Mongabay.co.id

Terkait Amdal, LSM Lingkungan Aceh Ajukan Uji Materi UU Cipta Kerja

Inilah Sungai Agusen atau hulu DAS Alas-Singkil di Kabupaten Gayo Lues. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh [HAkA] mengajukan Permohonan Uji Materi UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi.

Permohonan Uji Materi UU Nomor 11 Tahun 2020 Pasal 22 Angka 5 ini terkait perubahan ketentuan Pasal 26 ayat [3] Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup [UU PPLH] yang mengatur tentang ruang partisipasi publik dalam proses analisis mengenai dampak lingkungan atau amdal.

Badrul Irfan, Sekretaris Yayasan HAkA, mengatakan dalam UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup [PPLH], amdal merupakan syarat untuk pengurusan izin sebuah usaha, khususnya yang berdampak terhadap lingkungan hidup.

“Tujuannya, menghindari terjadinya kerusakan lingkungan hidup dan mengatasi dampak terhadap lingkungan yang terjadi akibat kegiatan usaha tersebut,” ujarnya, Rabu [13/10/2021].

Pasal 26 Ayat [3] UU Nomor 32 Tahun 2009 juga mengatur, dokumen amdal disusun oleh masyarakat yang terdampak langsung, pemerhati lingkungan hidup, dan atau yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam prosesnya.

Namun, pada UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, partisipasi publik dalam penyusunan amdal dibatasi dan peran pegiat lingkungan hidup atau pemerhati lingkungan dihilangkan.

“Pada Pasal 22 angka 5 UU Cipta Kerja hanya dituliskan, penyusunan amdal dilakukan dengan melibatkan masyarakat terkena dampak langsung,” ujarnya.

Menurut Badrul, dihapusnya hak partisipasi pemerhati lingkungan atau yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan pada proses penyusunan amdal, akan ada masalah di kemudian hari.

Ini juga akan menghilangkan hak atau kesempatan lembaga pemerhati lingkungan maupun masyarakat lain, untuk memperjuangkan hak terhadap lingkungan yang baik dan sehat sebagaimana dijamin konstitusi.

“Dihapusnya hak partisipasi pemerhati lingkungan menyebabkan hilangnya hak konstitusional kami dan lembaga masyarakat sipil selaku pemerhati lingkungan,” sebutnya.

Baca: Pakar Nilai Aturan Turunan UU Cipta Kerja soal Kehutanan Tak Sinkron

 

Inilah Sungai Agusen atau hulu DAS Alas-Singkil di Kabupaten Gayo Lues, Aceh. yang airnya begitu jernih dan sejuk. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kuasa hukum Yayasan HAkA, Harli, S.H mengatakan, hak atas lingkungan untuk lembaga lingkungan berbeda dengan hak masyarakat terdampak langsung.

“Hak lembaga lingkungan terhadap lingkungan memiliki arti luas. Hak tersebut seperti hak memperjuangkan kelestarian hutan atau kelangsungan keanekaragaman hayati. Ini dikarenakan, kelestarian dan kelangsungan keanekaragaman hayati tidak dapat dinilai dengan Rupiah, maka kerugian karena kehilangan hal tersebut juga tidak dapat dinilai dengan uang,” terangnya.

Harli menambahkan, bagi seorang peneliti, kehilangan objek penelitiannya merupakan kerugian sangat besar yang tidak dapat dinilai.

“Permohonan uji materi ini telah kami daftarkan pada Kamis, 7 Oktober 2021, dengan akta pengajuan permohonan Nomor: 46/PUU/PAN.MK/AP3/10/2021,” ungkapnya.

Baca juga: Hilangnya Fungsi Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan dalam Era Omnibus Law

 

Air bersih merupakan potensi alam yang melimpah di hutan Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Hasil analisis 

Hasil analisis yang dilakukan Indonesian Center for Environmental Law [ICEL] menjelaskan, UU Cipta Kerja menghapus unsur pemerhati lingkungan sebagai bagian dari masyarakat yang harus dilibatkan dalam penyusunan amdal.

“Sebagai contoh terlihat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Proses konsultasi publik dalam tahap penyusunan amdal untuk menjaring saran, pendapat dan tanggapan masyarakat terhadap usaha dan/atau kegiatan yang hendak dibangun hanya diarahkan pada pemrakarsa dan masyarakat yang terkena dampak langsung saja. Ketiadaan pemerhati lingkungan tentunya merupakan sebuah kemunduran,” sebagaimana dijelaskan dalam laporan berjudul Setelah UU Cipta Kerja: Meninjau Esensi Partisipasi Publik Dalam Amdal terbitan Desember 2020.

 

Kawasan Ekosistem Leuser yang merupakan hutan mengagumkan di Sumatera. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Menurut ICEL, pemerhati lingkungan pada dasarnya memiliki peran penting dalam memperkuat kapasitas masyarakat. “Hal ini karena adanya faktor sosial yang merupakan salah satu faktor penghambat, untuk meningkatkan partisipasi publik dalam proses penyusunan amdal.”

Faktor sosial yang dimaksud adalah rendahnya tingkat pendidikan dan terbatasnya akses informasi yang mempengaruhi tingkat partisipasi.

“Terdapat kesulitan bagi publik untuk memahami informasi yang berkenaan dengan proyek ataupun amdal itu sendiri, mengingat masyarakat belum tentu memahami bahasa sains dan teknologi yang digunakan dalam proses pengkajiannya.”

ICEL berpendapat, organisasi lingkungan telah lama diakui kepentingannya untuk bertindak sebagai penjaga dan pengawal segala bentuk kepentingan alam, baik di dalam maupun luar pengadilan.

“Penghapusan elemen pemerhati lingkungan berpotensi menghilangkan akses masyarakat atas keadilan dan menjauhkan pemerintah dalam pencapaian objektif good governance. Pemerhati lingkungan harus diberi hak untuk menyampaikan saran, pendapat, dan tanggapan terhadap rencana usaha atau kegiatan yang wajib direspon oleh penyusun amdal,” ungkap laporan itu.

 

 

Exit mobile version