Mongabay.co.id

Hutan Sulsel Terancam Illegal Logging, Tambang dan Tata Kelola yang Buruk

 

Hutan di Sulawesi Selatan (Sulsel) mengalami keterancaman dalam beberapa tahun terakhir. Dalam kurun waktu 10 tahun sejak 2009 hingga 2019, terjadi perubahan pada ekosistem hutan di Sulawesi Selatan yang sangat signifikan.

Hasil kajian spasial menunjukkan bahwa hutan yang berubah fungsi menjadi non-hutan mencapai 69.323 Ha. Sementara hutan yang tidak mengalami perubahan 1.297.643,22 Ha. Perubahan fungsi hutan paling banyak menjadi belukar yang luasannya mencapai 35.290,67 Ha.

Demikian termuat dalam buku “Membaca Hutan Sulawesi Selatan: Kondisi, Ancaman, Legalitas dalam Pengelolaan Hutan” yang diterbitkan Perkumpulan Jurnalis Lingkungan Sulawesi Selatan (JURnal Celebes), dalam diskusi di kantor JURnal Celebes, Makassar, Sabtu (9/10/2021).

Mustam Arief, Direktur JURnal Celebes sekaligus editor buku ini menjelaskan bahwa perluasan lahan pertanian juga berkontribusi pada pengurangan hutan, total perubahan hutan menjadi pertanian seluas 25.071,67 Ha.

“Alihfungsi hutan menjadi lahan pertanian tentu akan mengganggu fungsi lingkungan atau jasa ekosistem,” katanya.

Akan tetapi alihfungsi hutan untuk sektor pertanian ini mengindikasikan bahwa ada tuntutan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan yang mendorong pilihan tersebut. Oleh sebab itu, diperlukan upaya serius dari pemerintah untuk menjaga hutan tetap lestari namun tetap menjamin kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan.

Deforestasi dan degradasi hutan di Sulsel umumnya terjadi akibat pembukaan lahan untuk pertanian dan perkebunan, pembalakan liar oleh masyarakat untuk kepentingan industri, dan pertambangan.

Salah satu temuan menunjukkan bahwa perubahan hutan menjadi non-hutan banyak terjadi di dalam konsesi milik PT. Vale Indonesia Tbk., Blok Sorowako.

baca : Atasi Masalah Kehutanan di Sulsel, Dibutuhkan Sinergi Parapihak

 

Buku “Membaca Hutan Sulawesi Selatan: Kondisi, Ancaman, Legalitas dalam Pengelolaan Hutan” terbitan JURnal Celebes mengungkap banyak fakta mengkhawatirkan terkait hutan di Sulsel. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Menariknya, di lokasi deforestasi yang terjadi di dalam konsesi PT. Vale Indonesia ini, tidak semuanya saat ini berjalan penambangan perusahaan, adapula yang justru menjadi lahan pertanian.

“Meskipun demikian, tentu sebagai pemegang konsesi PT. Vale Indonesia harus bertanggungjawab dan pemerintah juga harus serius dalam melakukan pengawasan dan penegakan hukum, apalagi jika diperhatikan pada peta di bawah ini, deforestasi justru banyak terjadi di dalam kawasan hutan.”

Luas hutan yang hilang sejak 2009 hingga 2019 di konsesi milik PT. Vale Indonesia Tbk. mencapai 16.138 Ha, terdiri atas 6.031 Ha hutan primer dan 10.107 Ha hutan sekunder.

Terkait deforestasi hutan sejak tahun 2012 hingga 2019, total deforestasi di Sulawesi Selatan mencapai 66.158,64 hektar. Jika dirata-ratakan, maka laju deforestasi di Sulawesi Selatan setara 1,1 hektar setiap jam.

Deforestasi terbesar terjadi pada tahun 2015-2016, mencapai 30.144,92 hektar. Hasil penelusuran lebih lanjut, deforestasi pada tahun tersebut terbesar terjadi di Kabupaten di Kabupaten Luwu Timur dan Luwu Utara, masing-masing seluas 18.718,14 Ha dan 4.159,64 Ha.

Data ini menunjukkan bahwa semakin luas ekosistem hutan suatu wilayah, maka dorongan terjadinya deforestasi juga meningkat. Akan tetapi, di daerah lain yang memiliki ekosistem hutan luas seperti di Tana Toraja dan Toraja Utara, tren deforestasinya tidak semasif di Kabupaten Luwu Timur dan Luwu Utara.

“Artinya, deforestasi juga bergantung pada tata kelola SDA di suatu daerah dan peran serta masyarakat dalam menjaga ekosistem hutannya.”

baca juga : Menelisik Tantangan dan Harapan Pertanian Organik di Sulsel

 

Dalam kurun waktu 10 tahun sejak 2009 hingga 2019, terjadi perubahan pada ekosistem hutan di Sulawesi Selatan yang sangat signifikan. Hasil kajian spasial menunjukkan bahwa hutan yang berubah fungsi menjadi non-hutan mencapai 69.323 Ha. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Tambang di Kawasan Hutan

Menurut Mustam, tantangan lain dari tata kelola hutan di Sulsel adalah ekspansi pertambangan yang cukup besar, bisa dilihat dengan adanya 31 IUP yang telah dan akan beroperasi.

“Hampir sebagian besar IUP itu berada di di kawasan hutan, dan itu akan berkontribusi mengurangi puluhan ribuan hektar kawasan hutan di lokasi-lokasi yang sebenarnya merupakan kawasan strategis untuk dipertahankan dalam rangka keseimbangan ekologi.”

Ekosistem hutan yang paling terancam oleh pertambangan adalah wilayah sebelah utara Sulawesi Selatan yaitu Luwu Raya (Kabupaten Luwu, Luwu Timur, dan Luwu Utara). Total luas ekosistem hutan yang telah dibebani izin usaha pertambangan di Luwu Raya mencapai 97.960 Ha.

Menurut Mustam, hal ini harus segera dievaluasi mengingat hutan terakhir di Sulawesi Selatan berada di daerah-daerah tersebut. Apalagi daya rusak pertambangan terhadap hutan dapat dilihat pada PT. Vale Indonesia yang dalam kurun waktu 2009-2019 telah menghilangkan hutan 16.138 Ha, ini belum termasuk deforestasi sebelum tahun tersebut.

Berdasarkan hasil olah data peta Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) yang diakses pada webgis Kementerian ESDM, terdapat 101.072 Ha hutan Sulawesi Selatan yang terancam hilang karena berada dalam 36 Izin Usaha Pertambangan.

“Besar kemungkinan, izin pertambangan baru akan terus menjamur sebagai konsekuensi UU Omnibus Law Cipta Kerja yang memberikan berbagai kemudahan bagi pelaku investasi.”

baca juga : Di Saat Industri Kayu Anjlok, Pembalakan Liar di Sulsel Justru Meningkat

 

Perluasan lahan pertanian di Sulsel berkontribusi pada pengurangan hutan, total perubahan hutan menjadi pertanian seluas 25.071,67 Ha. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Tata Kelola yang Buruk

Hal lainnya yang menjadi masalah kehutanan di Sulsel adalah buruknya tata kelola yang ditandai dengan kurangnya implementasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SLVK), terutama untuk industri kecil.

Berdasarkan temuan pemantauan yang dilakukan Jaringan Pemantauan Independen Kehutanan dan JURnal Celebes, dari sekitar 25 perusahaan kayu di Sulsel hanya 7 perusahaan yang memiliki sertifikat SLVK, sementara hampir sebagian besar industri kecil yang dipantau itu tidak memiliki sertifikat SLVK.

“Alasan pelaku industri kecil ini bahwa adanya sertifikat SLVK dianggap belum memberi nilai tambah kepada produk-produk yang dihasilkan. Mereka tidak menolak keberadaan SLVK, karena memang menyadari bahwa legalitas produk itu menjadi bagian penting bagi industri kehutanan saat ini dan ke depan. Namun mereka juga berharap pemerintah memberi nilai tambah kepada industri-industri kecil yang memiliki sertifikat SLVK.”

Temuan lain terkait SLVK bahwa hampir 12 tahun skema SVLK berjalan tetapi sebagian besar industri terutama industri menengah ke bawah belum mengetahui skema SVLK.

“Minimnya sosialisasi SVLK yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan menjadi kendala utama dari masih banyaknya industri-industri kayu di Sulsel yang belum memiliki sertifikat SVLK,” kata Mustam.

perlu dibaca : Terdampak Pandemi, Pelaku Industri Kayu di Sulsel Butuh Dukungan Pemerintah

 

Jurnal Celebes memantau selama sembilan bulan terhadap 27 perusahaan di lima provinsi menemukan bahwa berbagai pelanggaran hampir dilakukan semua perusahaan, baik pelanggaran kecil yang bersifat teknis hingga pelanggaran prinsipil serius regulasi. Foto: Jurnal Celebes/Mongabay Indonesia.

 

Dampak UU Omnibus Law

Buku ini juga menyoroti UU Omnibus Law kaitannya dengan kelestarian ekosistem hutan, dimana uu ini antara lain menghapus ketentuan luas minimal 30 persen kawasan hutan dan penutupan hutan dari luas daerah aliran sungai (pasal 18 ayat 2 UU Kehutanan).

“Padahal dengan adanya ketentuan tersebut saja, selama ini tutupan hutan di suatu DAS masih banyak yang belum mencukupi 30 persen dan justru semakin berkurang. Contohnya di Sulawesi Selatan, tiga DAS besar yaitu DAS Walanae, DAS Saddang, dan DAS Jeneberang, berturut-turut tutupan hutannya hanya 14,32 persen, 17,09 persen, dan 16,59 persen,” jelas Mustam.

Tutupan hutan suatu DAS sendiri sangat memengaruhi tingkat erosi lahan dan sedimentasi sungai, fungsi konservasi air, dan kejadian bencana ekologis. Dalam Omnibus Law Cipta Kerja, penentuan luas kawasan hutan dan tutupan hutan diatur sesuai dengan kondisi fisik dan geografis DAS atau pulau.

Menurut Mustam ini, jika ditelisik dalam PP No.23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, sebagai turunan UU Omnibus Law Cipta Kerja, dijelaskan dalam pasal 41 bahwa Menteri bertanggungjawab untuk menetapkan dan mempertahankan luas kawasan hutan dan penutupan hutan secara proporsional di suatu DAS, pulau, dan/atau provinsi dengan mempertimbangkan empat hal, yaitu biogeofisik, daya dukung dan daya tampung lingkungan, karakteristik DAS, dan keanekaragaman flora dan fauna.

“Artinya, hal ini terdengar baik, tapi juga mengkhawatirkan, sebab dengan adanya batas minimal seperti sebelumnya saja, pemerintah kesulitan mempertahankan tutupan hutan minimal 30 persen dari luas DAS. Sehingga, ambang batas minimal 30 persen tetap diperlukan guna memastikan keberlanjutan ekosistem hutan.”

 

Exit mobile version