Mongabay.co.id

Budidaya Kopi Meratus, Upaya Tingkatkan Ekonomi Warga dan Jaga Hutan

 

 

 

 

Dwi Putera Kurniawan, Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Kalimantan Selatan, di belakang rumah menanam beragam jenis kopi. Ada sekitar 400 batang kopi dia tanam. Ada jenis liberika, excelsa, robusta dan arabika. Kopi-kopi ini Dwi tanam tanpa pakai pestisida atau pupuk kimia.

“Empat varietas itu, liberika, excelsa, robusta dan arabika. Setahu kami, belum ada lagi dalam suatu kawasan daerah kecil atau distrik, yang tumbuh subur empat jenis kopi. Pada momentum Hari Kopi Dunia ini, HST turut merayakan juga lewat kopi Meratus,” kata Dwi, akhir September lalu.

Bukan sekadar tanam untuk keperluan sendiri, kebun di Kecamatan Landasan Ulin, Kota Banjarbaru itu dia dedikasikan juga sebagai ruang edukasi bagi yang ingin budidaya kopi khas Borneo.

Dari instansi pemerintah, swasta sampai perguruan tinggi jadikan kebun Dwi sebagai ruang edukasi kopi khas ini.

Hari itu, Dwi tampak sibuk mengemas kopi-kopinya untuk dibawa ke Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) untuk ikut pameran di peluncuran Kopi Meratus, bertepatan dengan Hari Kopi Internasional, 1 Oktober.

Keempat varietas itu dia bungkus sebagai contoh atau pembelajaran dalam mengenal corak tiap pelbagai jenis daun kopi.

“Cirinya nampak di corak daun, ada yang bergelombang dan tekstur katur. Kalau kopi pegunungan itu daun agak lembek,” kata Dwi.

Dia membawa dua barista dalam menyajikan kopi Meratus. Warga sebagai penguji. Mereka berdua melayani warga sekitar di Desa Pagat, Kecamatan Batu Benawa, HST, selama tiga hari acara itu.

Rombongan Dwi berangkat dari Banjarbaru menempuh perjalanan 152 Kilometer ke HST. Melewati beberapa perkampungan, di kelilingi perbukitan hingga memasuki ke obyek wisata Pagat Batu Benawa, di kaki Bukit Batu Bini.

Di kawasan inilah, Dwi sebagai pemilik Biji Kopi Borneo dan puluhan mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat, meluncurkan Kopi Meratus diresmikan Bupati HST, Aulia Oktafiandi.

 

Baca juga : Uniknya Kopi ala Suku Osing

Kopi Meratus. Foto: M Rahim Arza/ Mongabay Indonesia

 

Dia berharap, pasca peluncuran, para petani HST dapat melaksanakan 3M, yaitu menanam, mengolah hingga menjual.

“Kalau petani ingin sejahtera, yang mesti dilakukannya 3M itu. Kami siap memfasilitasi dalam mengajarkan mereka agar tidak tergantung dengan korporasi, yang menggantungkan dengan mesin manufaktur pertanian. Mereka bisa berdayakan dengan alat tradisional,” kata Dwi.

Dwi bilang, petani lebih banyak menanam. Dwi ingin mewujudkan konsep pengelolaan kopi petani secara berkeadilan, guna menuju kesejahteraan merata.

“Jadi, petani yang menanam, lalu petani itu yang mengolah serta memproses hingga menyajikan, kemudian langsung menjual. Paling masuk akal petani menanam, mengolah dan menjual itu.”

Menurut dia, inilah contoh nyata yang mereka lakukan selama ini. Bukan ihwal retorika dan cerita. Dengan mengelola kopi ini dapat meningkatkan taraf perekonomian. “Jangan sampai petani menjual dengan harga murah. Kita pun siap membeli hasil tanaman kopinya.”

Istilah yang tepat, katanya, para petani mesti menguasai sektor hulu dan hilir. Dwi bilang, mulai dari budidaya, menanam, menjemur, lalu menyangrai hingga dapat dipasarkan.

Sementara harga kopi yang ditawarkan, rata-rata kemasan 200 gram Rp50.000. Ada juga untuk produk-produk terbatas 200 gr seharga Rp100.000.

“Di Kedai Biji Kopi Borneo menyediakan kopi Liberti, Aranio Banjar dan Pengaron Banjar.”

Kopi-kopi itu hasil produksi petani. Dalam peta, Dwi membagi dengan beberapa wilayah seperti, Banjarbaru, Bati-Bati, Aranio, Pengaron, Hulu Sungai Tengah dan Tabalong. Rencana, selain enam wilayah itu budidaya kopi Kalsel ini ke beberapa daerah lain hingga sampai ke 13 kabupaten/kota.

Data Kopi Indonesia, kata Dwi, estimasi produksi kopi di Kalsel sejak 2017 sebesar 6.835 ton, belum termasuk kopi Banua. “Terasa ada yang kurang, karena kopi Banua belum terdata nama dan jumlah produksinya.”

Dalam kesempatan sama, Andri Widianto, Ketua BEM Faperta Universitas Lambung Mangkurat (ULM) mengajak 60 mahasiswa terjun langsung ke Hinas Kanan dalam program Mitra Desa dan Faperta Mengajar.

Dia bilang, desa itu memiliki kekayaaan alam yang mesti dijaga lewat pelestarian tanaman organik. Setidaknya sudah empat petani begitu antusias dalam pengembangan kopi Meratus ini.

“Mereka masih menjual secara asalan, Rp20.000 dan dipasaran jadi Rp25.000. Masih rendah.”

Andri bilang, masyarakat desa masih memandang kopi itu pasar bebas, seperti pisang, rambutan dan lain-lain. “Konsep kita yaitu memberdayakan dan mensejahterakan petani sana.”

 

Baca juga: Pertanian Berkelanjutan Tingkatkan Produktivitas Kopi Petani di Malang

 

Sangrai kopi secara tradisional. Foto: M Rahim Arza/ Mongabay Indonesia

 

Gerak ekonomi rakyat dan jaga hutan?

Dwi bercerita, banyak tanaman kopi tumbuh liar sejak era kolonial Belanda. Banyak yang tidak mengetahui, hingga Dwi mulai berencana merintis kopi ini sejak 2015 yang ditanam di belakang rumah. Pada 2018 diapun buka kedai kopi.

“Tahun 2021, kita baru bisa menikmati hasil kopinya. Bertepatan langsung dengan perayaan 1 Oktober ini, kita turut merayakan bersama Bupati HST dan warga sekitar.”

Pada momentum International Coffee Day ini, Dwi pun menyampaikan, dunia tengah berbagi cerita tentang kopi, tak ketinggalan juga kopi Meratus.

Dia sebutkan, terdapat beberapa topografi tanaman kopi Meratus antara lain, 20-100 Mdpl (liberika), 100-200 Mdpl (excelsa), 300-400 Mdpl (robusta), 1.000-1.200 Mdpl (arabika).

“Kita melihat, semua aspek topografi lahan ada di HST. Semua tanaman kopi dapat tumbuh di sana.”

Lewat empat varietas itu, Dwi ingin merekomendasikan atau mendaftarkan kopi Meratus ke dalam Museum Rekor Indonesia (MURI). “HST, kami canangkan menjadi pusat pengembangan kopi di Kalimantan Selatan. Cukup lewat daerah ini, empat varietas kopi dapat tumbuh. Ini sebuah rekor.”

Aulia Oktafiandi, Bupati HST mengatakan, melihat potensi kopi Meratus ini bisa menyelesaikan dua masalah sekaligus, pertama, terkait mata pencarian atau pekerjaan. Mulai dari sektor hulu hingga hilir menguntungkan bagi perekonomian warga HST. Kedua, bagaimana petani menghijaukan kembali hutan Meratus  dengan kopi, sebagai salah satu tanaman.

Pemkab HST, kata Aulia, komitmen dalam pengembangan kopi Meratus. Mereka akan penanaman 1.000 bibit kopi Meratus di pelbagai pelosok wilayah di HST.

Pemerintah HST, katanya, telah memetakan lahan 17 hektar secara terpisah. Penanaman kopi ini, katanya, bisa petani lakukan di sela-sela pepohonan karet. “Saya meminjam data Dinas Pertanian, 17 hektar itu terpisah-pisah. Itu potensi.”

Syahruli, Kepala Dinas Perdagangan (Disdag) HST, menyampaikan, pengembangan kopi Meratus menjanjikan sekali. Dia juga menekankan, upaya itu sekaligus menjaga hutan Meratus.

Dia bilang, kopi ini sudah lama jadi tanaman yang ada di Pegunungan Meratus. Sejak 1980, pemerintah mulai mengembangkan tanaman kopi ke beberapa pelosok wilayah di Bumi Murakata ini.

“Kami berharap warga tidak menjual lahan ke pengusaha yang mengincar sumber daya alam,” katanya.

Dia melihat, peluncuran kopi ini jadi sejarah baru bagi masyarakat HST, terutama para petani. Demi mendorong itu, mereka akan konsisten dalam mendukung budidaya kopi lewat kebijakan-kebijakan pemerintah daerah.

“Kami akan membawa dan mengenalkan kopi Meratus ini ke bazar di Yogjakarta. Kita promosikan seluas-luasnya.”

Muhammad Yani, Pj Sekretaris Daerah (Sekda) mengatakan, kopi Meratus ini bisa menjadi penyemangat bagi pemuda untuk jadi petani.

“Petani muda, agak susah sekarang. Ada kopi Meratus ini sebagai langkah baik untuk menggandeng mereka. Bahwa kopi itu adalah intelektual di Banua.”

Bahkan, kata Yani, lewat kopi mampu mengembangkan diskusi-diskusi yang baik untuk kemajuan masyarakat secara intelektual. Terlebih, katanya, Pemerintah HST memiliki sosok pemimpin muda yaitu seorang bupati yang mendukung komoditas kopi Meratus ini.

Upaya ini, katanya, juga untuk menjaga kelestarian alam tersisa di Pegunungan Meratus. “Upaya ini kita lakukan untuk mempertahankan hutan yang masih tersisa.” Kopi, katanya, bisa tumbuh bersama tanaman lain.

Jadi, katanya, budidaya kopi bisa dengan pola tumpang sari (inter cropping). “Sebagai tanaman tambahan atau tanaman sela.”

Yani sebutkan, banyak kebun karet bisa sela dengan tanaman kopi. Langkah itu, sekaligus mendorong ekonomi tambahan bagi petani HST.

 

Kopi Meratus. Foto: M Rahim Arza/ Mongabay Indonesia

******

Foto utama:  Dwi Putera Kurniawan, Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Kalimantan Selatan, menanam kopi untuk eduksi dan pengenalan kopi Meratus. Foto: M Rahim Arza/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version