Mongabay.co.id

Masanya Tinggalkan Energi Fosil, Bersegera ke Sumber Terbarukan

 

 

 

 

 

Indonesia sudah harus meninggalkan energi fosil seperti minyak bumi dan batubara. Kalau terus bergantung energi fosil maka terancam terjadi defisit energi ke depan. Untuk itu, perlu bersegera beralih ke energi terbarukan dengan banyak sumber bisa jadi pilihan. Trasisi ini energi ini juga sebagai upaya Indonesia menurunkan emisi karbon.

Demikian antara lain bahasan dalam acara Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2021 diselenggarakan Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan Institute for Essential Services Reform (IESR) akhir September lalu. Dalam acara ini membahas soal transisi energi, mulai dari jenis transisi, hingga peluang bisnisnya.

IETD 2021 berlangsung selama lima hari, dari 20-24 September bekerja sama dengan Clean, Affordable and Secure Energy for Southeast Asia (CASE), sebuah proyek kemitraan dari beberapa negara di Asia Tenggara dan didanai Pemerintah Jerman.

Di Indonesia, energi batubara masih andalan. PLTU batubara satu penyumbang emisi karbon terbesar di Indonesia, sebesar 32% selama 20 tahun.

Berdasarkan analisis Institute for Essential Services Reform (IESR), ada dua kebijakan untuk menekan emisi dari PLTU batubara agar sesuai Persetujuan Paris yakni moratorium PLTU dan mempensiunkan PLTU dari umur pakainya.

PLTU batubara yang biasa 30 tahun jadi 20 tahun. Deon Arinaldo, Manager Program Transformasi Energi IESR, mengatakan, perlu peta jalan untuk menekan biaya dan dampak energi batubara serendah-rendahnya. Jadi perlu data dan analisis mendalam pada setiap unit PLTU di Indonesia.

“Yang perlu dianalisis, umur PLTU karena terkait kontrak, efisiensi terkait emisi, biaya operasi dibandingkan dengan biaya untuk mempensiunkan PLTU, kesiapan perencanaan sistem ketenagalistrikan, dan aspek non-teknis seperti lapangan pekerjaan, dan kemampuan sumber daya manusia,” katanya.

Dalam menyusun peta jalan mempensiunkan PLTU batubara, ada banyak strategi bisa dipertimbangkan. Dia sebutkan, antara lain, pengalihan pendanaan dan investasi ke energi terbarukan, peralihan tujuan (repurposing) dan memodifikasi (retrofitting) PLTU.

“Saat ini, secara ekonomi, pembangkit energi terbarukan jauh lebih murah dibandingkan PLTU batubara. Bila kebijakan ini tidak segera dilakukan, PLN diproyeksikan jadi perusahaan dengan aset terbesar kedua yang punya kemungkinan stranded asset sampai US$15 miliar,” kata Deon.

 

Pembangkit mikro hidro di Pulakek Koto Baru. Foto: Elviza Diana

 

Herry Nugraha, Kepala Pusat Keunggulan PT PLN mengatakan, menyiapkan peta jalan dekarbonisasi dengan melakukan berbagai kajian dan menganalisa data PLTU batubara di Indonesia.

“Kami rutin mencatat berapa kapasitas, kapan retirement (pensiun), performa dari tiap-tiap PLTU, keandalan, produksi CO2 dari masing-masing unit dihitung setiap tahun untuk menjadi bahan evaluasi.”

Wanhar, Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan, dalam mekanisme transisi energi telah termuat mekanisme mengganti kapasitas PLTU dan berganti ke energi terbarukan.

“Tentu saja perlu studi, bekerja sama dengan Asian Development Bank. Kami juga sudah diskusi dengan para pemangku kepentingan di industri batubara terkait mekanisme ini,” katanya.

Architrandi Priambodo, Energi Senior Spesialis, Asian Development Bank (ADB) mengatakan, tengah mengembangkan metode guna memastikan aspek transisi energi yang berkeadilan.

Dia bilang, pada akhirnya, yang menerima dan menikmati listrik adalah masyarakat. “Jadi, harus memastikan, pensiun PLTU batubara tidak berdampak buruk terhadap pekerja, lingkungan dan menyokong aspek sosial, termasuk inklusivitas.”

Roy Torbert, principal dari Rocky Mountain Institute mengatakan, meninggalkan PLTU batubara berarti perlu inovasi terhadap teknologi energi terbarukan. Selain itu, katanya, dana dari proses refinancing bisa untuk investasi ke energi terbarukan dan membantu masyarakat terdampak, misal, para pekerja untuk transisi ke pekerjaan baru.

 

Baca juga: Kala PLTU Batubara Picu Perubahan Iklim dan Ancaman Kesehatan Masyarakat

Abu sisa pembakaran PLTU Teluk Sepang Bengkulu. Foto: Rustam

 

Persoalan pembiayaan

Pembiayaan energi terbarukan juga jadi bahasan dalam acara ini. Pembiayaan ini, perlu dukungan kebijakan pemerintah hingga dapat meminimalisir risiko pendanaan dan meningkatkan minat investasi ke energi terbarukan.

Deni Gumilang, penasehat Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) mengatakan, saat ini sudah tersedia berbagai macam instrumen de-risking (pengurangan risiko) pendanaan energi terbarukan untuk Indonesia, antara lain, penyediaan jaminan, green bond (sukuk hijau), dan pinjaman lunak (concessional debt).

Namun, katanya, instrumen derisking ini perlu dukungan kebijakan hingga dapat mengurangi risiko investasi energi terbarukan.

Indonesia, katanya, perlu memperhatikan dukungan teknis pembangunan energi terbarukan yang terintegrasi, menciptakan iklim perizinan yang mendukung proyek skala kecil, dan meningkatkan kredibilitas proyek energi terbarukan agar bisa mudah memperoleh pendanaan.

Edwin Syahruzad, Presiden Direktur PT SMI, mengatakan, sudah menyediakan proyek derisking dengan pemberian dukungan teknis. Hal itu, memudahkan pengembang dalam mengakses teknologi dan pembiayaan proyek energi terbarukan.

Faisal Basri, anggota Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), mengatakan, energi terbarukan penting dalam mendorong perkembangan ekonomi Indonesia. Untuk itu, katanya, perlu segera dekarbonisasi kalau tidak, Indonesia bisa alami defisit energi cukup besar.

“Kalau kita tidak segera dekarbonisasi maka 2040 kita akan defisit energi US$ 80 miliar. Karena kita lebih banyak mengimpor daripada ekspor energi. Itu terjadi karena kebutuhan kita akan naik luar biasa. Karena itu butuh rencana jangka panjang makro ekonomi dengan cara dekarbonisasi lebih cepat,” katanya.

Kenyataannya, kata Faisal, selama ini kebijakan pemerintah belum berpihak pada energi terbarukan. Ia tercermin dari APBN yang masih memberi subsidi ratusan triliun untuk energi fosil.

Dia berpendapat, pemerintah perlu mengedepankan kebijakan nyata untuk mendukung riset energi terbarukan dan memastikan perkembangan industri ini agar tidak hanya jadi konsumen.

Senada dikatakan Lisa Wijayani, Manager Program Ekonomi Hijau, IESR. Dia bilang, sinergitas pertumbuhan ekonomi dengan transisi energi penting untuk memberikan manfaat positif bagi kehidupan manusia.

“Ada beberapa kesempatan yang dapat dikembangkan seperti melalui pengembangan kendaraan listrik, efisiensi energi, menciptakan industri hijau hingga dapat menciptakan banyak lapangan kerja hijau.”

Arunabha Ghosh, Founder dan CEO, Council on Energy, Environment, and Water (CEEW) mengatakan, penting menyelaraskan pengembangan sumber daya manusia agar bisa segera memenuhi lapangan pekerjaan hijau seiring dengan transformasi energi dan ekonomi.

“Di India, kita mempunyai dewan keterampilan untuk pekerjaan hijau yang dibentuk untuk mendorong tenaga kerja di energi terbarukan. Di dalam dewan keterampilan, terdapat berbagai program untuk melatih puluhan ribu orang dari berbagai latar belakang, tidak harus lulusan universitas ternama,” katanya.

 

Dalam era mobil listrik, akan ada plug in electric car yang menggantikan fungsi SPBU. Foto: Mariordo/Wikipedia under CC BY-SA 2.0

 

Transportasi ramah lingkungan

Kendaraan listrik, salah satu topik bahasan juga. Kendaraan ini dinilai bisa jadi opsi transportasi ramah lingkungan. Kajian Institute for Essential Services Reform (IESR) berjudul Deep decarbonization of Indonesia’s energy system menunjukkan, bahan bakar nabati (BBN) dan hidrogen mempunyai peran dalam mencapai dekarbonisasi sektor transportasi.

Dominasi kendaraan listrik yang memakai energi terbarukan mutlak pada 2050 terutama untuk kendaraan penumpang. Sedangkan penggunaan BBN dan hidrogen akan beralih ke sektor transportasi yang tidak dapat dielektrifikasi seperti kendaraan berat.

Julius Adiatma, Spesialis Bahan Bakar Bersih IESR menjelaskan, jangka pendek, hidrogen berpotensi mulai digunakan di sektor industri sambil melihat perkembangan keekonomian dari hidrogen.

Untuk sektor transportasi darat, kendaraan listrik berbasis baterai merupakan opsi paling tepat karena efisiensi lebih tinggi dibanding opsi lain. Harga pun, katanya, terus menurun, dan teknologi juga makin maju.

Secara ekonomi, katanya, BBN terutama biodiesel akan memainkan peran cukup besar di Indonesia. Hal ini mempertimbangkan sumber daya hayati untuk memproduksi BBN.

“Sayangnya, saat ini BBN terfokus pada sawit. Sedangkan lahan tersedia untuk mengembangkan sawit makin sedikit. Kita harus mencari jalan lain untuk memproduksi BBN selain sawit, misal dari limbah atau tanaman lain,” katanya.

Merujuk pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Outlook Energy 2021, Eniya Listiani Dewi, peneliti BRIN mengemukakan, pengembangan kendaraan listrik disertai pemanfaatan energi terbarukan dapat efektif menurunkan emisi karbon.

“Kami meminta PLN untuk memperbanyak penetrasi energi terbarukan. Kalau kendaraan elektrik jarak tempuh terbatas, kita perpanjang menggunakan bahan bakar hidrogen.”

Dia bilang, teknologi pengembangan bahan bakar hidrogen hijau dengan konsep elektrolisis dari kombinasi PLTS atau turbin angin bisa sebagai penyimpan energi.

Joko Purwanto, Ekonom Energi, Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) memaparkan, skenario mendukung pengembangan hidrogen dalam sektor transportasi. Salah satu, katanya, dengan pemanfaatan hidrogen dari gas. Ini tahap awal untuk menciptakan pasar dan membangun infrastruktur. Selanjutnya, beralih ke hidrogen hijau dengan energi terbarukan.

Sebagai bagian dari prinsip pengembang hidrogen hijau di Indonesia, katanya, perlu memperhatikan ceruk pasar.

“Hidrogen mungkin cocok untuk kendaraan yang jangkauan jarak jauh atau untuk penggunaan kendaraan alat berat, seperti kendaraan komersial atau bus. Kemudian harus disesuaikan dengan wilayah di mana energi terbarukan untuk listrik cukup tersedia.”

 

Sulawesi Selatan memiliki kekayaan energi terbarukan sebagaimana energi angin di Kabupaten Jeneponto. Foto: Andi Amriani Mansyur/Indonesiainside

 

Bukan pilihan

Soal percepatan dekarbonisasi sektor energi juga dibahas untuk mencapai netral karbon tahun 2060 atau lebih cepat.

Berbagai pilihan teknologi rendah karbon dapat jadi opsi dalam menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK). Soal pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) juga disinggung. Dalam hal ini, pemerintah diminta mempertimbangkan matang.

Mycle Schneider, analis independen kebijakan dan energi nuklir, mengatakan, perkembangan PLTN stagnan dalam 10 tahun terakhir, berbanding jauh dengan energi terbarukan yang justru meningkat pesat.

Dia contohkan, di Prancis, bauran listrik dari nuklir mencapai rekor terendah pada 2020 selama 30 tahun terakhir. Ada opsi pembangkitan energi terbarukan lebih murah menjadi penyebab.

“Berinvestasi pada PLTN bahkan dapat menggagalkan tercapainya target perubahan iklim karena seharusnya pendanaan yang ada dialokasikan kepada opsi teknologi yang sudah tersedia, murah, dan dapat diimplementasikan dengan cepat,” katanya.

Senada dengan Schneider, Craig Morris, Konsultan Independen Transisi Energi menyatakan, sulit memprediksi harga listrik dari PLTN mengingat pembangkit ini tidak terlalu merespon harga pasar.

“Jika,  kita kembali ke tahun 2000 dan memproyeksikan pengembangan energi pada 2050, maka sudah berada di tahun 2050 dengan mengandalkan energi terbarukan dan penyimpanan energi. Kalau memutuskan menggunakan nuklir dan CCS, maka akan kembali ke tahun 2000.”

Deon Arinaldo, Program Manager Transformasi Energi IESR mendorong pemerintah lebih memprioritaskan teknologi energi terbarukan untuk dekarbonisasi mendalam di sektor energi.

“Upaya dekarbonisasi sektor energi perlu cepat dan mulai sekarang juga agar sesuai Persetujuan Paris. Di Indonesia, teknologi rendah karbon yang sudah siap secara komersial dan cepat dibangun adalah energi terbarukan.”

Menyikapi ragam teknologi rendah karbon dalam kerangka energi, Zaki Su’ud dari Fakultas Matematika dan Sains Institut Teknologi Bandung (ITB) merekomendasikan beberapa kebijakan yang perlu dilakukan pemerintah untuk mendukung pencapaian target dekarbonisasi Indonesia pada 2060.

Pertama, semua sumber daya energi harus dimanfaatkan optimal dengan mengutamakan kualitas dan keamanan energi di Indonesia. Kedua, kebijakan bauran energi harus dilaksanakan dan evaluasi dengan baik terhadap ketersediaan energi yang handal, murah, berkelanjutan. Juga, harus mematuhi isu lingkungan global terutama perubahan iklim.

Ketiga, pemerintah perlu mengalokasikan dana penelitian energi terbarukan yang cukup dan mengintegrasikan optimal seluruh elemen potensial energi terbarukan Indonesia.

“Energi terbarukan masih terus berkembang dan membutuhkan kebijakan tepat dan konsisten dari pemerintah supaya bisa mendukung keamanan energi nasional dan tercapai target dekarbonisasi Indonesia.”

 

 

Contoh penggunaan tenaga surya melalui solar photovoltaik (PV) di Indonesia. Lembaga Global Green Growth Institute (GGGI) siap mengucurkan dana Rp2,5 triliun untuk mendorong penggunaan tenaga surya menggantikan energy diesel bagi industry di Indonesia. Foto : GGGI

******

Foto utama:

Exit mobile version