Mongabay.co.id

Praktik Demokrasi di Indonesia Ancam Lingkungan?

Begini penampakan kayu di hutan adat Kinipan, yang bersengketa dengan perusahaan sawit. Foto: Save Kinipan

 

 

 

 

Praktik berdemokrasi di Indonesia, minim usaha perlidungan lingkungan hidup. Sebaliknya, justru memfasilitasi kerusakan lingkungan seperti pencemaran dari industri, penggundulan hutan, dan lain-lain. Demikian dikatakan Ward Berenschot, profesor antropoligi politik Unversity of Amsterdam dan peneliti KITLV.

“Kencederungan demokrasi melemahkan pemerintahan, bukan karena ego politisi. Tapi unsur utama demokrasi yakni pemilu yang merusak tata kelola lingkungan,” katanya dalam diskusi daring Greenpeace, akhir September lalu.

Kesimpulan dia dari penelitian sepanjang 10 tahun terakhir, terutama saat pemilu 2013-2014 baik pilkada maupun pemilihan presiden. Hasil penelitian terbit dalam buku berjudul Democracy for Sale.

“Kesimpulannya demokrasi yang dipraktikkan belum kondusif untuk membangun pemerintahan yang baik. Tak kondusif untuk memberantas korupsi dan memperkuat supremasi hukum. Belum ada keadilan sosial,” katanya.

Mengapa oligarki kuat di Indonesia? Dia bilang, karena biaya pemilu di Indonsia sangat mahal hingga politisi tak hanya terlibat korupsi juga kolusi erat dengan pelaku ekonomi.

“Tinggi biaya pemilu, praktik saling memberi yang merusak. Atas imbalan biaya kampanye pemilu, para politisi membagikan kompenasi, komisi, lisensi, dan pemberian kontrak kepada para pengusaha,” katanya.

Dengan begitu, tata kelola lingkungan amburadul karena politisi yang berkuasa akan merusak tata kelola. Setelah pilkada 2014 di Kalimantan Tengah, terjadi akselerasi percepatan izin perkebunan. Bukan kebetulan, katanya, calon bupati harus mengembalikan investasi karena ongkos kampanye tinggi.

Dia menyebut, investigasi Gecko Project dan Mongabay, yang membuktikan mantan Bupati Seruyan dua periode Darwan Ali mulai 2000-an banyak mengeluarkan izin kepada kakak, istri, dan keluarganya. Sedangkan masyarakat mengalami kesulitan ekonomi dan pendapatan, karena kehilangan lahan.

Data Forest Watch Indonesia 2019, menyebutkan, proses perizinan tak berjalan baik. Konsensi sawit, banyak kebun sudah beroperasi meski belum clean and clear, atau belum mengantongi izin. Sekitar 68% perusahaan yang beroperasi belum memiliki hakgGuna usaha (HGU).

Perusahaan yang tak memiliki HGU seluas 14,8 juta hektar, di perkebunan sawit 7,1 juta hektar dan HGU di luar perkebunan sawit 4 juta hektar.

“Bukan kebetulan. Temuan ini menunjukkan indikasi hubungan antara pengusaha dan politikus. Pengusaha menghindari perizinan untuk memuluskan niat, Akibatya, tata kelola rusak, tapi bisnis bisa beroperasi,” kata Berenschot.

 

Kawasan karst Trenggalek, yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat, antara lain, sebagai sumber penyimpan airmalah terancam pertambangan, salah satu  tambang emas. Pemerintah keluarkan izin tanpa mempertimbangkan keselamatan dan kehidupan masyarakat di daerah itu. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Biaya tinggi

Dampak biaya pemilu tinggi, memberi peluang main mata antara pengusaha dengan politikus. Kandidat mendapat dana, sedangkan perusahaan mendapat bantuan memuluskan perizinan. Pemerintah daerah menutup mata kalau perusahaan tak mengikuti aturan. Kondisi ini, katanya, secara sistematis merusak tata kelola lingkungan di Indonesia.

“Dampak pemilu biaya tinggi di Indoneia, demokrasi jadi oligarkis,” katanya.

Hanya kandidat kaya atau kandidat didukung pengusaha kaya bisa berpartisipasi. Sedangkan, kandidat idealis sulit berpartisipasi karena biaya mahal.

Pemilu berbiaya tinggi, katanya, mengurangi kapasitas pemerintah dalam menegakkan regulasi.

Mengapa biaya pilkada mahal di Indonesia? Berenschot menyebut, ada empat sumber menyebabkan biaya pemilu mahal di Indonesia, seperti mahar politik untuk mencari kendaraan bagi kandidat, perlu membeli tiket untuk pencalonan. Para kandidat juga memerlukan tim sukses.

Terjadi praktik klientelisme atau politik transaksional mahal, para kandidat mengeluarkan uang untuk membeli suara. Para kadidat juga mengeluarkan uang besar untuk membiayai saksi di setiap tempat pemungutan suara (TPS).

“Praktik serangan fajar sangat umum hingga mahal. Karena pemilih belum mengerti, tak diedukasi sistem demokrasi. Ada proses struktural.”

Terjadi lingkaran setan relasi informal. Dimana, pemerintah lemah dalam mengimplementasi kebijakan hingga pemilih meminta keuntungan pribadi. Dampaknya, calon menggunakan strategi klienteisme, dengan memberi proyek dan uang kepada tim sukses. “Akibatnya, pemerintah makin sulit mengimplementasi kebijakan. Jadi, lingkaran setan. Perlu bongkar lingkaran setan untuk menghentikan politik biaya mahal.”

Dia merekomendasikan, reformasi pemilu untuk mengurangi biaya kampanye. Dengan mengurangi biaya kampanye, katanya, dengan cara Bawaslu meningkatkan pengawasan. Kemudian, menghentikan mahar politik dengan menaikkan dana negara untuk partai politik. Juga usaha mengurangi biaya kampanye dengan mengurangi pengeluaran melalui e-voting, dan mengintegrasikan pilkada dengan pemilu.

 

Hutan Harapan di Jambi dan Sulawesi Selatan, yang seharusnya terjaga malah diberi peluang kepada perusahaan tambang untuk buka jalan demi kelancaran angkutan batubara. Di mana keseriusan mau lindungi hutan? Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

  

Korupsi

Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) mengatakan, di Indonesia terjadi korupsi melalui peran negara atau state capture corruption (korupsi penangkapan negara). Berbeda dengan korupsi, memeras atau menerima suap sebagai korupsi adminsitrasi.

Sedang state capture corruption, katanya, gunakan peran negara terkait pembentukan peraturan perundang-undangan, dan menyelundupkan pasal yang menguntungkan kelompok tertentu.

“Hukum berciri tidak adil. Pemain pimpinan partai politik, taipan kaya yang mengatur uang dan sistem. ‘Penyitaan Undang-undang’ untuk keuntungan bisnis melalui hubungan politik. Sumber daya alam meliputi hutan lahan, minyak bumi, gas, panas bumi, emas dan nikel,’ katanya.

State capture corruption, katanya, berdampak luar biasa. Terjadi konflik kepentingan tak terkendali, kabur keberpihakan kepada kepentingan publik, minim transparansi dan partisiapsi publik, penegakan hukum dan perencanaan lemah.

Hariadi sebutkan, Undang-undang dan peraturan turunan ombimbus law atau UU Cipta Kerja. Dia contohkan, analisis dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23/2021 tentang Penyelengaraan Kehutanan dengan pendekatan corruption risk asssment. Hasilnya, ditemukan rawan pemaksaan kewenangan, birokrasi berlebihan, profit swasta dibagikan ke pegawai pemerintah, juga rawan suap.

“Isi rugilasi yang tidak terkait masalah. Mudah dipengaruhi kepentingan mulai perizinan usaha, penataan batas, izin lingkungan, rekomendasi dan pertambangan teknis. Masih ada praktik suap,” katanya.

Sedangkan PP Nomor 23/2021 tentang Penyelengaraan Kehutanan, dia temukan sekitar 21 celah negoisasi, dan korupsi dalam.

Dia juga menyoroti Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7/2021 tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukkan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan serta Penggunaan Kawasan Hutan. Terutama perubahan peruntukan hutan untuk kegiatan usaha kebun sawit yang terbangun di dalam kawasan hutan.

“Perkebunan sawit di dalam kawasan hutan tanpa izin bukan kesalahan, atau dihukum pidana tapi bisa mengajukan permohonan pelepasan kawasan hutan untuk kegiatan perkebunan sawit,” katanya.

Kalau tata kelola ini secara tertutup, katanya, bisa terjadi transaksi, berpotensi suap dan pemerasan.

Pada sektor pertanian dalam UU Nomor 13/2010 tentang Hortikultura, tidak ada kewajiban negara memprioritaskan penggunaan sumber daya manusia dalam negeri. Selain itu, impor benih tanpa syarat tertentu. Dalam administrasi pasar juga tak wajib memprioritaskan produk dalam negeri.

“Tidak ada lagi ada proteksi pertanian di Indonesia. Dulu, ada syarat 30% modal asing maksimum, sekarang dibebaskan.”

Kemudahan ini, katanya, bukan persoalan transaksi saja, juga berdampak terhadap lingkungan hidup.

Kemudian, PP Nomor 23/2021 tentang Proyek Strategis Nasional, bisa dibangun lebih dulu tanpa didahului penetapan tapal batas. Juga tidak wajib membayar pendapatan negara bukan pajak (PNBP).

Ada 68 proyek bendungan di Jawa, sebaliknya, tanya Hariadi, mengapa tak ada proyek strategis perlindungan hutan.

Bendungan membutuhkan air, tanpa perlindungan hutan memadai tak akan ada pasokan air. “Di Jawa, hutan terdegradasi. Harus dilindungi.”

Dia juga menemukan relasi pemerintah daerah dengan swasta. Tak hanya soal mengamankan usaha dan izin, juga membuat atau mengubah kebijakan di tingkat kabupaten. Kebijakan dan pejabat sudah dimasuki kepentingan-kepentingan.

“Bagaimana caranya bisa mengolah sumber daya alam secara adil? Unsur yang terdapat dalam pemerintahan “sudah cacat”. Tidak terjadi di semua daerah, ada leadership yang baik,” katanya.

Untuk pimpinan yang baik, meski rule in form buruk namun bisa berbuat baik. Untuk itu, katanya, peran masyarakat sipil penting karena sejalan dengan kepentingan publik.

 

Belasan juta hektar hutan dan lahan di Indonesia, sudah jadi kebun sawit dan itu belum cukup? Foto: Rhett Butler/ Mongabay

 

Oligarki

Dini Suryani, tim kajian masyarakat sipil dan pengelolaan sumber daya alam (SDA), Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan, laporan The Economist 2016 yang menempatkan Indonesia di peringkat tujuh dunia dalam sektor perburuan rente. Ia meliputi batubara, sawit, minyak dan gas. Batubara didominasi 4-5 perusahaan, sawit 10 perusahaan, 40 juta hektar hutan dikuasai perusahaan sedangan rakyat hanya 1,7%. Untuk sektor perikanan tangkap didominasi 8-20 perusahaan.

Penguasaan SDA oleh segelintir orang menimbulkan konflik sistematis dan meluas dari tahun ke tahun. Kerusakan lingkungan hidup dampak alih fungsi lahan juga meningkat. “Menyebabkan kerugian negara, kurang bayar pajak dan administrasi buruk.”

Bagaimana mengimbangi oligarki? Hasil kajian dia pada 2014-2019, merekomendasikan posisi masyarakat sipil harus diperkuat hingga bisa membatasi kekuasaan negara yang oligark. Pemberdayaan masyarakat, katanya, perlu ditingkatkan.

Ada peluang dan tantangan harus dihadapi. Peluangnya, masyarakat sipil yang menggarap beragam isu dan jenis gerakan mulai advokasi, kampanye, pemberdayaan dan riset.

Tantangannya, terfragmentasi, dan berjalan sendiri-sendiri juga menghadapi kontinyuitas gerakan, lantaran ada lembaga yang bergantung donor.

Selain itu, ekosistem demokrasi, tak memberi ruang gerak masyarakat sipil seperti UU ITE dan UU Cipta Kerja.

Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, mengatakan, oligarki menguat sejak Orde Baru.

Indonesianis, Jefrey Winters menggambarkan Soeharto menjalankan oligarki kesultanan. Ia duduk sebagai aktor di pucak piramida patronase dan mengendalikan ambisi semua oligarki.

“Reformasi, otonomi daerah jadikan oligarki terdesentralisasi, menjadi raja-raja kecil. Fase ini terhubung dengan sektor sumber daya alam. Usai pilkada grafik izin pertambagan meningkat,” katanya.

Setelah omnibus law, katanya, beberapa kewenangan menguntungkan oligarki di sumber daya alam.

Arie menilai terjadi pelemahan demokasi dan desain mengubah UU yang menguntungkan oligarki di masa pandemi seperti revisi UU KPK, UU Minerba dan omnibus law pandemi.

Protes warga atas rencana pengambilan material pembuatan Bendungan Bener di Desa Wadas. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

******

Foto utama:  Hutan adat Kinipan, yang ditebangi oleh perusahaan untuk jadi sawit atas izin dari pemerintah. Kala memberikan izin, ruang hidup masyarakat adat seakan tiada. Yang terjadi, kala investasi datang dengan jargon pembangunan, kenyataan lapangan banyak sebaliknya…. Inikah demokrasi? Foto:Save Our Borneo

Exit mobile version