- Kecintaan generasi muda pada Bumi harus ditumbuhkan. Untuk kemudian secara bersama, bergerak menyelamatkan Bumi dari ancaman krisis iklim.
- Koprol Iklim merupakan komunitas anak muda Indonesia yang peduli terhadap isu lingkungan hidup dan krisis iklim.
- Kesadaran masyarakat terkait isu krisis iklim masih minim. Masih banyak yang menganggap mitos. Isu iklim dan lingkungan hidup dianggap kurang seksi dibandingkan lainnya.
- Survei yang dilakukan Badan Pembangunan PBB akhir 2020 menunjukkan, sebanyak 70% remaja di bawah 18 tahun mengatakan krisis iklim sudah darurat dibandingkan responden usia 18-25 tahun [65%], usia 36-59 [60%], dan di atas 60 tahun [58%].
14 Februari biasa diperingati sebagai hari kasih sayang, atau Valentine day. Di berbagai penjuru dunia, banyak muda mudi yang merayakan hari tersebut bersama pasangannya, tak terkecuali di Indonesia. Tapi, bagaimana dengan cinta kita pada Bumi?
“Kita kan suah biasa menyatakan cinta ke gebetan. Bumi juga butuh pernyataan cinta dari kita. Dan itu harus nyata,” kata Koordinator Koprol Iklim [Komunitas Pemuda dan Pemudi Pro Keadilan Iklim] Gaeni Budingsih Istira dalam Bincang Alam Mongabay Indonesia, Jumat [12/2/2020], bertajuk Saatnya Merayakan Hari Kasih Sayang [untuk Bumi].
Lebih lanjut perempuan yang akrab disapa Gea itu mengatakan, penting bagi anak muda untuk menumbuhkan rasa cinta pada Bumi. Untuk kemudian secara bersama bergerak menyelamatkan Bumi dari ancaman krisis iklim.
“Kami percaya Indonesia itu dibangun oleh sebuah rasa, sebagaimana Sumpah Pemuda, Proklamasi dan sebagainya. Ketika kita menginginkan kebebasan dari kolonial, ketika kita menginginkan sebuah persatuan bahasa dan budaya, itu dimulai dengan karena kita takut bahwa identitas kita akan hilang. Kita takut negara ini mau dibawa ke mana? Makanya penting untuk membangun sebuah kesadaran, sebuah pergerakan, dan aksi yang dimulai dari rasa yang sama.”
Bermula dari keprihatinnnya melihat kerusakan lingkungan sekitar, Gea bersama rekan-rekannya tergerak membentuk komunitas Koprol Iklim. Komunitas ini diharapkan bisa menjadi jembatan anak muda Indonesia untuk menyuarakan aspirasinya terkait isu lingkungan hidup dan krisis iklim.
“Dulu, ketika saya duduk di bangku sekolah dasar kelas empat atau enam, saya baca ensiklopedia sains. Di buku itu disebutkan bahwa seratus tahun lagi manusia akan punah. Itu yang membuat saya tergerak terlibat di isu krisis iklim,” katanya.
Baca: Potret Bumi Kita Hari Ini
Gea mengatakan, pengamatannya di lingkungan sekitar terkait lingkungan hidup juga membuatnya miris. Seperti banjir yang sering terjadi di Jakarta dan prediksi bahwa Jakarta akan tenggelam.
“Banyak sekali ketakutan yang akhirnya mendasari teman-teman di Koprol Iklim bergerak.”
Gea mengatakan, kesadaran masyarakat terkait isu krisis iklim masih minim. Masih banyak yang menganggap kondisi ini mitos. Isu iklim dan lingkungan hidup dianggap kurang seksi dibandingkan lainnya. Karena itu, anak muda harus menjadi bagian dari perubahan iklim atau krisis iklim itu sendiri, untuk lebih keras menyuarakan keadaan ini.
“Saya juga baru tahu, ternyata sepuluh menit kita browsing internet bisa menyumbang satu kilogram karbon dioksida ke udara. Kita juga ikutan tren fesyen. Padahal industri textile juga menyumbang banyak emisi karbon dioksida. Harus kita sadari bersama, krisis iklim dan kerusakaan lingkungan adalah permasalahan bersama,” paparnya.
Gea mencontohkan, pandemi COVID-19 saat ini terjadi karena berawal dari persoalan lingkungan hidup. Hal ini membuat kerugian banyak orang, ada yang depresi, kehilangan pekerjaan, dan kesulitan ekonomi.
“Ini alasan mengapa keterlibatan anak muda sangat penting dan menjadi mendasari lahirnya Koprol Iklim. Anak muda harus dilibatkan dan didengarkan aspirasinya.”
Baca: Kota Ramah Pejalan Kaki Bukanlah Mimpi
Krisis iklim
Survei yang dilakukan Badan Pembangunan PBB akhir 2020 menunjukkan, sebanyak 70% remaja di bawah 18 tahun mengatakan krisis iklim sudah darurat dibandingkan responden usia 18-25 tahun [65%], usia 36-59 [60%], dan di atas 60 tahun [58%].
“Ini bukti bahwa anak muda sebenarnya sudah sadar akan bahayanya krisis iklim.”
Di sisi lain, menurut Gea, banyak anak muda yang sudah melahirkan berbagai inovasi untuk menyelamatkan Indonesia dari krisis iklim. Misalnya, sebuah komunitas gerakan anak muda yang memasang panel surya di beberapa desa. Atau juga yang membuat bahan bakar untuk nelayan di Makassar dan sebagainya.
“Anak muda itu punya daya dan solusi untuk ikut menyelesaikan permasalahan krisis iklim. Dan selama bertahun-tahun itu, kita sudah punya ragam data baik itu scientific maupun data lapangan.
Baca juga: Ekosofi, Era Baru Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Indonesia
Hal lain yang perlu dilakukan untuk membangkitkan rasa cinta pada Bumi, khususnya di Indonesia, menurut Gea adalah melakukan re-imagine Indonesia. Memulai sesuatunya dari perubahan mindset.
“Kita kira-kira mau bergerak ke arah mana? Menurut kami di Koprol Iklim, pemberdayaan untuk masyarakat lokal di pedesaan seperti sektor pertanian, nelayan, dan juga ekonomi kreatif sangat penting. Tujuannya, mendorong Indonesia keluar dari krisis iklim. Misalnya jika Pemerintah Indonesia akhirnya menutup PLTU batubara. Di situ kan ada warga lokal dan buruh yang terdampak. Nah untuk bisa mencegah kelumpuhan ekonomi, berarti kita juga kan harus mempersiapkan masyarakat yang kuat.”
Di Indonesia banyak sarjana yang seharusnya bisa diberdayakan. Misalnya, untuk menata sistem pertanian dan nelayan di pedesaan. Atau membuat sebuah ragam inovasi untuk membantu kampungnya.
Secara historis, Indonesia merupakan negara agraris dan maritim. Harusnya Indonesia kuat di bidang itu. Di tengah arus moderenisasi, seharusnya Indonesia bisa kembali kepada kearifan lokal, sebagai kunci menangani krisis iklim.
“Kearifan lokal ini yang sekarang masih lekat itu di masyarakat adat yang tinggal di hutan-hutan serta di pesisir. Kita punya sistem pengetahuan environment yang kuat, sesuai dengan geografis Indonesia. Bangunan seperti rumah gadang atau rumah adat di Toraja yang menggunakan kayu, bisa menjadi solusi untuk membuat bangunan tahan bencana dan bagus untuk mitigasi itu sendiri.”
Hal lain yang perlu dilakukan untuk menumbuhkan rasa cinta pada Bumi adalah memasukkan pendidikan krisis iklim dalam kurikulum sekolah. Selama ini, menurut Gea, baru dalam kegiatan ekstra kulikuler di beberapa sekolah.
“Dengan begitu, rasa cinta generasi muda terhadap lingkungan dan Bumi ini akan tumbuh sejak dini dan lahir inovasi untuk mengatasi krisis iklim. Metode ini membuat kita lebih mudah menyusun sebuah gerakan yang lebih sistematis di masa mendatang, untuk mendorong Indonesia dan juga dunia keluar dari krisis iklim,” paparnya.