Mongabay.co.id

Warga Jakarta Dicap ‘Wilayah Abu-abu’ Sulit Akses Air Bersih

Jejeran jeringen berisi air bersih yang dibeli warga Jakarta Utara. Sebagian warga Jakarta, belum terlayani air bersih hingga harus membeli dengan harga mahal. Foto: Andreas Harsono/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

“Kalau demo air ngalir, nanti kalau gak demo air mati lagi. Seperti itu sampai sekarang,” kata Siti Komariah, warga Kampung Kembang Lestari, Pejaringan, Muara Baru, Jakarta, dalam diskusi daring belum lama ini.

Sejak 2003, Siti punya masalah dengan air. Bukan hanya dia, juga penduduk lain di sekitarnya. Dia tak bisa mendapatkan akses air langsung atas nama pribadi ke rumah. Daerah mereka dicap ‘wilayah abu-abu.’ Wilayah abu’abu’ ini antara lain mengacu pada legalitas lahan tinggal.

Ibu Kokom, panggilan akrabnya, tidak terima. Dia punya kartu tanda penduduk (KTP) dan ikut pemilu Jakarta. Dia mempertanyakan status ‘wilayah abu-abu’ itu, mengapa bisa menentukan hak pilih.

Tahun 2015, jaringan pipa air masuk. Sejenak dia senang karena akan mendapatkan air bersih.

Eh, lama-lama bukan jaringan masuk tapi jaringan untuk master meter.”

Kokom tidak patah semangat, dia pergi ke Palija untuk mendapatkan akses air. Dia minta petunjuk, syarat dan ketentuan untuk mendapatkan akses air, antara lain, harus ada calon pelanggan 60 keluarga, ada tempat penampungan air, ada surat keterangan RT/RW, ada stuktur pengurus. PAM Jaya dan Palija sudah mengecek langsung ke lokasi.

Sayangnya, Palija hanya menanggung empat meter pipa, selebihnya harus ditaggung sendiri. Panjang pipa 180 meter. Kokom keberatan. Dia tak mampu membayar Rp50.000 per meter sepanjang itu.

Masalah lain juga didapat Kokom, dia harus punya sertifikat tanah, PBB/akta jual beli. Dia tidak punya, tanah dianggap ilegal.

“Sekarang, mau tak mau, dengan terpaksa karena saya butuh air, saya gabung ke master meter yang awal. Bayar pendaftaran Rp1, 5 juta.”

Mendaftar ke master meter adalah jalan terakhir Kokom untuk mendapatkan air, tagihan sangat mahal untuk ukuran dengan perekonomian menengah ke bawah.

Tagihan air Kokom sekitar Rp350.000-Rp450.000 per bulan. Dia kena denda Rp7.000 per hari kalau telat bayar.

Harapan saya jangan ada dibeda-bedain, air kan hak kita semua,” katanya.

Titin, juga alami serupa. Dia juga tinggal di wilayah ‘abu-abu’ itu, namun tarif air lebih besar Rp15.000 per meter kubik.

Dia mempertanyakan tarif mahal ini. Setahu dia, warga kelas menengah ke bawah hanya ditarif Rp3.500 per meter kubik. Dia harus bayar berkali lipat melalui master meter.

“Katanya kalau orang miskin itu, kita yang tergolong warga yang tidak mampu atau kalangan menengah ke bawah itu sebetulnya mendapatkan air itu Rp3.500, kenyataan kami membayar air Rp15.000.”

Mereka berdua ingin dapat hak atas air bersih dan layak.

 

Baca juga: Menanti Kerja Tim Evaluasi Tata Kelola Air Jakarta

Perkampungan padat penduduk di Jakarta, yang kesulitan air bersih. Foto: Indra Nugraha/Mongabay Indonesia

 

Gugatan warga

Pada 16 Agustus lalu, warga Jakarta, melalui M. Irfan Al-Ghifari, kuasa hukum ajukan gugatan uji meteril terhadap Peraturan Gubernur Jakarta Nomor 16/2020 tentang Tata Cara Penyambungan dan Pemakaian Air Minum. Aturan ini dinilai diskriminatif. Warga ingin peraturan gubernur itu dicabut atau dibatalkan.

Peraturan itu, kata Irfan, diskriminatif karena mensyaratkan kepemilkan tanah bagi warga untuk mendapatan akses air langsung. Jadi, warga harus menggunakan jasa master meter dengan tarif berbeda jauh.

“Itu syarat diskriminatif karena mencampuradukkan antara hak berkaitan properti dengan hak milik, kemudian mencampuradukkan urusan hak atas air. Ini sangat berbeda,” katanya.

Problem peraturan gubernur itu terlihat dalam Pasal 2 dan 3. Pasal 2 menyebutkan, “layanan penyambungan dan pemakaian air minum bagi masyarakat di Jakarta oleh PAM Jaya.” Dalam Pasal 3, penyambungan dan pemakaian air minum ada dua, secara umum dan khusus.

Baca juga: Privatisasi Air Jakarta, Swasta Untung , Warga Ketiban Pulung

Penyambungan air secara umum mensyaratkan bukti kepemilikan atas tanah, sedangkan secara khusus ada syarat tertentu untuk mendapatkan pelayanan penyambungan dan pemakaian air minum yang bersifat sementara.

“Artinya, kalau sementara, ada jangka waktu. Anda bisa dapat hak atas air hari ini, besok bisa jadi gak dapat. Kata sementara ini yang kita sebut diskriminatif.”

Hak atas air, katanya, harus bersifat inklusif. Manusia sejak lahir sudah punya hak mendapatkan air. Peraturan itu, katanya, mempertajam ketimpangan pemenuhan hak air di masyarakat.

“Kami sedang menunggu hasilnya (uji materil). Semoga Mahkamah Agung melihat ini sebagai proses menegakkan hak warga, menegakkan hak rakyat untuk mendapat keadilan air,” kata Irfan.

Teguh P Nugroho, Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya, mengatakan, Ombudsman Jakarta Raya terima 70 laporan masyakat terkait masalah air, sebagian besar soal distribusi air, tagihan, kelayakan, dan perpipaan air.

“Terkait laporan mengenai masyarakat yang belum mendapatkan fasilitas sambungan air ini belum terlalu banyak masuk.”

Ombudsman Jakarta Raya memantau dampak swastanisasi air di Jakarta. Nugroho bilang, master meter awalnya untuk apartemen dan rumah susun.

Master meter ini kemudian dijual lagi oleh pengelola apartemen yang mayoritas developer awalnya.”

Tak pelak, tagihan listrik lebih mahal karena membebankan biaya pengelolaan, administrasi, listrik dan semacamnya.

Dampak lain, katanya, penurunan kontur tanah karena air tanah tersedot terus menerus. Penyedotan ilegal juga terjadi, baik dari kalangan warga, industri, apartemen, maupun perhotelan.

Selain itu, swastanisasi air ini juga berdampak pada pemadam kebakaran. Dia bilang, jangan heran kalau pemadam kebakaran telat bertindak, karena masih sibuk mencari sumber air. Mobil kebakaran yang semula didesain mobil hidran, katanya, kini jadi mobil tanki untuk mendapatkan air. Jumlah hidran 1. 349 di Jakarta.

“Setiap tahun butuh 547. 000 juta meter kubik, baru bisa difasilitasi 65%. Tapi perlu diklarifikasi lagi,” katanya.

 

*****

Foto utama: Jejeran jeringen berisi air bersih yang dibeli warga Jakarta Utara. Sebagian warga Jakarta, belum terlayani air bersih hingga harus membeli dengan harga mahal. Foto: Andreas Harsono/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version