Mongabay.co.id

Sejumlah Peneliti Pantau Dampak Iklim dari Degradasi Hutan Mangrove

 

Hutan mangrove makin diperhatikan sebagai ekosistem dalam pemantauan perubahan iklim. Sejumlah peneliti dari dalam dan luar negeri membagi hasil penelitiannya, termasuk penggunaan sejumlah data satelit dalam pemantauan.

Prof. Danielle Wood, Director of Space Enabled Research Group, Massachusetts Institute of Technology (MIT) Media Lab, Amerika Serikat, membagi presentasinya dalam tajuk presentasi Decision Support Model & Visualization for Assessing Environmental Phenomena, Ecosystem Services, and Policy Consequences for sustainable Indonesia Seas.

Teknologi dari satelit-satelit luar angkasa untuk data perubahan iklim kini makin akrab digunakan. Alasannya, mampu memberikan informasi realtime, dikombinasikan desain model menggunakan pemodelan lingkungan, maka sejumlah data pemetaan bisa disajikan.

Danielle bahkan bisa mengukur parameter resiliensi dari penurunan tutupan mangrove seperti penghasilan, perumahan, transportasi, dan lainnya. Pemodelannya mengukur kerapuhan manusia jika hutan mangrove makin hilang. Riset dengan pemodelan dampak sosial ini akan lebih mudah menentukan keputusan karena dampaknya pada manusia lebih terukur. Salah satu penelitiannya adalah menjawab masalah banjir, penurunan muka tanah, dan resiliensi pesisir di Pekalongan, Jawa Tengah.

“Dataset dari satelit menunjukkan bagaimana proses rehabilitasi yang terjadi seperti vegetasi dan pesisir,” katanya. Untuk pemetaan potensi banjir, satelit memberikan data series dari tahun ke tahun tentang perubahan lingkungan seperti perubahan vegetasi dan pesisir. Ia bekerjasama dengan LAPAN, universitas setempat, dan pemerintah daerah untuk menjawab dampak rehabilitasi mangrove.

Presentasi singkat itu disampaikan dalam Workshop International Indonesia Sea as Global Climate Engine: Climate Change and Coastal Resilience. Kerja sama Southeast Asian Regional Centre For Tropical Biology (SEAMEO BIOTROP) dan IPB University pada 7-8 Oktober di Bogor, Jawa Barat.

baca : Pesan Presiden: Rawat Mangrove buat Jaga Pesisir, Ekonomi Masyarakat sampai Serap Emisi Karbon

 

Sejumlah nelayan pulang dari melaut dan harus melewati hamparan lumpur di sekitar Pesisir Desa Batu Belubang yang sudah kehilangan mangrovenya. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Peneliti lain, Prof David Lagomasino, Department of Coastal Studies, East Carolina University, Amerika Serikat menyajikan “Mangrove Planning for Urban Areas as The Way To Reduce The Impact Of Disaster Due To Climate Change.”

Menurutnya, sangat penting perencanaan mangrove di area urban untuk mengurangi dampak bencana iklim. “Menggunakan mangrove sebagai sarana untuk melihat perubahan, karena mangrove jadi penahan yang hebat. Ketika kehilangan mangrove kita kehilangan perlindungan,” papar David.

Hutan mangrove memberikan kayu, sumber perikanan, penyimpanan karbon, wisata, filter air, dan lainnya. Namun, kini makin mudah alih fungsi mangrove jadi tambak garam atau sawah. Ia menyontohkan Bangladesh.

Ia meneliti data satelit 50 tahun untuk memahami perubahan hutan mangrove dan perubahan lingkungan yang terjadi. Mulai dari luasan, ketinggian, alih fungsi, warna, dan jumlah karbon tersimpan. Makin banyak mangrove hilang, makin banyak warga dan properti yang terdampak. Data global menunjukkan sedikitnya 62% mangrove hilang dalam 20 tahun terakhir konversi jadi sawah, kolam tambak, atau perkebunan sawit.

Kawasan mangrove diyakini memberikan keuntungan. Ketika alih fungsi, makin banyak karbondioksida di atmosfer terlepas dari area mangrove. Solusinya adalah restorasi area yang rusak, perlu edukasi, dan rencana sesuai termasuk strategi yang menyesuaikan habitat mangrove di suatu kawasan.

Sudut pandang menarik tentang pemantauan perubahan iklim disampaikan Prof Dr Julie Winkler, dari Michigan State University, Amerika Serikat dengan judul “Climate Scenario for Non-Scientist.” Ia meneliti perkebunan kentang di Chicago yang terdampak karena produktivitas menurun akibat peningkatan suhu.

baca juga : Ini Upaya Bersama Rehabilitasi Mangrove dalam Meredam Dampak Perubahan Iklim

 

Kondisi pesisir Kabupaten Indramayau, Jabar. Walhi Jabar mencatat, pembabatan hutan bakau pasca era reformasi 1998 – 2003. Akibatnya, abrasi di sepanjang 365 kilometer pantai utara dari Cirebon di timur hingga Bekasi di barat mencapai 370,3 hektar per tahun. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Sedangkan Prof. Rajagopalan Balaji dari Colorado University, Amerika Serikat membedah rangkaian data cuaca ekstrem di pesisir. Ia meneliti penyebab banjir di sejumlah daerah di India dengan Physical Model Forecast (VIC).

SEAMEO BIOTROP menyatakan Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang rentan terhadap dampak buruk perubahan iklim. Sebagian besar penduduknya dan kegiatan ekonominya bergantung pada sumber daya alam, mulai dari kehutanan hingga wilayah pesisir dan laut.

Indonesia, negara kepulauan terbesar di Asia Tenggara, memiliki sekitar 17.500 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Disebut juga negara maritim karena 62% dari total wilayahnya ditutupi laut dan perairan. Oleh karena itu, berbagai aktivitas masyarakat termasuk masyarakat pesisir sangat terkonsentrasi ke laut, terutama dalam memanfaatkan sumber daya alam seperti berbagai jenis ikan, terumbu karang, dan minyak bumi di laut Indonesia.

Namun, karena perubahan iklim, situasi geografis dan sumber daya laut Indonesia rentan terhadap risiko bencana terkait iklim yang disebabkan oleh kondisi laut. Bencana yang paling banyak menimpa masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil adalah banjir rob akibat fenomena pasang surut air laut dan kenaikan muka air laut. Bencana lain yang dikhawatirkan adalah tenggelamnya pulau-pulau terluar yang dapat memperkecil wilayah Indonesia.

baca juga : Bencana Ekstrem, Laporan IPCC dan Antisipasi Dampak Perubahan Iklim

 

Ilustrasi. Taufik (40 tahun), warga Kampung Tambakrejo, Kelurahan Tanjung Mas, Semarang utara, Jateng, harus menahan dingin ketika berdoa di salah satu makam kerabatnya di pemakaman setempat. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Dr Zulhamsyah Imran, Direktur SEAMEO BIOTROP menyatakan prioritas program adalah ekosistem, restorasi, dan konservasi. Berikutnya keberlanjutan biodiversitas, bio energi, bioteknologi, dan memastikan keamanan pangan. Ketiga, resiliensi menghadapi perubahan iklim.

Hutan dan ekosistem pesisir menyokong ekosistem untuk menghadapi perubahan iklim. Riset yang dipublikasikan 2017, biodiversitas menyediakan 30% pengurangan emisi yang dibutuhkan pada 2030.

“Kerangka kerja Biotrop menghadapi perubahan iklim melalui penyelamatan biodiversitas,” katanya.

Antropogenik atau bencana oleh manusia makin berpengaruh selain faktor alam. Mangrove hilang 2% per tahun. “Kita harus buat koneksi laut dan gunung dengan resiliensi. Penelitian dan manajemen pengetahuan,” ujarnya. Mimpinya adalah membangun tropical education center, sebuah ruang untuk pendidikan lingkungan.

Sedangkan Arifin Rudiyanto dari Bappenas menjelaskan arah program pembangunan akibat skenario perubahan iklim. Suhu akan bertambah 1,5 derajat celcius dan berpengaruh pada peningkatan permukaan laut 0,9 cm per tahun sampai 2040. Tiga provinsi yang rentan adalah Jawa Tengah, Jakarta, dan Sulawesi Selatan. Arahannya meningkatkan kualitas lingkungan dan pembangunan rendah karbon.

Ia memaparkan, 11 dari 34 kabupaten/kota di kawasan pantai utara pulau (pantura) Jawa mengalami penurunan muka tanah rata-rata 1-15 cm/tahun. Dampaknya, 10 dari 34 area itu juga mengalami banjir rob parah setinggi 5-200 cm. Inilah lokasi prioritas dan penganggaran.

Sementara Nani Hendiarti dari Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi kembali membagi target dan capaian dampak degradasi lingkungan di Indonesia. Mangrove kritis akan diatasi dengan target rehabilitasi lebih dari 637 ribu ha. Data penurunan sampah plastik di laut pada 2020, volumenya diklaim turun 8% dari 2019. Akselerasi program ini dengan 5 aksi strategis.

perlu dibaca : Laju Degradasi Hutan Mangrove tak Sebanding dengan Upaya Rehabilitasi

 

Nampak pohon mangrove yang mati dampak perubahan pasang surut laut proyek reklamasi Pelabuhan Benoa, Bali. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Salah Penanganan

Prof. Rokhmin Dahuri, Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2001-2004 menyampaikan refleksinya atas kesalahan penanganan sejumlah masalah. Jika ditangani dari akar masalahnya, menurutnya degradasi tak akan buruk.

Biodiversitas terdiri dari tiga bagian, genetik, spesies, dan ekosistem. Ancaman pada biodiveritas adalah gejala, dan penyebabnya perlu digali. “Banyak kebijakan yang tidak bekerja karena kebanyakan kebijakan menyelesaikan gejala bukan akarnya,” sebutnya. Empat kelompok ancaman yang menjadi gejala adalah alih fungsi lahan, polusi, over eksploitasi, perubahan iklim, dan spesies invasif.

Sedangkan akar penyebabnya adalah kombinasi serakah dan over konsumsi. Hidup yang hedonis pada sumebrdaya alam, sementara kapasitas dan daya dukung terbatas. Tak heran banyak spesies hampir punah.

Akar masalah berikut adalah kemiskinan dan pengangguran akibat tindakan mengeksploitasi alam. Ini menunjukkan rendahnya kesadaran pemimpin atau kepala perusahaan membuat strategi perlindungan. Salah satu bentuk kegagalan menurutnya adalah Gross Domestic Product (GDP) sebagai tolak ukur pertumbuhan ekonomi tidak menghitung kerusakan lingkungan.

Manfaat biodiversitas sangat besar namun dinilai kecil. Misalnya nilai langsung adalah kayu, oksigen, dan pangan. Nilai tidak langsungnya sangat banyak.

Dari penilaian indek performa kunci, menurutnya hanya 20% program pembangunan fokus pada keberlanjutan dan kelestarian lingkungan. Sisanya pertumbuhan ekonomi.

Di sisi lain kapitalisme gagal mengurangi kemiskinan global. Sebelum pandemi pada 2019, setidaknya ada 3 miliar penduduk miskin dengan ukuran penghasilan kurnag dari 2 USD. Sedangkan ada 388 orang terkaya dunia melebih kekayaan dari sebagian populasi 3,3 miliar orang. Negara maju juga memproduksi karbon.

Ia memaparkan solusi di antaranya pembangunan tidak melebih daya dukung lingkungan. Karena akan produksi sampah, limbah, dan ekspolitasi. Berikutnya, panduan ekologi dalam pembangunan seperti tata ruang terintegrasi, dan produksi pangan berkelanjutan.

 

Exit mobile version