Mongabay.co.id

Lawan Krisis Iklim dari Kehidupan Sehari-Hari, Caranya?

 

 

 

 

Krisis iklim jadi masalah dunia, termasuk Indonesia. Dampaknya, sudah bisa dirasakan saat ini dari berbagai bencana muncul dari banjir, baik karena curah hujan tinggi karena akibat ekstrem, banjir pasang surut laut (rob), tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, puting beliung, badai dan lain-lain. Berbagai bencana ini jadi ancaman serius bagi manusia di bumi. Penyebabnya, berbagai kegiatan manusia yang merusak ekosistem bumi. Untuk itu, perlu upaya serius dari para pihak menekan kondisi iklim makin buruk. Tak selalu harus menunggu aksi-aksi besar, pola perilaku kehidupan sehari-hari dari masing-masing orang bisa ikut membantu mengurangi beban bumi hingga tak memperparah krisis iklim. Seperti apa?

Tiza Mafira, Direktur Climate Policy Initiative Indonesia mengatakan, lewat gaya hidup masyarakat wajib berusaha berkontribusi dalam melawan krisis iklim. Kalau tidak, maka manusia tak akan bertahan. “Kita akan punah,” katanya, dalam diskusi daring dari baru-baru ini.

Dia bilang, tidak ada yang bisa membantah kalau krisis iklim sudah terjadi dan makin parah. “Jadi mau tidak mau, jika kita peduli terhadap kenyaman hidup kita, harus lakukan sesuatu di tengah perubahan iklim yang nyata ini,” katanya.

Dari kehidupan sehari-hari yang bisa dilakukan sekaligus berkontribusi tekan emisi itu, katanya, seperti diet kantong plastik.

Krisis iklim, bagi Tiza, adalah maha krisis yang mencakup segala macam masalah lingkungan hidup dari soal sampah plastik, polusi sungai, laut, udara, penebangan hutan, penambangan batubara dan banyak lagi. Kondisi ini, katanya, memperparah krisis iklim.

Dia benarkan, kalau isu krisis iklim masih sulit dipahami banyak orang karena beberapa alasan. Pertama, tidak kasat mata, seperti emisi gas rumah kaca ini tidak kelihatan. Kedua, permasalahan cukup kompleks atau besar.

 

Hasilkan produk sawit dari tebang hutan, ini salah satu aksi manusia yang melepas emisi karbon. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

Menurut dia, aksi nyata untuk tekan krisis iklim dan itu bisa dilakukan individu-individu. Individu, katanya, bisa membuat perubahan besar untuk diri dan luar dirinya. “Artinya, kita harus melakukan perubahan untuk orang banyak. Itu bisa dengan mulai dari diri sendiri dan mengajak orang lain dengan contoh dan bukti,” katanya.

Ada tiga pertanyaan yang mesti coba cerna sebelum aksi nyata soal lingkungan. Pertama, perubahan apa yang bisa saya lakukan? Jawaban itu, katanya, bisa bervariasi, misal, kalau bidang seni, bagaimana seni untuk menyuarakan kepedulian terhadap lingkungan. Begitu pula bidang lain.

Kedua, apa yang tidak bisa saya lakukan? “Lakukan identifikasi apa yang dianggap masalah. Coba langkah semisal dengan cara membuat petisi. Apa yang mesti berubah dari sistem yang ada? Maka dibutuhkan kerja kolektif.”

Dia bilang, mereka punya aktivitas skala kecil, seperti tak pakai plastik, komposting, membuat rumah seefisien mungkin, energi terbarukan untuk penerangan. “Dari segi investasi cari yang hijau.”

Adi Pradana, Manajer Senior Lansekap dan Perkotaan Berkelanjutan WRI Indonesia mengatakan, pemanasan global itu efek gas rumah kaca, seperti karbon dioksida, gas metana dan lain-lain yang muncul dampak aktivitas manusia, salah satu di perkotaan.

Kemacetan dari kendaraan bahan bakar fosil di perkotaan ciptakan lepasan emisi. Asap dari kendaraan itu terangkat ke atmosfir dan memerangkap panas dari matahari.

Hal lain, katanya, lepasan emisi juga berasal dari deforestasi, pembalakan kayu, atau pembakaran hutan dan gambut. “Itu dilakukan karena makin banyak kebutuhan hasil hutan untuk sandang dan pangan. Seperti untuk kebutuhan minyak sawit, kedelai dan pangan lain dari perkebunan dengan membabat hutan,” katanya.

Ketika membeli dan mengkonsumsi hasil perkebunan yang merusak hutan, katanya, tanpa disadari menyebabkan perubahan iklim. Meskipun tidak langsung bakar hutan, kata Adi, tetapi secara tidak langsung membiayai perusahaan yang merusak hutan.

“Hari ini, kata para saintis kita hidup di zaman anthropocene. Jadi, periode geologis untuk manusia hidup. Itu dikatakan terbentuk seakan mengalahkan zaman dinosaurus hidup. Di mana perubahan itu disebabkan oleh satu spesies, yakni manusia. Artinya, aktivitas manusia memiliki dampak global yang signifikan terhadap ekosistem bumi.”

Hal itu terjadi karena pertumbuhan populasi manusia makin bertambah dari waktu ke waktu. Data penelitian menyebut, manusia bertambah empat miliar. Makin banyak manusia hidup, makin banyak perlu pangan, energi seperti untuk menyalakan AC. Kemudian, perlu air bersih untuk minum dan mandi serta kebutuhan manusiawi lain.

Dampak krisis iklim sudah dirasakan di Indonesia, seperti Jakarta. “Hari ini di Jakarta mengalami hal itu. Itu akibat aktivitas curah hujan dan penurunan muka tanah. Tapi hal ini juga terjadi di daerah lain. Contoh di NTB pada 2018 terjadi kekeringan selama 112 hari tanpa hujan. Di NTT, malah terjadi badai cukup besar tahun 2021 yang kita kenal dengan siklon tropis seroja. Cuaca ekstrem ini akan sering terjadi bahkan lebih intensif karena perubahan iklim,” katanya.

 

Memilah sampah dan mengelolanya, salah satu aksi warga menekan krisis iklim. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Bagimana di luar Indonesia? Hal serupa juga terjadi, seperti kebakaran hutan, banjir di Eropa dan China. “Itu dari mana? Karena perubahan iklim yang betul-betul nyata. Itu disebabkan gaya hidup dan pola konsumsi kita sehari-hari yang mengabaikan lingkungan.”

Berkontribusi tekan emisi dalam kehidupan sehari-hari, katanya, bisa dilakukan dengan mulai dari sendiri terlebih. “Aktivitas sederhana kita berbelanja dan makan menyisakan sampah. Setiap kita punya tanggung jawab untuk itu.” Selain aksi sendiri, juga sambil mendorong mendorong pemerintah bikin kebijakan pro lingkungan. “Jika tidak pro, kita berikan masukan yang konstruktif.”

Mungkinkah terjadi kepunahan? “Kepunahan bisa saja terjadi, sudah ada ribuan spesies baik amfibi dan melata yang mulai punah. Ini akan makin meningkat kalau perubahan iklim terus terjadi karena degradasi lingkungan karena aktivitas manusia,” katanya.

Dia sebutkan, konflik manusia dan satwa makin sering terjadi karena banyak kerusakan habitat (hutan), seperti beberapa waktu lalu, ada gajah masuk rumah warga karena habitat dirusak . “Itu alarm bagi kita semua. Bagaimana caranya bisa menyuarakan isu ini? WRI mencoba menyediakan pengetahuan dan data yang bisa dicerna semudah mungkin oleh masyarakat.”

Salah satu, Aplikasi Emisi untuk mengecek emisi dengan mudah lewat smartphone. Salah satu tujuannya, untuk mengetahui seperti apa kontribusi setiap diri pengguna aplikasi itu dalam pemanasan global.

WRI, katanya, juga mencoba memberikan solusi untuk tanam pohon. “Kami jadikan itu untuk mengetahui harus tanam berapa, komunikasi dengan kemitraan, harga berapa. Mungkin jadi salah satu solusi yang WRI sediakan untuk meminimalisir pemanasan global. Termasuk cara yang kami lakukan dengan lewat diskusi dan lain-lain.”

Nanda Noor, Penanggung Jawab Program Pengimbangan Emisi WRI Indonesia menambahkan, Aplikasi Emisi hadir untuk memberikan panduan, pilihan, dan platform yang membantu setiap individu maupun organisasi untuk menghitung, mengurangi dan beraksi mengurangi pelepasan emisi dari gaya hidup.

“Jika kita coba tanam satu , 10,100 pohon di halaman rumah, sekolah, kantor, sudah cukup? Atau kalau kita mau aksi untuk iklim lebih, sebaiknya apa yang diambil atau dilakukan? Maka pertanyaan itu akan terjawab lewat aplikasi emisi itu,” katanya.

Petani memilih bibit pohon untuk di tanami di lahan hutan kemitraan di Kecamatan Tenggulun, Kabupaten Aceh Tamiang. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Aplikasi Emisi 2.0 menggunakan iptek Indonesia, berbasis informasi lapangan, hitungan tak selalu sederhana, kalkulator pun mudah diaplikasikan. “Terulas ahli nasional dan global, transparan, pemutakhiran terjadwal. Sudah bisa di-download di vitur penyedia aplikasi.”

Dia bilang, tujuan dari pembuatan aplikasi ini antara lain, pertama, bisa belajar apa itu emisi dan sumbernya. Kedua, dapat mencatat perubahan emisi individu per hari. Ketiga, bisa terlibat aksi iklim langsung untuk kurangi emisi. Keempat, dapat melakukan restorasi hutan sebagai kebutuhan daerah. Kelima, dapat membantu iptek emisi dan pohon Indonesia.

Dia katakan, beberapa kebiasaan perlu dilakukan untuk mengurangi emisi atau semisal tak mampu mengurangi, setidaknya menyerap emisi, seperti masak makanan atau pesan secukupnya. Kalau memungkinkan ambil di lokal, kurangi konsumsi daging merah karena emisi lebih tinggi daripada sayur dan buah. “Biasakan makan dan minuman alami. Upayakan menanam pohon.”

Dalam penggunan listrik, katanya, lebih bijaksana, seperti matikan lampu kalau tidak digunakan, alat hemat energi. “Jika memungkinkan ganti dengan energi terbarukan.”

Dari pakaian, upayakan terawat agar lebih awet. “Upayakan lebih kreatif agar tidak selalu ingin beli. Semisal terpaksa harus beli, setidaknya lebih selektif,” katanya.

“Perihal sampah, bisa lakukan reduce. Semisal ganti buku dengan e-book. Karena itu akan mengurangi penebangan pohon untuk produksi kertas. Bisa juga reuse atau gunakan ulang, dengan jadikan kardus untuk bahan kerajinan atau daur ulang.”

Steven Wongsoredjo, CEO dan Co-Founder Aplikasi Super turut berbicang dalam diskusi itu. Dia paparkan, aplikasi penyedia bantuan agen dan toko kelontong yang melayani kebutuhan di kota sampai pelosok desa di Indonesia untuk kulakan sembako dan barang buat kebutuhan sehari-hari.

“Sebenarnya, kami melalui Super ingin membantu memudahkan belanja sembako dengan harga murah atau paling tidak setara,” katanya.

Setelah dia pelajari, rantai distribusi yang efisien menjadi kunci dari penyetaraan harga. Dengan menghubungkan pemasok besar ke agen-agen kecil, dapat mengurangi kebutuhan gudang dan armada berlebihan dalam rantai suplai yang efektif.

“Karena itu, kami dapat memperluas jangkauan dan tak kalah penting mengurangi jejak karbon, hingga kurangi emisi karbon.”

Yunita Siregar, aktris pemeran Tuji dalam drama seri #CeritaKita mengatakan, sejak memerankan tokoh Tuji, dia merasa sangat dekat dengan isu lingkungan. “Dari sinetron itu, saya sadar. Ternyata cerita di sinetron itu sesuai dengan kehidupan kita. Banyak dialog yang kaya pesan moral dan adegan soal keharusan untuk lebih peduli terhadap lingkungan.”

Dia bilang, memulai perubahan bisa dari dri sendiri, seperti belanja dengan bawa kantong sendiri atau tak menumpuk atau beli pakaian berlebih padahal orang lain masih banyak yang memerlukan.

 

Tomat hasil tanam organik. Tanam dan konsumsi pangan organik juga berkontribusi tekan emisi. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version