Mongabay.co.id

Listrik dari Sampah Berbasis Komunal, Solusi Masalah Persampahan?

 

 

Sampah menjadi masalah berbagai daerah di negeri ini. Pengelolaan sampah jadi persoalan hampir di semua kota, terutama di ibukota provinsi dan kabupaten/kota dari Sumatera hingga Papua. Masalah sampah ini bisa meledak sewaktu-waktu kalau pemerintah, khusus pemerintah daerah (pemda) tidak sigap dan responsif menghadapi kondisi darurat sampah saat ini.

Timbulan sampah terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk dan peningkatan taraf kehidupan ekonomi masyarakat. Timbulan sampah di kota-kota besar bisa mencapai ribuan ton per hari, sedangkan kota-kota kabupaten dapat menghasilkan sampah hingga ratusan.

Permasalahan sampah ini tidak akan pernah habis selama belum ada solusi efektif dan efisien. Kita bisa melihat dengan mata kepala sendiri ada banyak sampah berceceran di setiap sudut kota, di ujung-ujung jalan kampung bahkan di sekitar rumah kita.

Kini, masa pandemi COVID-19, tambah lagi masalah sampah, yaitu, sampah medis seperti masker dan alat pelindung diri (APD) hingga persoalan makin runyam.

Kalau melihat bagaimana sampah dikumpulkan dan dibuang di tempat pembuangan akhir sampah (TPA) maka akan makin miris lagi, betapa infrastruktur pengelolaan sampah buruk di negeri ini. Dengan kapasitas TPA di sebagian besar kota-kota di Indonesia, sudah penuh atau hampir penuh.

Beberapa kota berupaya memperluas TPA atau mencari lokasi TPA baru, namun seringkali menemui banyak kendala seperti penolakan warga sekitar hingga ketidaktersediaan lahan cocok untuk TPA. Akhirnya, banyak kota gagal dalam mendapatkan lokasi TPA baru maupun untuk perluasan yang lama.

Untuk itu, perlu ada solusi untuk menyelesaikan persoalan ketersediaan lokasi TPA agar tetap bisa menampung sampah. Membiarkan tumpukan sampah terus menggunung di TPA bukan tindakan solutif, terlebih tiap hari ada ratusan bahkan ribuan ton sampah berdatangan.

Pemerintah, perlu membangun infrastruktur pengolahan sampah yang bisa memusnahkan sampah tanpa atau sedikit meninggalkan sisa berupa residu. Pemerintah bisa bekerjasama dengan pihak ketiga atau swasta dalam pembangunan dan pengoperasiannya. Salah satu teknologi pemusnah sampah yang efektif mengurangi timbulan sampah hingga tersisa sekitar 10% residu adalah pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) berbasiskan termal seperti insinerasi dan gasifikasi.

 

Sampah dengan sebagian besar sampah plastik sekali pakai berserakan di tepian jalan di banten. Foto: Saparian Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Babak baru persampahan?

Di tengah pendemi COVID-19 yang belum selesai hingga kini, ada kabar baik dari pengelolaan persampahan. Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu meresmikan infrastruktur pengolah sampah menjadi energi listrik (PSEL) Benowo di Kota Surabaya. PLTSa ini yang pertama beroperasi di Indonesia secara komersial dengan kapasitas listrik 9 MW dan dapat mengolah sekitar 1.000 ton sampah per hari. PLTSa ini pakai sistem teknologi termal yang bisa mengolah sampah secara cepat dan ramah lingkungan.

PLTSa Benowo ini jadi bagian dari program percepatan pembangunan PLTSa di 12 kota di Indonesia melalui Perpres No 35/2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Menyusul segera selesai juga PLTSa Putri Cempo di Kota Solo, untuk skala lebih kecil dengan target operasi April tahun depan. Hal ini membawa harapan baru bagi pengelolaan persampahan di kota-kota besar dan menengah di Indonesia.

Saat meresmikan PLTSa Benowo Surabaya, Jokowi menyampaikan, kota lain tinggal melihat dan meniru apa yang dibuat di Surabaya. Hingga jadi lebih mudah karena ada contoh nyata di lapangan. Dengan sistem sama seperti yang diterapkan di Surabaya, kota-kota besar lain bisa mengadopsi dan menerapkan di TPA masing-masing dengan berbagai pilihan teknologi termal seperti insinerasi, gasifikasi maupun produksi RDF.

 

Sampah jadi listrik

Untuk bisa menghasilkan listrik dari sampah, ada beberapa skema teknologi termal bisa dipilih. Salah satu, teknologi yang sangat populer adalah pembakaran atau insinerasi yang biasa digunakan pada PLTSa. Di sini, sampah dibakar untuk menghasilkan energi panas guna memanaskan air di dalam boiler agar jadi uap. Ia sebagai penggerak turbin untuk memutar generator penghasil listrik.

Pada prinsipnya ada empat tahapan proses insinerasi yaitu proses pre-treatment, pembakaran, energy recovery dan penanganan gas buang.

Ada dua keuntungan bisa diperoleh dari sistem PLTSa ini yaitu musnahnya sampah dan energi listrik. Dengan teknologi ini, sampah tereduksi hingga 90% dan hanya tersisa abu 10%. Bahkan, tumpukan sampah lama yang sudah menggunung di TPA juga bisa musna dalam waktu singkat. Sistem ini bisa dikombinasikan dengan gasifikasi pada sistem pembakarannya.

Model penyiapan bahan bakar untuk pembangkit listrik menjadi RDF (refused derived fuel) seperti di Cilacap juga bisa diterapkan sebelum masuk ke sistem pembangkitan listrik.

 

Seorang anak kecil terlihat mencari sampah yang dapat dimanfaatkan kembali di TPA Bakung Bandar Lampung. Foto: Chairul Rahman Arif

 

Skala komunal

Secara umum kebanyakan PLTSa di dunia menggunakan teknologi pembakaran atau insinerasi. Penggunaan teknologi boiler dan turbin akan sulit diterapkan pada skala lebih kecil. Karena itu, PLTSa insinerasi hanya cocok untuk kota-kota besar dengan sampah ribuan ton.

Bagaimana dengan kota-kota menengah di Indonesia? Di sinilah perlu PLTSa skala kecil yang bersifat komunal. Untuk menjawab itu, maka penggunaan PLTSa berbasiskan teknologi gasifikasi menjadi alternatif, dimana penggunaan bisa dalam skala kecil dan bersifat komunal.

Gasifikasi adalah satu cabang dari teknologi termal, dimana sampah dicampur dengan udara atau oksigen terbatas pada suhu tinggi untuk kemudian menghasilkan gas bahan bakar atau yang lebih dikenal dengan syngas (syntetic gas). Syngas ini kemudian untuk menggerakan gas engine (seperti genset yang biasa masyarakat gunakan, hanya di sini dengan bahan bakar gas) dan hasilkan listrik.

Dengan teknologi gasifikasi ini, tidak ada emisi yang dihasilkan dari proses itu. Emisi hanya dari penggunaan gas engine, dimana gas buang akan seperti mesin diesel pada umumnya. PLTSa gasifikasi ini akan digunakan pada PLTSa Putri Cempo Solo, yang kini proses pembangunan.

Dengan konfigurasi teknologi seperti itu, gasifikasi sangat memungkinkan pada skala kecil.

Mesin gasifikasi (gasifier) dan gas engine dapat dirancang pada skala kecil dengan efisiensi tinggi. Dengan PLTSa gasifikasi, sampah hanya puluhan ton per hari bisa dilahap dengan sempurna dan efisien.

Dengan demikian, penanganan sampah di tingkat kabupaten, kecamatan hingga desa bisa dilakukan untuk menghasilkan listrik.

 

Integrasi dengan 3R

Yang kemudian jadi makin menarik dengan PLTSa gasifikasi ini, bagaimana sistem ini terintegrasi dengan aktivitas 3R (reduce, reuse, dan recyle) yang sudah berjalan di masyarakat. Hampir di setiap kampung ada bank sampah—untuk memilah sampah yang punya nilai ekonomi. Begitu juga banyak desa yang mendirikan badan usaha milik desa (Bumdes) yang fokus pengelolaan sampah.

Jadi, residu dari bank sampah dan Bumdes ini bisa jadi umpan ke PLTSa gasifikasi di tingkat desa atau kecamatan. Dengan demikian, tidak ada lagi sampah dibuang ke TPA, karena penanganan sudah terdistribusi di tiap-tiap desa/kecamatan. Dengan begitu, persoalan TPA penuh bisa terselesaikan. Otomatis pula, transportasi sampah dari sumber ke lokasi TPA akan berkurang drastis hingga dapat mengefisienkan penggunaan bahan bakar dan mengurangi potensi sampah tercecer di sepanjang jalan.

 

“Penulis adalah Dr. Eng. Mochamad Syamsiro, Direktur Center for Waste Management & Bioenergy dan Dosen Jurusan Teknik Mesin Universitas Janabadra Yogyakarta. Tulisan ini merupakan opini penulis.

 

Ilustrasi. Sampah medis. Foto : georgeherald.com

 

*****

Foto utama:  Masalah sampah terjadi di berbagai daerah. Sampah dibuang sembarangan, di jalan, ke sungai, hingga berujung ke tepian laut. Apakah jadikan sampah energi listrik merupakan solusi yang aman bagi lingkungan hidup? Foto: Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version