Mongabay.co.id

Generasi Muda Harus Melek Isu Perubahan Iklim

 

Dampak perubahan iklim sudah nyata terjadi dan harus diatasi sehingga ketika generasi muda ingin berperan dalam bidang apa pun, maka mereka hanya akan bisa berperan baik dan memiliki karier menarik kalau memiliki literasi perubahan iklim.

“Walaupun kita lulusan perguruan tinggi tetapi kalau kita buta terhadap perubahan iklim bahkan tidak mau tahu perubahan iklim maka jangan berharap bisa mendapatkan pekerjaan yang baik,” ungkap Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim (DPPPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sarwono Kusumaatmadja, dalam Webinar Nasional dengan tema “Cegah Krisis Iklim dengan Energi Bersih” yang diselenggarakan Yayasan Perspektif Baru (YPB) bersama Konrad Adenauer Stiftung (KAS) bekerja sama dengan FISIP Universitas Pattimura (UNPATTI), Rabu (29/9/2021).

Menurut Sarwono, literasi perubahan iklim sangat penting sebagai upaya bersama menghadapi dampak perubahan iklim.

“Jadi inilah yang harus kita rakit, ditanamkan di diri kita sebagai pengetahuan sehingga kita punya literasi iklim dan atas dasar itu kita juga harus melakukan sesuatu untuk menumpulkan perubahan iklim ini menuju apa yang disebut net zero emission namun setidaknya kita bisa lakukan untuk lingkungan kita sendiri sebagai literasi iklim,” katanya.

Dia selanjutnya mengapresiasi berbagai upaya generasi muda di berbagai daerah yang melakukan upaya kreatif sebagai bagian dari mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

“Mungkin jumlah generasi muda yang paham perubahan iklim ini tidak banyak, namun apa yang dilakukannya sangat impresif, sangat mengagumkan dan mengikuti berbagai bidang yang memang mempunyai dampak mitigasi maupun adaptasi perubahan iklim sambil juga memiliki prospektif bisnis. Ini yang penting, kita memperbaiki keadaan juga menciptakan prospek bisnis,” katanya.

Hal lain yang disinggung Sarwono adalah kehadiran energi bersih sebagai keharusan dalam membentuk peradaban baru. Menurutnya, proses peralihan energi bukanlah proses yang linear dan melibatkan berbagai variabel yang interaksinya masih di luar jangkauan nalar kita dewasa ini. Secara alamiah, inilah ranah pemikiran dan karya generasi muda.

baca : Nugie, Tasya sampai Hamish Daud Ajak Generasi Muda Peduli Lingkungan Hidup

 

Generasi muda yang terlibat dalam aksi perduli iklim ‘monster sampah’ di Makassar beberapa waktu lalu. Generasi muda yang paham dan perduli akan perubahan iklim dinilai akan lebih sukses dalam karier di masa yang akan datang. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Sedangkan Pieter Jacob Pelupessy, dosen FISIP Universitas Pattimura, mengungkapkan bahwa dari aspek sosial pengendalian iklim dapat dilakukan dengan membekali generasi muda melalui pendidikan untuk menguatkan pengetahuan dan perilaku serta cara bertindak.

“Penguatan pada kelembagaan sosial, memanfaatkan potensi kearifan lokal pada sumber daya sosial, dapat memberikan solusi kelestarian lingkungan untuk keselamatan manusia. Pembentukan agen pembaharuan sosialisasi ancaman perubahan iklim merupakan energi sosial yang dapat menyumbang pada pembangunan berkelanjutan,” ucap Pieter.

Sementara Hayat Mansur, Ketua Yayasan Perspektif Baru, mengatakan perlu keterlibatan kita semua untuk mengendalikan perubahan iklim ini, dan generasi muda bisa jadi bagian dari kampanye pengendalian perubahan iklim.

“Salah satu faktor penggerak yang paling efektif dalam mengatasi dampak perubahan iklim adalah generasi muda karena dampak tersebut akan berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama sampai ketika mereka menjadi pemimpin di masa depan,” kata dia.

Menurutnya, generasi muda merupakan pemimpin masa depan yang juga berfungsi sebagai agen perubahan. Pemahaman mereka akan masalah perubahan iklim sangat krusial bagi masa depan Indonesia.

“Dengan meningkatkan kesadaran di kalangan mahasiswa mengenai upaya mitigasi perubahan iklim melalui sektor energi terbarukan dapat menciptakan perubahan besar di masyarakat. Apalagi Indonesia memiliki sumber energi terbarukan yang sangat melimpah.”

baca juga : Krisis Iklim dan Gerakan Generasi Muda Peduli Bumi

 

Aksi Jeda untuk Iklim ribuan anak-anak sampai pemuda pemudi, di Jakarta, pada September 2019 , juga berlangsung di 18 kota lain di Indonesia, menyuarakan segera penyelamatan iklim demi keberlangsungan masa depan. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Potensi Energi Baru dan Terbarukan

Krisis iklim merupakan salah satu tantangan paling besar yang dihadapi umat manusia saat ini dan juga di masa depan. Dampak krisis iklim pun semakin dirasakan saat ini.

Menurut Bidang Klimatologi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), dalam ikhtisar kondisi iklim tahun 2020 (state of climate in 2020) yang dikeluarkan oleh beberapa institusi internasional seperti NOAA, Met Office dan WMO, dinyatakan bahwa suhu global pada 2020 menempati peringkat kedua teratas sebagai tahun terpanas sejak zaman pra-industri.

Menurut Chrisnawan Anditya, Direktur Aneka EBTKE Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi energi terbarukan di Indonesia total mencapai 417,8 Gigawatt (GW) dari arus laut, panas bumi, bioenergi, bayu, surya, dan air. Namun sayangnya, saat ini kita baru memanfaatkan energi terbarukan sekitar 10,4 GW (2,5%).

“Energi Baru Terbarukan menjadi salah satu sektor yang akan dikembangkan dalam rangka transisi energi menuju energi bersih untuk mendukung penurunan emisi gas rumah kaca dan net zero emission,” katanya.

Sesuai dengan komitmen Indonesia dalam penurunan emisi serta arahan Presiden RI melalui COP 21 Tahun 2015 Menurunkan emisi GRK 29% (kemampuan sendiri) atau 41%(bantuan internasional) pada 2030 sesuai NDC, Leader Summit on Climate Tahun 2021 (Membuka investasi terhadap transisi energi melalui pengembangan biofuel, industri baterai lithium, dan kendaraan listrik), dan Pidato kenegaraan tahun 2021 (Transformasi menuju EBT, serta akselerasi ekonomi berbasis teknologi hijau, akan menjadi perubahan penting dalam perekonomian kita).

Chrisnawan menambahkan, Presiden dalam beberapa kesempatan telah memberikan arahan bahwa Transformasi energi menuju energi baru dan terbarukan harus dimulai.

Green economygreen technology, dan green product harus diperkuat agar kita bisa bersaing di pasar global dan pemerintah telah merencanakan untuk membuat green industrial park yang rencananya akan disiapkan di Kalimantan Utara dengan memanfaatkan hydropower.”

Pembangkit listrik tersebut akan menghasilkan energi hijau, baru terbarukan, yang akan disalurkan kepada kawasan industri hijau sehingga muncul produk-produk hijau dari sana.

“Saat ini sudah disusun Roadmap EBT menuju Net Zero Emission dari tahun 2021-2060, dimana pada tahun 2060 harapannya semua pembangkit berasal dari pembangkit EBT 100%. Selain roadmap NZE juga telah dibuat rencana retirement PLTU Batubara yang diganti dengan Pembangkit EBT.”

Menurutnya, pengembangan EBT akan sangat tergantung pada sinergi semua pihak, yaitu pemerintah, lembaga penelitian, universitas, dan pelaku industri dan generasi muda.

Saat ini pemerintah sedang mengembangkan beberapa pembangkit EBT, seperti PLTS Terapung Cirata, dan PLTA Batang Toru di Tapanuli Selatan yang berkapasitas 510 MW dan berkontribusi pada pengurangan emisi karbon sekitar 1,6 juta ton per tahun atau setara dengan kemampuan 12 juta pohon menyerap karbon.

baca juga : Hati-hati dengan Transisi Energi Bersih

 

Sebuah PLTU Batubara memberikan dampak menurunnya kualitas kesehatan masyarakat akibat debu mengandung logam berat dan beracun. Foto : Tommy Apriando/Mongabay Indonesia

 

Perlu Tindakan Drastis di Sektor Energi

Menurut Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform, untuk mencegah kenaikan temperatur global tidak lebih dari 1,5 derajat C dibutuhkan tindakan yang drastis, yaitu mengubah sistem energi menuju dekarbonisasi secepat mungkin.

“Indonesia sebenarnya memiliki potensi sumber daya energi terbarukan yang beragam dan dipadu dengan pemanfaatan teknologi terkini sehingga dapat melakukan transformasi sistem energi berbasis pada energi terbarukan yang layak secara teknis dan layak secara ekonomi.”

Dia mengatakan peralihan dari energi fosil yang banyak menghasilkan karbon ke energi terbarukan yang lebih bersih sangat penting untuk upaya mitigasi perubahan iklim. Perubahan iklim dipicu oleh peningkatan emisi karbon di bumi. Perserikatan Bangsa-bangsa dalam Paris Agreement pada 2015 telah menyepakati perlunya pembangunan berkelanjutan dengan salah satunya mengadopsi kebijakan transisi energi (energy transition policy).

Kebijakan tersebut meminta negara-negara secara bertahap untuk mentransformasi energinya dengan mengurangi dan meninggalkan energi fosil menuju penggunaan energi terbarukan yang nirkarbon dan lebih ramah lingkungan. Tujuannya, agar kenaikan suhu bumi tidak melewati 20C pada 2030 untuk mencegah dampak perubahan iklim.

 

Exit mobile version