Mongabay.co.id

Warga Resah Operasi Perusahaan Tambang Emas di Bone Bolango

 

 

 

 

“Saya lebih memilih mati jadi petani. Itu lebih terhormat. Daripada saya mati karen bencana disebabkan perusahaan tambang emas PT. Gorontalo Minerals. Itu penghinaan buat saya,” kata Sumanti Dukalang, awal Agustus lalu.

Perempuan 51 tahun warga Desa Moopiya, Kecamatan Bone Raya, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo ini, hingga kini terus menolak tegas GM masuk kampung halaman mereka.

Dia ingin tetap jadi petani daripada menjadi babu [pesuruh] perusahaan tambang emas. Belum lagi, katanya, perusahaan tambang emas akan merusak lingkungan hidup.

Kebun Sumianti ada masuk dalam konsesi PT Gorontalo Minerals (GM). Maka akan hilanglah, kebunnya kalau sampai anak perusahaan Bumi Resources Minerals Tbk ini beroperasi.

Perusahaan, katanya, tak pernah sosialisasi. Padahal, desa mereka merupakan jalur utama akses jalan menuju lokasi perusahaan tambang yang terletak di Blok I Kompleks Sungai Mak. Desanya Desanya berada di muara Sungai Tombulilato, yang rawan banjir bandang.

Warga termasuk Sumianti kaget, kala tiba-tiba GM membuat jalan tanpa pemberitahuan. Perempuan juga anggota Badan Permusyawaratan Desa [BPD] ini keberatan dengan GM tak menghormati masyarakat setempat.

Dia bilang, sebelum tambang skala besar ini masuk saja, kalau hujan warga was-was khawatir banjir.

“Apalagi, saat ini GM sudah membuat jalan menuju di Blok I Kompleks Sungai Mak, pastinya mereka sudah membuka lahan dengan alat berat, yang mengurangi penyangga air hingga lebih rawan.”

Pada 7 September 2020, Kecamatan Bone Raya, pernah banjir bandang dan tanah longsor karena curah hujan tinggi.

Bencana itu menelan lima korban jiwa. Tiga hari hujan deras, dua orang ditemukan tewas tertimbun longsor, tiga orang hilang. Satu dari dua korban longsor itu merupakan suami Sumanti.

Kejadian itu mimpi buruk bagi warga Bone Raya. Dengar ada perusahaan tambang emas mau masuk, Sumianti begitu khawatir dan resah. Dia takut, bencana lebih besar akan datang ke desa mereka kalau sampai perusahaan tambang beroperasi.

Dia kecewa kepada Pemerintah Bone Raya dan Pemerintah Bone Bolango yang tak pernah memfasilitasi atau membuka ruang diskusi antara masyarakat dan perusahaan. Terutama, dalam membahas dampak-dampak akan terjadi dengan ada perusahaan tambang emas ini.

“Setidaknya Bupati Bone Bolango bisa memberikan jaminan masa depan kepada kita semua. Tapi semua itu tidak ada. Pasti ketika datang musim hujan, kita akan terkena dampaknya,” jelasnya.

Sumanti pernah diiming-imingi kalau anaknya bisa kerja di perusahaan. Dia tegas menolak. Baginya, memperkerjakan anak di GM sama saja menghancurkan masa depan anak cucu.

Kebun yang ada, katanya, cukup buat memenuhi keperluan mereka.

“Kalau bekerja di GM, pasti tidak akan lama, apalagi jadi buruh kasar, pasti cuman berapa tahun. Kalau jadi petani, pasti menikmati hasil berkelanjutan. Kita makan pisang saja, bisa hidup.”

 

Baca juga: Belasan Ribu Hektar Kawasan Hutan Bakal jadi Tambang Emas di Bone Bolango

Warga Bone Bolango, resah kalau sampai perusahaan tambang beroperasi, bisa rusak lingkungan dan timbulkan bencana makin parah. Foto: Sarjan lahay/ Mongabay Indonesia

 

Yusdin Maele, warga Desa Alo, Bone Raya, juga sama. Dia menolak GM yang akan beroperasi di tanah leluhurnya. Namun dia tak bisa berbuat banyak.

Keterbatasan pengetahuan jadi alasan dia tak tahu apa yang harus dilakukan untuk menolak perusahaan tambang emas ini.

“Kita tidak tahu harus bagaimana. Kita di sini dibatasi pendidikan. Ada beberapa orang yang mendukung GM. Kami harus bagaimana? Sampai hari ini kami hanya diam,” katanya. Sehari-hari Yusdin bikin gula aren dari pohon aren di dalam hutan.

Dia pernah diundang GM membahas pembebasan lahan. Sebagian lahan Yusdin akan dibangun jalan untuk GM menuju Blok I Kompleks Sungai Mak, sentral utama operasi produksi emas GM.

Yusdin tak hadir. Dia memilih membuat gula aren di kebun agar dapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Dia juga sempat ditawari bekerja sebagai buruh kasar untuk membuka akses jalan menuju Blok I Kompleks Sungai Mak dengan bayaran Rp150.000 per-hari. Yusdin menolak.

Dia bilang, sudah cukup dengan bikin gula aren.

“Dalam sehari, saya bikin gula aren bisa sampai 25 biji. Satu biji Rp12.000. Uang itu sudah lebih besar jika dibandingkan bekerja sebagai buruh kasar di GM. Apalagi, membuat gula aren sangat mudah,” katanya.

Senada dikatakan Anduani, saudara Yusdin. Banyak warga tak tahu, hanya dimanfaatkan kekuatan fisik untuk membuka jalan GM. Mereka tak tahu perusahaan tambang emas ini sangat berdampak kepada lingkungan hidup.

“Ketika hujan, air sungai sangat besar, biasa banjir bandang, Kalau sudah pembabatan hutan, pasti akan memicu banjir sangat besar lagi. Bisa tenggelam nanti. Ini yang saya takutkan.”

Berbeda dengan Ruwaida Musin, warga Desa Alo. Lahan miliknya dengan tanaman bulanan dan tahunan dibayar GM Rp2 juta saja, tanpa pembicaraan awal, langsung diterima.

“Ada kelapa dua pohon, pisang ada 20 lebih, mangga tiga pohon, dan coklat dua pohon hanya Rp2 juta. Itupun dibayar tiba-tiba, tidak ada pembicaraan awal. Mau tidak mau harus terima, saya juga takut melawan, saya hanya rakyat kecil,” katanya kepada Mongabay, awal Agustus lalu.

Dia bilang, tak mau bermasalah dengan siapapun, apalagi sampai ke ranah hukum. Ruwaida bercerita, saat banjir bandang September 2020, rumahnya hanyut. Barang-barang tak sempat diambil, tinggal baju di badan saja.

“Awalnya, rumah saya besar, ketika banjir bandang, rumah hancur. Akhirnya, saya bangun ulang, jadi kecil.”

Merah Johansyah, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengatakan, keberadaan GM akan mengancam lingkungan hidup dan masyarakat Bone Bolango.

Kehadiran GM, katanya, akan mengancam kawasan pemukiman, sumber air, pertanian, maupun perikanan.

Ancaman terhadap lingkungan dan sumber daya alam itu, katanya, sangat berbahaya. Rakyat, katanya, pasti perlu pasokan pangan, sumber air bersih berkualitas, Kalau itu rusak, rakyat akan sengsara.

“Apalagi, di kondisi pandemi saat ini. Kita disuruh cuci tangan dengan bersih. Kalau air itu tidak bersih, gimana? Kondisi ekonomi Indonesia, sangat lemah karena pandemi. Kalau sumber pangan rusak rakyat harus makan apa?”

Perusahaan tambang, katanya, pasti memiliki dampak. Dia contohkan, pembangunan jalan tambang berpotensi menghilangkan fungsi hutan sebagai penyangga habitat dan tata air.

Dalam dokumen kerangka acuan GM yang diperoleh Mongabay, menjelaskan proses pembangunan jalan tambang dengan alat berat antara lain truk, bulldozer, excavator, grader, dan compactor.

Jalan tambang akan dirancang dapat dilalui kendaraan dan peralatan tambang untuk dua arah dengan lebar empat kali lebar alat angkut terbesar. Hal itu, katanya, jelas akan membuka tutup hutan sangat besar.

Dalam tahap penambangan juga ada proses pembukaan lahan meliputi pembersihan lahan, penggalian, dan penimbunan. Aktivitas pembabatan hutan di hulu seperti itu, katanya, berpotensi bencana, dan menghilangkan fungsi hutan sebagai penyangga banjir.

Risiko lain, kata Merah, pada proses pembangunan pabrik pengolahan. Sesudah penambangan, akan proses di pabrik pengolahan, yang terdiri dari unit peremukan, penggerusan, flotasi, thickening, dan filtering.

Pabrik pengolahan akan dibangun di lahan seluas 15,02 hektar di sebelah selatan proyek pit Sungai Mak. Merah bilang, pastinya akan memakai tutupan hutan di sana.

Apalagi, model pertambangan terbuka atau open pit dengan menggali mineral deposit pada batuan, serupa dilakukan PT Freeport Indonesia.

Merah meminta, Pemerintah Gorontalo dan Bone Bolango mengevaluasi menyeluruh keberadaan GM. Apalagi GM masih memakai sistem lama, yaitu kontrak karya, bukan izin usaha pertambangan khusus [IUPK]. Seharusnya, seluruh izin kontrak karya berubah jadi IUPK.

Dia menambahkan, ketika proses produksi, harus dicari tahu apakah memakai sianida atau merkuri. Keduanya dapat mencemari dan meracuni sumber air.

Proses pembongkaran dengan peledakan, pengerukan bijih, pengangkutan, penimbunan, sampai perendaman, katanya, juga memiliki risiko. Dia sebutkan, dengan kegiatan itu, ada air terlepas karena proses pertambangan. “Air itu sulit dikendalikan.”

 

 

Air yang Merah maksud adalah air asam tambang [AAT], merupakan air yang terpengaruh kegiatan tambang. Apalagi daerah pertambangan GM berada pada Sungai Mak– induk dari beberapa anak sungai yang mengalir ke beberapa kecamatan di Kabupaten Bone Bolango, termasuk Bone Raya. Air dari Sungai Mak juga biasa dipakai sebagai air minum warga setempat.

Air dari tambang umumnya mengandung padatan tersuspensi karena berkontak dengan batuan teroksidasi. Air pun jadi bersifat asam karena terkonsentrasi logam berat. Air itu, kata Merah, bisa juga mencemari air tanah.

Dalam dokumen amdal menjelaskan, pertambangan dan pengolahan tembaga dan mineral pengikutnya akan menimbulkan dampak merupakan penurunan kualitas air sungai.

Pada tahapan konstruksi penurunan kualitas air karena penyiapan dan pematangan lahan konstruksi. Sedangkan pada tahapan operasi, penurunan kualitas air bersumber dari pembukaan lahan. Badan air yang akan menerima dampak adalah Sungai Mak dan aliran turunan yang mengalir ke pemukiman warga.

Merah bilang, proses pembukaan lahan, bisa berpotensi bencana alam, misal, banjir bandang. “Jika itu terjadi, pasti air sisa tambang yang sangat berbahaya itu, akan ikut terbawa banjir dan mengalir ke pemukiman warga.”

Belum lagi, pembuangan tailing atau limbah tambang, kata Merah, juga penyebab utama pencemaran lingkungan.

Pembuangan limbah, katanya, jadi isu krusial dan penting pada pertambangan. Penanganan tailing, jauh lebih rumit dibandingkan hal lain. Kalau tailing ditempatkan di sungai atau laut, bahkan pemukiman warga, itu sangat bahaya.

Adhan Dambea, anggota DPRD Gorontalo, sejak lama menolak GM. Dia bilang, GM akan membawa bencana dan menenggelamkan Gorontalo kalau beroperasi.

Sejak masih Wali Kota Gorontalo pada 2009, Adhan pernah memberikan surat kepada GM agar angkat kaki dari Gorontalo. Saat itu dia sebagai Ketua Dewan Pengurus Daerah [DPD] Partai Golkar, tetap tegas menolak.

“Saya tidak peduli itu milik keluarga Bakrie, karena saya ingin melindungi warga. Jika GM beroperasi, wilayah Kota Gorontalo yang paling terdampak. Karena setiap ada hujan besar di Bone Bolango, Kota Gorontalo akan terendam. Itu yang membuat saya menolak GM,” katanya kepada Mongabay, 16 Agustus lalu.

Adhan pernah membuat kajian dampak lingkungan hidup dibiayai APBD pada 2009. Kajian itu untuk memberitahu kepada masyarakat Kota Gorontalo terkait dampak-dampak yang ditimbulkan GM.

Usaha itu tak berbuat hasil. Tahun 2010, GM tetap masuk di Gorontalo untuk studi kelayakan dan eksplorasi usai Menteri Kehutanan, kala itu Zulkifli Hasan, menerbitkan surat keputusan tentang izin pinjam kawasan untuk eksplorasi emas dan mineral. Adhan tidak bisa berbuat banyak karena sudah ada sentralisasi perizinan pertambangan.

“Sikap saya masih tetap sama, dari dulu hingga sekarang, saya menolak GM. Saya akan bantu kawal masyarakat Kecamatan Bone Raya, yang sampai hari ini melakukan penolakan.”

Dia meminta, pemerintah provinsi evaluasi GM yang mulai operasi produksi. “Pemerintah Gorontalo harus memikirkan petani-petani di sekitar wilayah GM. Karena yang paling terdampak petani. Perlu di evaluasi GM ini, karena sangat merugikan warga Gorontalo.”

 

Aksi warga protes tambang emas Juni lalu. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

 

Protes warga

“Tolak GM di Bone Raya,” begitu spanduk yang dibawa sekelompok orang yang tergabung dalam Aliansi Pemuda Peduli Lingkungan, saat aksi di Kantor Kecamatan Bone Raya, Bone Bolango, 2 juni lalu.

Dengan menaiki mobil pick up ber sound system, mereka mengelilingi 10 ada di Kecamatan Bone Raya, sebelum menuju kantor camat.

Mereka mengajak masyarakat sama-sama menolak GM di tanah kelahiran mereka. Mereka juga membuat petisi penolakan GM yang ditandatangani masyarakat Bone Raya , dan meminta Pemerintah Bone Raya membuat surat tembusan atau surat penolakan GM kepada Pemerintah Bone Bolango dan Pemerintah Gorontalo.

Alih-alih mendapatkan surat penolakan GM dari kecamatan, mereka hanya bisa melihat sikap pasrah Camat Bone Raya, Kusno Tangahu, yang tak bisa berbuat banyak. Dia bilang, hanya bawahan.

“Saya tidak bisa membuat surat penolakan, karena kita tidak ada wewenang mencabut izin atau mengusir GM. Hanya pemerintah kabupaten dan provinsi yang bisa. Saya hanya bisa koordinasi ke atasan,” kata Kusno, ditemui Mongabay, Juli lalu .

Kusno ikut menandatangani petisi penolakan GM atas nama pribadi. “Saya ikut menandatangani petisi itu, membawa nama pribadi sebagai warga Bone Raya, bukan sebagai camat,” katanya.

Irfan Djamaini, humas aliansi memaklumi sikap Camat Bone Raya, Kusno Tangahu, yang tak bisa membuat surat penolakan GM. Dia paham perizinan tambang emas hanya bisa dicabut Pemerintah Gorontalo dan pemerintah pusat.

Dia hanya membangun kesadaran warga Bone Raya agar menolak tambang emas karena mengancam lingkungan hidup di kampung mereka.

Didik Budi Hatmoko, Kepala Kantor PT. Gorontalo Minerals [GM] di Gorontalo, mau tak mau memberikan komentar ketika dihubungi Mongabay Agustus lalu.

Dia hanya mengatakan sedang dalam karantina mandiri karena pernah kontak erat dengan pasien COVID-19.

Mongabay juga mendatangi kantor perusahaan di Desa Talango, Kecamatan Kabila, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, 12 Agustus lalu tetapi tutup. Pesan WhatsApp yang dikirimkan sampai hari ini, tak kunjung dibalas.

Kecamatan Bone Raya, terletak di wilayah pesisir selatan Gorontalo, Kabupaten Bone Bolango. Perlu sekitar dua jam untuk menempuh perjalanan dari ibukota Bone Bolango, untuk sampai ke kecamatan itu.

GM mendapatkan surat persetujuan presiden dengan No. B.52/Pres/1/1998, untuk penambangan dan pengolahan tembaga dan mineral pengikutnya di kompleks Sungai Mak, Bone Bolango. Target produksi bijih mencapai 5 juta ton pertahun, dan produksi konsentrat 130.000 ton pertahun.

Bone Raya, Bone Bolango, bagian dari wilayah kontrak karya GM sampai tahun 2052. Luas konsesi 24.995 hektar, mencakup dua blok, yaitu, Blok 1 di Tombulilato seluas 20,290 hektar dan Blok II di Molotabu, seluas 4,705 hektar. Konsesi itu masuk wilayah 10 desa di Bone Raya.

GM membuat studi analisis dampak lingkungan (amdal) dan selesai disusun pada 2018. Berdasarkan dokumen amdal yang diperoleh Mongabay, GM tercatat sudah sosialisasi sejak 2014-2017 sebanyak lima kali di Kecamatan Dumbo Raya, Kota Gorontalo, Kecamatan Bulawa, Kecamatan Suwawa Timur, Kecamatan Bone Raya, dan Desa Tulabolo Timur.

 

Alat berat perusahaan tambang. Foto: Sarjan lahay/ Mongabay Indonesia

 

Pada 2019, GM Minerals masuk dalam tahapan produksi dengan kontrak sampai 1 Desember 2052. Ini berdasarkan nomor SK 139.K/30/DJB/2019, keluar pada 27 Februari 2019.

Masyarakat di Kecamatan Bone Raya, membantah soal sosialisasi itu. Mereka bilang, GM tidak terbuka soal amdal.

Warga Kecamatan Bone Raya, pun berdemonstrasi menuntut GM angkat kaki dari Bumi Serambi madinah 2 Juni lalu. Tak ada respon dari pemerintah maupun perusahaan.

Hamim Pou, Bupati Bone Bolango, saat dihubungi Mongabay 5 Agustus lalu mengatakan, penolakan masyarakat Bone Raya terhadap GM merupakan dinamika sosial yang harus dihormati. Dia tak bisa berbuat banyak, karena ada sentralisasi perizinan pertambangan ke pemerintah provinsi dan pusat.

Sebenarnya, Hamim Pou pernah tiga kali melayangkan surat ke pemerintah pusat mengusulkan penghentian kegiatan GM pada 2013. Dia lakukan ini karena tambang berpotensi menimbulkan konflik karena tumpang tindih dengan wilayah tambang rakyat yang sudah lama ada di sana.

Hamim meminta, pemerintah pusat memikirkan kembali keberadaan para penambang rakyat, dan seharusnya ada mekanisme win-win solution antara pemerintah pusat dan aspirasi daerah agar tidak melanggar ketentuan.

“Kita meminta menghentikan kegiatan GM itu, untuk mengakomodir pertambangan rakyat,” katanya.

Hamim bilang, posisi Bone Bolango hanya sebagai lokasi, tetapi kewenangan berada di pusat. Meskipun begitu, karena menyangkut hajat hidup orang banyak, termasuk kelestarian lingkungan, sumber daya alam, masa depan flora fauna, dan sumber daya ekonomi, dia wajib menyuarakan suara daerah dan aspirasi rakyat.

 

 

******

Foto utama: Jalan menuju operasi tambang emas yang dibuka perusahaan. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version