVID-19 membuat tata kelola limbah medis jadi lebih menantang.”

Pengelolaan limbah medis harus melalui penanganan khusus. Di Indonesia, masih mengandalkan insenerator. Proses insenerasi juga menyisakan masalah yaitu potensi polusi udara dan zat berbahaya dari pembakaran limbah.

Belum lagi, kata Fahrian, rumah sakit terutama di luar Jawa belum punya teknologi itu hingga pengelolaan diserahkan kepada pihak ketika yang memiliki izin KLHK.

“Ini sangat berdampak pada pengangkutan karena harus menunggu hingga kuota terpenuhi. Keadaan ini jelas berbahaya seperti ticking time bomb meningkatkan risiko penyebaran infeksi dari tumpukan sampah itu.”

Masalah limbah B3 medis ini, katanya, multi dimensi. Jadi, tak hanya rasakan dampak saat ini juga generasi mendatang.

 

Baca juga : Bagaimana Pengelolaan Limbah Penanganan Corona? Ini Aturannya

Usai pengambilan sampel swab,petugas kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka, NTT, melepaskan baju hazmat untuk dimasukan ke dalam kantong plastik dan dibawa ke tempat penampungan. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Dari catatan KLHK, tahun ini sampai Agustus, limbah B3 lebih 20.000 ton, termasuk dari rumah sakit di seluruh Indonesia menyumbang 383 ton perhari dari perawatan pasien COVID-19. Kalau limbah B3 di Indonesia terus meningkat jadi 500 ton perhari, akan ada peningkatan 15.000 ton perbulan bersumber dari rumah sakit maupun rumah tangga.

Peningkatan limbah medis ini juga jadi ancaman baru bagi kelestarian lingkungan. Ancaman ini terlihat dari peningkatan limbah B3 yang tak bisa terurai secara alamiah.

Belum lagi, limbah medis ini berpotensi menyebarkan penularan COVID-19 bagi petugas dan warga di sekitar tempat pembuangan sementara (TPS) maupun insenerator limbah B3. Menurut Fahrian, tantangan tata kelola limbah B3 di Indonesia dapat elaborasi melalui lima framework pengelolaan sampah yakni, kelembagaan, pembiayaan, regulasi, teknis operasional, dan partisipasi masyarakat.

Pertama, soal kelembagaan mengacu kepada koordinasi antara lembaga pemerintah dalam perencanaan, pengawasan, akuntabilitas, transparasi, serta evaluasi terhadap pengelolaan limbah B3.

Kedua, pembiayaan mengacu kepada alokasi pembiayaan bagi operasionalisasi pengelolaan limbah B3, baik pemerintah maupun swasta.

Ketiga, regulasi untuk memastikan keberlangsungan pengelolaan limbah B3. Keempat, teknis operasional berkaitan dengan ketersedian fasilitas pengelolaan limbah B3 yang berkualitas. Juga, pengelolaan dan pemeliharaan peralatan pengolahan limbah B3 yang berkelanjutan, inovasi pengelolaan dan standarisasi pengolahan limbah B3 dengan memperhatikan dampak kelestarian lingkungan.

Kelima, partisipasi aktif masyarakat yang memiliki kesadaran, kontribusi, serta inovatif dalam mewujudkan pengelolaan limbah B3 yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Kelima, elemen penting ini saling berhubungan untuk menciptakan pengelolaan limbah B3 yang komprehensif, hingga menjamin lingkungan berkelanjutan.

Pemerintah, katanya, berperan sebagai leading figure dan vocal point untuk melaksanakan tata kelola melalui pelayanan dan layanan melalui penerapan good governance.

Peran masyarakat, kata Fahrian, sebagai akselerator atau katalis, misal, mulai dari keikutsertaan sebagai platform dalam dialog antar golongan masyarakat.

“Pengelolaan limbah medis merupakan upaya kolaboratif yang harus didukung semua pihak.”

 

 

*Debbie Balquisse adalah Outreach Intern Mongabay Indonesia.

 

Baca juga: Buruknya Penanganan Sampah Medis Bisa Perparah Pandemi

Limbah plastik infus, perban, selang infus, kasa dan lainnya yang bercampur dengan sampah domestik di TPA Bakung, Sabtu, 6 Februari 2021. Foto: Derri Nugraha

 

*******

Foto utama:

 

Exit mobile version