Mongabay.co.id

Cerita Pemilik Ulayat Setelah Bupati Sorong Cabut Izin Perusahaan Sawit

 

 

 

Setelah Pemerintah Kabupaten Sorong, mencabut izin empat perusahaan sawit, tiga perusahaan menggugat balik. Tak hanya itu, usai pencabutan izin, perusahaan mulai mendekati lagi pemilik ulayat agar melepas lahan.

Adalah PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) dan PT Papua Lestari Abadi (PLA), dua dari tiga perusahaan yang menggugat Bupati Sorong. Perusahaan anggota Masindo Grup ini kala itu mendapat izin di Distrik Segun, di pesisir selatan Sorong.

Kalau Pulau Papua diibaratkan burung, Distrik Segun berada tepat di bagian leher. Seluruh wilayah berupa bentangan hutan alami.

Pada 2009, Marga Kayaru, dan Sede, setuju menyerahkan hak ulayat kepada SAS dengan luas mencapai 13.000 hektar. Ini hanya sebagian dari luasan izin SAS mencapai 40.000 hektar dan menyebar di dua distrik, Segun dan Klamono.

Daniel Kayaru, Kepala Kampung Klajaring Distrik Segun mengatakan, setelah perjanjian pelepasan pada 2009, perusahaan baru kembali mendekati pemilik ulayat pada April 2021.

Perusahaan bertemu perwakilan marga di satu restoran di Sorong. Mereka menyampaikan keinginan lanjut membuka kebun sawit. Karena orang-orang ini terbilang wajah baru, perwakilan marga khawatir mereka bukan dari SAS. Perwakilan marga menolak pembicaraan lebih lanjut dan meminta agar perwakilan SAS yang dulu membuat perjanjian dengan mereka itu hadir lagi.

“Kita bilang kalau mau masuk, panggil orang yang pertama, Pak Frengky dan Pak Paulus. Pak Frengky itu orang humas dari SAS yang berhubungan dengan kita. Pak Paulus, bos besar,” katanya saat ditemui di Kampung Gisim, 20 September 2021.

Orang-orang yang sama, kata Daniel, kemudian menemui warga di Kampung Waimon.

Meski izin sudah dicabut Bupati Sorong, PLA yang pernah mendapat izin seluas 15.000 hektar di Kampung Waimon pun langsung membuat perjanjian pelepasan dengan marga Kasilit dan Malalu. Ada sekitar 10 poin permintaan masyarakat yang disetujui perusahaan. Perusahaan juga memberikan sejumlah uang kepada perwakilan dua marga itu.

 

Baca juga: Dukung Bupati Sorong, Koalisi: Kembalikan Hak-hak Masyarakat Adat

Mama-mama Kampung Segun, Distrik Segun. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Pada pertemuan dengan warga di Kantor Kampung Waimon 20 September lalu Demianus Yapen, pendamping Kampung Waimon mengatakan, perusahaan berjanji membuka jalan, menyediakan fasilitas penerangan, membangun rumah untuk dua marga di Kota Sorong, membiayai kuliah anak-anak. Juga pembukaan rekening tiap keluarga untuk pembukaan lahan plasma. Uang tunai sudah diterima kedua marga.

“Rp150 juta juta (per marga), baru dikasi hari itu Rp50 juta. Pada saat kita duduk dong tanda tangan Rp50 juta, lewat satu bulan tambah lagi Rp30 juta, tambah lagi, tambah lagi, mungkin sudah mau Rp100 juta ka apa. Itu baru Marga Kasilit. Marga Malalu mungkin Rp80 juta.”

Yunus Kasilit, perwakilan marga Kasilit sekaligus Sekretaris Kampung Waimon mengatakan, mereka sudah berulang-ulang menolak kehadiran perusahaan sawit. Walau akhirnya memilih menerima sawit pada 2021, karena kondisi kampung. Usulan warga soal jaringan, jalan dan listrik ke pemerintah sudah lama tetapi belum ada realisasi. Warga kesulitan menjual hasil bumi ke luar kampung.

“Saya bukan bela sawit. Intinya saya kasi masuk sawit supaya jalan bisa tembus ka atau bisa bikin penerangan di sini ka atau sa pu hasil saya bisa jual di Sorong ka. Itu saja.”

Hendrikus Malalu, perwakilan marga Malalu mengatakan, memberi izin karena perusahaan sawit berjanji siap memenuhi permintaan masyarakat dan membayar semua tanaman di lahan mereka, sesuai aturan Pemerintah Papua Barat.

“Kami tidak datang untuk mengemis kepada perusahaan, tidak. Perusahaan sendiri yang datang untuk menemui kita. Dengan poin-poin yang tadi kita masukkan ke perusahaan, di situ perusahaan mempertimbangkan itu dan dia jawab itu.”

 

Tidak semua setuju

Tak semua setuju perusahaan sawit masuk. Pada pertemuan sama di Kantor Kampung Waimon, Samjar Malalu tegas menolak memberi lahan untuk PLA. Dari peta perusahaan yang pernah dia lihat, area yang masuk konsesi perysahaan bukan hanya milik marga Malalu dan Kasilit.

Samjar mempertanyakan dari mana peta itu dan dengan siapa perusahaan survei hingga tanah semua marga di Kampung Waimon, masuk.

“Yang saya lihat sama-sama di dalam kantor yang kita duduk itu, dia sekitar 80 kilometer. Beberapa marga semua disatukan dalam 14.000 hektar itu. Itu Kasilit ada, Aresi ada, marga Igip ada, Fadan ada.”

Baca juga: Izin Dicabut, Perusahaan Sawit Gugat Hukum, Pemerintah Sorong Banjir Dukungan

Pemukiman warga di Kampung Segun, Distrik Segun. Sorong, yang tegas menolak kehadiran perusahaan sawit. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Dengan begitu, meski hanya dua marga menandatangani, tanah marga lain kemungkinan akan ikut terambil perusahaan. Kondisi ini, katanya, berpotensi menciptakan konflik antar marga di Kampung Waimon.

Samjar menilai, perusahaan juga melakukan penipuan. Izin sudah dicabut pemerintah, malah membuat perjanjian dengan masyarakat agar menyerahkan lahan ulayat.

Selwanus Aresi juga menolak izin PLA di Kampung Waimon. Belajar dari pengalaman pemilik ulayat di Klasof yang sudah memberikan lahan kepada perusahaan sawit, dia tidak yakin perusahaan memenuhi hal-hal yang dijanjikan.

“Jangan contoh di tempat lain. Kilometer 10 saja, dorang menderita itu. Dong bilang buka rekening, rekening itu hanya uang Rp3 juta. Pakai plasma. Uang Rp3 juta tidak ada arti itu. Tanah sudah tandus. Itu yang saya pikir saya harus menolak, izin harus dicabut.”

Ishak Mili, Ketua Dewan Adat wilayah Distrik Seget, Klafoto, Mosigin dan Segun, mengatakan, menyerahkan hak ulayat untuk perusahaan sawit merupakan keputusan perorangan tanpa kesepakatan marga. Hal ini dia sampaikan saat ditemui di Kampung Waimon 19 September lalu.

Dia bilang, sudah berkoordinasi dengan kampung-kampung yang didekati perusahaan sawit di Distrik Segun. Menurut dia, persetujuan beberapa marga tanpa berkoordinasi dengan anggota marga.

“Kami sudah nyatakan penolakan. Karena, ada yang mau mementingkan kepentingan diri, dia ambil di sini, tau-tau tidak koordinasi dengan marga. Terdiri dari kepala-kepala kampung dorang ini. Terus terang kalau koordinasi dengan marga, masyarakat tidak mau.”

Sebagai bentuk penolakan terhadap perusahaan sawit, beberapa marga sudah pernah melakukan pemalangan dan sumpah adat, di Waimon dan Gisim.

 

Berawal di Segun

Masuknya perusahaan-perusahaan sawit di Distrik Segun, tidak lepas dari kebijakan pemerintah Sorong saat itu.

Warga yang kami temui di Kampung Gisim dan Segun, Distrik Segun bercerita, perusahaan sawit mendekati warga di Segun awal 2000-an. Saat itu, orang-orang ramai datang memburu lahan untuk buka kebun sawit. Orang-orang yang sama sedang mengolah kayu-kayu di wilayah Segun saat itu.

Nama yang kerap disebut-sebut di dua kampung ini adalah Robert Kardinal, politisi Golkar. Sekarang anggota DPR RI Dapil Papua Barat, dan adiknya, pengusaha di Sorong.

“Mereka datang sendiri. Istilahnya mereka rayu kita. Mereka bilang, kamu mau ka tidak lahan kamu kasi kita untuk buka kebun sawit? Dengan kebun ini, kamu bisa sejahtera.” Cukup Daniel Kayaur di Kampung Gisim.

Untuk lebih meyakinkan masyarakat, sejumlah tokoh adat mereka ajak studi banding ke Kalimantan. Studi banding sekitar 2007 itu bertujuan melihat lansung kehidupan masyarakat hidup dari kebun sawit.

Sepulang studi banding, ada warga yang setuju menyerahkan lahan unutk kebun sawit, ada juga yang tidak.

Saat ditemui di Kampung Segun 19 September, Kepala Kampung Segun, Permenas Hay mengatakan, studi banding itu justru membuat tokoh adat di Kampung Segun tidak pernah menyerahkan lahan untuk kebun sawit.

“Bapa Saul dia cerita, orang-orang di Kalimantan bicara begini, bapa, pulang ke Papua, jangan terima sawit. Sebab kami orang Kalimantan yang punya tempat besar ini, kami tidak punya apa-apa. Nanti, kamu pulang ke sana buka sawit, nanti seperti kami…”

Hingga kini, seluruh marga di Kampung Segun kokoh menolak perusahaan sawit. Mereka mendukung keputusan bupati mencabut izin-izin perusahaan sawit dari wilayah Distrik Segun. Penolakan mereka atas sawit bukan semata mendukung bupati, tetapi karena mereka ingin terus menjaga hutan untuk generasi berikutnya.

“Kami tidak mau terima sawit sampai seterusnya. Kami tidak mau hutan ini bolong lagi. Ke depan ini anak-anak kami, cucu kami, makan di mana? Kami tidak mau seperti itu,” kata Felix Malagilit.

Felix mengingatkan, marga-marga di Kampung Waimon jangan sampai lahan yang mereka lepaskan itu juga milik marga-marga di Kampung Segun. Menurut dia, area perusahaan juga sampai ke batas marga Kampung Segun.

Samuel Ketumlas, Sekretaris Kampung Segun, sekaligus perwakilan Marga Ketumlas menolak sawit masuk di wilayah adatnya.

“Saya ambil sikap ini tidak ada paksa dari siapa-siapa, tapi ini dari marga besar Ketumlas menyatakan sawit akan ditolak. Kami rasa sayang hutan kami yang selama orang tua mereka hidup dengan kulit kayu, noken, dan lain sebagainya untuk menjamin hidup kami ke depan.”

 

Baca juga: Belasan Izin Kebun Sawit di Papua Barat Dicabut

Hutan mangrove di Kali Segun, Distrik Segun, Sorong. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Beda dengan marga-marga di Kampun Segun, Marga Kayaru dan Sede di Kampung Gisim, justru setuju menyerahkan lahan. Bahkan perusahaan dan perwakilan dua marga itu langsung membuat perjanjian di hadapan notaris Irnawati Nazar di Sorong. Marga Sede menandatangani pada 23 Desember 2008 dan marga Kayaru pada 12 Januari 2009.

Atas kesedian menyerahkan lahan untuk SAS, masyarakat menerima sejumlah ulang tunai. Perusahaan berjanji membangun rumah dan membiayai sekolah anak-anak mereka.

Jumlah uang yang sudah diterima marga sekitar Rp 500 juta. Uang tidak diberikan dalam sekali penyerahan. Setiap ada kebutuhan tertentu, perwakilan marga meminta ke perusahaan. Sepuluh tahun berlalu, perusahaan tidak pernah datang lagi untuk membuka lahan. Meski menyesali keputusan itu, tetapi mereka sudah terlanjur memiliki ikatan dengan perusahaan.

“Dengan (pencabutan) izin bupati ini, kami masyarakat merasa takut dan tegang karena kami mendukung. Tetapi bagaimana dengan perusahaan itu? Jangan sampai menuntut kita,” kata Daniel Kayaru.

Di Waimon, ada tiga perwakilan marga yang setuju memberi lahan kepada PLA pada 2014. Saat itu, mereka hanya menandatangani persetujuan dan dan belum membuat perjanjian di hadapan notaris.

Permenas Kasilit, perwakilan Marga Kasilit mengatakan, penandatanganan persetujuan itu pada 16 April 2014 setelah masyarakat menolak berulang-ulang, Berbagai instansi pemerintah juga hadir saat penandatanganan, termasuk Bupati Sorong Stephanus Malak dan Kepala Distrik Segun, Benny Felle.

“Yang tanda tangan izin sawit itu ada tiga orang. Seperianus Malalu, Agustinus Aresi, dan saya sendiri. Kami tanda tangan di Hotel Meridien.”

Setelah persetujuan 2014, PLA sama sekali tidak pernah membuka lahan di Waimon hingga mereka muncul lagi pada 2021.

Meski sudah melakukan perjanjian dengan perusahaan dan menerima uang, perwakilan marga di Kampung Gisim maupun Waimon menyatakan mendukung keputusan Bupati Sorong.

Dua marga dari Kampung Gisim bahkan sudah berinisiatif menyampaikan persoalam mereka kepada Bupati Sorong lewat staf ahli.

 

Siap lindungi masyarakat adat

Pemerintah Kabupaten Sorong turut mempertanyakan kehadiran kembali perusahaan setelah izin dicabut bupati.

“Perusahaan hadir di sana pada April, Mei, Juni, itu setelah pencabutan. Padahal, ada waktu undur sekian tahun, perusahan di mana?” kata Sekretaris Daerah Sorong, Clif Japsenang dalam pertemuan dengan wartawan 22 September lalu di Aimas.

Menurut dia, keputusan pencabutan izin-izin sawit di Kabupaten Sorong merupakan rekomendasi hasil evaluasi izin sawit di Papua Barat. Pemerintah Kabupaten Sorong, kemudian menindaklanjuti dengan membentuk tim khusus.

“Hasil evaluasi kita sudah panggil beberapa perusahaan. Ada yang hadir dan ada yang tidak hadir. Yang tidak hadir terkait dengan posisi perusahaan, tidak ada di tempat. Dari evaluasi panggilan kami, kita lakukan pencabutan dengan SK Bupati terkait ada beberapa perusahaan yang sama sekali tidak melakukan kegiatan.”

Perusahaan yang tidak melakukan kegiatan dan tak memiliki alamat di Kabupaten Sorong adalah SAS dan PLA.

Kewajiban pemerintah daerah, katanya, untuk melindungi masyarakat dan alam di Kabupaten Sorong. Komitmen itu disampaikan Bupati Johny Kamuru.

“Perusahaan manapun kalau beroperasi, bagaimana supaya mengambil simpati masyarakat, dia sampaikan program-program, janji-janji yang bagus-bagus dan baik-baik,” kata bupati.

Dia juga menanggapi keluhan masyarakat soal kekurangan infrastruktur di Distrik Segun, terutama di Waimon. Bupati bilang, sudah ada rencana pembangunan bekerjasama dengan Petrogas. Jalur akan dibangun melalui Kampung Kasimle masih sekitar tujuh km dari Waimon. Masih ada kendala dengan pemilik ulayat, namun bupati bilang segera menuntaskan masalah ini.

Mengenai kekhawatiran masyarakat yang sudah terlanjur menerima uang perusahaan, Kamuru siap bertanggungjawab sebagai konsekuensi dari keputusan yang sudah diambil. Dia yakin, masyarakat tidak mendapat informasi cukup terkait konsekuensi dari kehadiran sawit di wilayah adat mereka.

Bupati bilang, setelah proses pengadilan selesai, lahan-lahan dengan izin dicabut akan kembali ke masyarakat adat.

Pemerintah, katanya, juga tengah menyiapkan program-program untuk masyarakat, sebagai bagian menjaga hutan.

“Di satu sisi kita pembangunan memajukan ekonomi, di saat keputusan ini saya merasa ini keputusan membela masyarakat. Ini momentumnya untuk membela masyarakat. Setelah itu, kalau tidak ambil keputusan cepat berarti tidak ada ruang dan waktu lagi untuk kita membela masyarakat.”

 

 

Jalan rusak hingga menuju Distrik Segun, satu-satunya pakai transportasi air. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

*****

Exit mobile version