Mongabay.co.id

Kebun Raya Bogor dan Wisata Berbasis Ilmiah yang Harus Dipertahankan

 

 

Pembangunan infrastruktur dan rencana pemasangan lampu sorot atau Glow untuk atraksi wisata malam di Kebun Raya Bogor menuai penolakan dari berbagai kalangan, salah satunya dari akademisi Institut Pertanian Bogor [IPB].

Pada webinar “Apa Kata Mereka Tentang Kebun Raya Bogor” yang diadakan IPB dan Forum Silaturahmi Keluarga Alumni [Skala] Arsitektur Lanskap IPB, Rabu [29 Sepetember 2021], Melani Abdulkadir mengatakan, pembangunan tersebut akan menjadi tekanan tambahan bagi Kebun Raya Bogor.

“Perubahan-perubahan ini tentu menjadi tekanan dari dalam, saya khawatir ekosistem ini runtuh seperti jerami yang diletakkan di keledai yang keberatan dengan segala bebannya,” tutur Dosen Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia IPB tersebut.

Kebun Raya Bogor merupakan Kebun Raya tertua se-Asia Tenggara. Kini usianya genap 204 tahun. Luas kebun botani ini sekitar 87 hektar dan terletak di tengah Kota Bogor, Jawa Barat. Dalam kebun ini koleksi lebih dari 15.000 spesies pohon dengan 300 varietas tumbuhan anggrek, dan 5.359 spesies tumbuh-tumbuhan. 

“Kebun Raya Bogor merupakan ekosistem yang sudah terbentuk lebih dari dua ratus tahun, yang dalam prosesnya telah mengelola diri dari tekanan, luar dan dalam,” lanjutnya.

Pembangunan dan pembenahan infrastruktur tengah dilakukan di kebun raya tersebut. Pengembangan ini atas inisiasi pengelola, yaitu Badan Riset dan Inovasi Nasional [BRIN] bekerja sama dengan PT. Mitra Natura Raya. Puncak pembenahan itu untuk operasional wisata malam dengan permainan lampu atau Glow.

Glow adalah wisata malam, pengunjung dihibur permainan lampu yang menerangi pohon-pohon, serta animasi video dengan pohon-pohon sebagai layar. Untuk mewujudkan wisata ini, berbagai intervensi dilakukan yaitu konstruksi kincir air hiasan di kolam, tempat-tempat swafoto, dua gerbang berlogo sponsor, rumah pueblo warna-warni dan water fountain, tebaran bangku, tugu penanda lokasi, lampu taman, lampu apung, lampu sorot, jembatan semen dan sejumlah lampu neon warna-warni.

“Perubahan-perubahan itu tentunya menjadi tekanan dari dalam, saya khawatir ekosistemnya runtuh seperti jerami yang diletakkan di keledai yang keberatan dengan segala bebannya,” ujar Melani.

Dia menegaskan pola hubungan ‘sistem manusia’ terhadap ‘sistem ekologi’ kini semakin eksploitatif. Menurutnya, memang benar kebun raya itu bukan hutan alami, hasil intervensi manusia. Namun, tugas dan fungsi kebun raya untuk tujuan tertentu tidak boleh ditinggalkan, misalnya konservasi, koleksi tumbuhan, penelitian, pendidikan, wisata ilmiah, dan jasa lingkungan.

“Otentitas Kebun Raya Bogor harus dijaga. Kebun botani ini jangan dilihat sebagai taman rekreasi saja, tetapi memiliki nilai historis dan fungsi strategis yang penting bagi lingkungan dan manusia.”

Baca: Benarkah Kebun Raya Bogor Kebun Raya Tertua di Dunia?

 

Tempat favorit di Kebun Raya Bogor yang digunakan pengunjung untuk berfoto. Foto: Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Kegiatan komersial

Mengenai kegiatan komersial di Kebun Raya, menurut Kepala BRIN Laksana Tri Handoko, sudah ada sejak dulu. Hal itu terbukti dengan adanya cafe, guest house, hotel, bahkan fotografi komersil. 

“Saat ini seluruh kegiatan komersial dikelola oleh mitra dengan relasi bisnis yang jelas sehingga pendapatan negara lebih optimal. Pengelolaannya transparan dan akuntabel,” terangnya, dikutip dari BRIN, 28 September 2021.

Handoko menjelaskan, saat ini ada tiga pihak pengelola di dalam kebun raya. Pertama, Pusat Riset Konservasi Tumbuhan Kebun Raya untuk unit riset dan periset. Kedua, Deputi Infrastruktur melalui Direktorat Laboratorium dan Kawasan Sains dan Teknologi BRIN untuk pengelolaan laboratorium riset. Ketiga, Deputi Infrastruktur melalui Direktorat Koleksi untuk pemeliharaan koleksi. 

“Pembagian pengelola ini sebagai upaya untuk menempatkan semua pihak sesuai porsi dan fungsinya, dan terpenting memastikan para periset dan unit riset dapat fokus melakukan riset tanpa dibebani pengelolaan infrastruktur secara keseluruhan.”

Handoko menambahkan, kebun raya memiliki lima fungsi utama, yaitu konservasi, penelitian, edukasi, wisata, dan jasa lingkungan. “Kelima fungsi tersebut membutuhkan inovasi agar kebermanfaatannya optimal dirasakan publik,” tambahnya.

Terkait pembangunan, Yan Rianto, Pelaksana Tugas Deputi Bidang Infrastruktur Riset dan Inovasi BRIN menerangkan, tidak ada bangunan tambahan, kecuali rumah anggrek yang sudah direncanakan oleh para periset sejak beberapa tahun sebelumnya, Ini dibangun Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. 

Sedangkan Jalan Batu Gico memang ada perbaikan, dilakukan karena jalan tersebut rusak dan berlubang. “Jalur tersebut diperbaiki dan tetap ditampilkan batunya, agar memenuhi standar keselamatan pengunjung.” 

Yan menjelaskan, fungsi edukasi dan wisata di Kebun Raya Bogor akan menampilkan inovasi guna menggandeng publik seluas-luasnya untuk datang berkunjung. 

“Program inovatif Glow ini, terinspirasi dari berbagai kebun raya di luar negeri yang mengadakan wisata malam. Beberapa negara sudah lebih dulu memiliki program ini. Glow tidak diselenggarakan setiap hari, saat ini hanya Sabtu dan Minggu, dan ke depan maksimal hanya 4 kali dalam seminggu,” paparnya. 

Baca: Kebun Raya dan Pentingnya Pelestarian Keanekaragaman Hayati

 

Sebuah kubah peninggalan sejarah di dalam Kebun Raya Bogor. Foto: Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Pembangunan sesuai prinsip konservasi

Bima Arya, Wali Kota Bogor, dikutip dari Kota Bogor, menjelaskan pihaknya sudah bersepakat dengan pengelola Kebun Raya Bogor, yaitu BRIN dan PT. Mitra Natura Raya akan pengembangan kawasan tersebut yang berpedoman pada asas konservasi, selain tentunya untuk wisata. 

“Jadi saya minta agar konsep Glow dikaji dengan melibatkan para pakar. Ada dari IPB, ada dari BRIN juga, untuk bisa memberikan jawaban terkait dengan kekhawatiran publik, karena semuanya harus punya data,” terangnya, Selasa [28/9/2021].

Dia juga memerintahkan Dinas Lingkungan Hidup Kota Bogor untuk berkoordinasi dengan BRIN dan IPB. “Apapun jawabannya nanti tentu kami akan komunikasikan lagi dengan Mitra Natura Raya.” 

Dalam keterangan tertulis yang sama, Ery Erlangga, Komisaris Utama PT. Mitra Natura Raya menegaskan, pihaknya tetap mengedepankan konservasi dan juga memelihara situs-situs yang ada di Kebun Raya Bogor, sebagai potensi untuk jadi World Heritage.

Baca: Di Balik “Pelepasan” Burung Itu…

 

Jembatan yang berada di Kebun Raya Bogor. Foto: Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Protes Mantan Kepala Kebun Raya

Rencana adanya atraksi malam di menggunakan lampu hias di Kebun Raya Bogor dikritik sejumlah Mantan Kepala Kebun Raya Indonesia, yaitu Made Sri Prana [1981-1983, Usep Soetisna, Suhirman [1990-1887], Dedy Darnaedi [1997-2003] dan Irawati [2003-2008].

Dalam surat terbuka yang beredar di media sosial, mereka minta pengelola agar menjaga Kebun Raya Bogor dengan berpegang teguh pada lima tugas dan fungsi kebun raya, yaitu konservasi tumbuhan, penelitian, pendidikan, wisata ilmiah, dan jasa lingkungan.

“Ketiga fungsi pertama merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan menjadi acuan bersama seluruh kebun raya di dunia, karena itu berbagai kegiatan dan program yang dikembangkan di kebun raya Indonesia selalu berpegang pada kelima tugas dan fungsi kebun raya tersebut, yang sekaligus sebagai marwah kebun raya,” tulis Mantan Kepala Kebun Raya dalam suratnya, dikutip dari Suara Bogor.

Mereka meminta pengelola Kebun Raya Bogor untuk mengedepankan pendekatan ilmiah dan memperhatikan masalah konservasi dan lingkungan, apalagi kebun botani ini telah berumur lebih dari dua abad. 

“Saat melakukan kegiatan usaha penggalangan dana sekalipun, kebun raya tidak silau pada keuntungan sesaat dan selalu memilih green business yang sifatnya enviriomentally friendly.”

Begitu juga ketika awal berdirinya kebun raya, Pemerintah Kolonial Belanda memanfaatkan kebun raya sebagai kawasan aklimatisasi tumbuhan ekonomi penting untuk tujuan bisnis cultuurstelsel atau sistem tanam paksa. 

Aklimatisasi adalah upaya penyesesuaian dari dengan iklim, lingkungan, kondisi atau suasana baru. Saat itu memang sedang gencarnya dimasukkan berbagai jenis tumbuhan asing yang bernilai ekonomi seperti kopi, teh, kina, sawit, dan lainnya. 

Setelah kemerdekaan dan dikelola Pemerintah Indonesia, kebun raya lebih mengedepankan pendidikan, penelitian dan kegiatan eksplorasi serta konservasi, menyelamatkan tumbuhan, dengan tidak memperhitungkan nilai bisnis.

“Bisnis kebun raya yang dilakukan terbatas hanya dengan menjual tiket masuk dengan harga sangat murah dibanding tempat lainnya, karena memang kebun raya bukan taman rekreasi. Kebun raya adalah lembaga ilmiah yang berperan menahan laju kepunahan jenis tumbuhan, kepunahan jenis tumbuhan.” 

Hal itu sudah diamanatkan dalam Peraturan Presiden No. 93 Tahun 2011 tentang Kebun Raya. Penjualan tiket murah dimaksudkan agar terjangkau oleh masyarakat luas. Dengan demikian diharapkan berbagai pesan konservasi, pendidikan dan lingkungan dapat lebih luas mencapai lapisan masyarakat.

Para Mantan Kepala Kebun Raya juga menilai, rencana Glow di waktu malam berpotensi merubah keheningan malam kebun raya. “Nyala dan kilau lampu dikhawatirkan akan mengganggu kehidupan hewan dan serangga penyerbuk.” 

Selain itu, mereka juga memprotes jalan setapak yang tersusun oleh batu kali khas Kebun Raya Bogor yang kini banyak dicor dengan semen. Menurutnya hal itu bukan hanya mengurangi keindahan jalan batu gico, tapi juga mengurangi resapan air. 

“Air yang tidak meresap, mengalir di selokan dan langsung menuju sungai, akibatnya volume sungai akan meningkat.” 

Dengan demikian tentu akan berkontribusi pada luapan sungai penyebab banjir di Jakarta. “Memelihara ekohidrologi di Kebun Raya Bogor sangatlah penting, dan sudah lama dilakukan dengan mengurangi jumlah bangunan, menggantinya dengan koleksi tumbuhan.” 

Terkait pembangunan, sesuai Peraturan LIPI No. 4 tahun 2019 tentang Pembangunan Kebun Raya, batas luas maksimal pembangunan fisik [pengerasan lahan] di Kebun Raya Bogor adalah 20 persen dari luas total kebun raya. 

“Pengecoran jalan batu gico dan pemadatan di berbagai tempat, diperkirakan akan melebihi batas maksimal 20 persen.”

Baca: Titan Arum, Bunga Bangkai yang Bikin Penasaran

 

Buah bisbul atau buah mentega yang dapat dikonsumsi langsung atau sebagai campuran minuman dan rujak. Tumbuhan ini berasal dari Filipina lalu menyebar hingga ke Indonesia. Foto: Kebun Raya Bogor/BRIN

 

Petisi penolakan wisata malam Glow

Penolakan juga disuarakan Komunitas Peduli Kebun Raya Bogor di Change.org. Petisi ini telah ditandatangani 8.619 orang terhitung 4 Oktober 2021, Pukul 12.30 WIB.

Satyawan Sunito, pegiat Komunitas Peduli Kebun Raya Bogor menuliskan,  cahaya malam artifisial berpotensi mengganggu ekosistem kebun botani tersebut. Sebut saja proses penyerbukan, aktivitas satwa malam, dan serangga. 

“Wisata Glow merenggut malam yang menjadi hak ekosistem dalam kebun raya, tumbuhan dan hewan yang sebagian istirahat dan menghimpun energi, berburu, berinteraksi dan berkembang biak.”

Mereka juga menilai aktraksi malam cahaya lampu akan mengganggu penilaian Kebun Raya Bogor sebagai calon World Heritage Site UNESCO. Perubahan pada integritas dan autentisitas akan mengganggu kelestarian dan proses penetapan.

“Sejak 2013, Kebun Raya Bogor dan Masyarakat Bogor [didukung berbagai komunitas] telah menginisiasi penetapan Kebun Raya Bogor sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO,” tulisnya. 

Baca juga: Ekosofi, Era Baru Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Indonesia

 

Sejumlah spesimen satwa yang dapat kita lihat di Museum Zoologicum Bogoriense-BRIN, di Kebun Raya Bogor. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Etika pada Bumi

Siti Nurisyah, Penerima Lifetime Achievement Award Fakultas Pertanian IPB 2021, masih dalam webinar “Apa Kata Mereka Tentang Kebun Raya Bogor” mengatakan, perlunya pemetaan area di Kebun Raya Bogor yang melihatkan sensitivitas dari kawasan itu. Dari pemetaan itu akan terlihat, kawasan mana yang boleh didatangi dan mana yang tidak. 

Pemetaan ini ditentukan oleh para pakar dengan mempertimbangkan aspek ekosistem tumbuhan, fisik, lanskap, sosial budaya, peraturan, dan lainnya.

“Nanti hasilnya, ada pemetaan area sangat peka yang tak boleh ada aktivitas. Area cukup peka yang aktivitas sedikit, bersyarat, serta area tidak peka yang boleh aktivitas ramah lingkungan.”

 

Kebun Raya Bogor yang harus menjalankan 5 fungsi utamanya sebagai kebun raya. Foto: Kebun Raya Bogor/BRIN

 

Dalam webinar yang sama, Hadi S. Alikodra, Guru Besar Ilmu Pelestarian Alam dan Pembinaan Margasatwa, Fakultas Kehutanan IPB, mengatakan butuhnya upaya duduk bersama dari tiga aktor, yaitu akademisi, pebisnis, dan pemerintah untuk membangun ekonomi berbasis pengetahuan.

Hal ini bertujuan untuk menghasilkan keputusan yang bisa menjaga keberlanjutan Kebun Raya Bogor, serta menghindari upaya komersialisasi yang merusak kebun tersebut.

Dia menjelaskan butuh pergerakan lingkungan yang dilandasi dengan pendekatan ekosofi [deep ecology]

Ekosofi merupakan suatu pendekatan yang memadukan dimensi intelektual, spiritual, dan emosional. Dimensi intelektual menekankan pada kita, sebagai umat manusia untuk terus mempelajari, meneliti, memahami, dan menghargai alam atau lingkungannya.

Dimensi spiritual diartikan bahwa sumber daya alam yang diciptakan Tuhan harus dimuliakan sebagai bentuk penghargaan kita terhadap Sang Pencipta. Sementara sisi emosional membentuk manusia untuk beretika dan bermoral, guna terjaminnya kualitas hidup manusia dari generasi ke generasi.

“Menjaga kelestarian alam itu harus dengan hati. Ingat, keanekaragaman hayati merupakan tumpuan hidup umat manusia sekarang dan akan datang yang harus kita jaga kelestariannya.”

Untuk itu, manusia harus memiliki etika terhadap lingkungan. “Cara-cara lama yang tidak bersahabat, yang mengakibatkan rusaknya alam, harus kita tinggalkan,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version