Mongabay.co.id

Rencana Penyediaan Listrik 2021-2030 Lebih Hijau, Benarkah?

Energi terbarukan dari turbin angin yang dibangun Tri Mumpuni di Pulau Sumba. Foto: dokumen Tri Mumpuni/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Pemerintah telah mengeluarkan rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2021-2030 yang diklaim lebih hijau karena memberikan porsi lebih banyak untuk energi terbarukan.

“RUPTL PLN saat ini lebih hijau karena porsi penambahan pembangkit energi baru dan terbarukan sebesar 51,6%, lebih besar dibanding penambahan pembangkit fosil sebesar 48,4%,” kata Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, dalam webinar Diseminasi RUPTL 2021-2030, baru-baru ini.

Pemerintah Indonesia, katanya, terus terlibat aktif memenuhi target Perjanjian Paris. Akhir 2024, katanya, bauran energi terbarukan akan mencapai lebih 24%, bauran batubara turun setelah 2026. BBM setelah 2025 hanya untuk pasokan daerah terluar. Bauran gas, variatif karena sebagai load follower dan peaker.

Untuk itu, katanya, pemerintah akan menjaga biaya pokok produksi (BPP) pembangkitan tidak naik, dengan cara mendahulukan pembangkit energi terbarukan yang tak banyak meningkatkan BPP, mendorong lebih banyak PLTS karena harga cenderung turun. Juga mendorong co-firing PLTU dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan dan program penggantian diesel dengan pembangkit energi terbarukan (dedieselisasi).

Arifin mengatakan, tuntutan industri pakai energi hijau dan penyediaan listrik dari sumber energi rendah karbon jadi tantangan tersendiri dalam penyediaan energi di Indonesia.

Pertumbuhan perekonomian yang terdampak pandemi, katanya, juga berdampak pada pertumbuhan listrik yang menyebabkan beberapa sistem besar seperti Jawa-Bali dan Sumatera berpotensi kelebihan pasokan (over supply).

Program 35 gigawat juga akan masuk sekitar 14.700 megawatt dalam dua tahun ke depan, sebagian besar PLTU batubara. Data KESDM, elektrifikasi per akhir Juni 2021, mencapai 99,37%.

“Ada beberapa provinsi yang perlu perhatian khusus yaitu Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Papua,” katanya.

Evi Haryadi, Direktur Perencanaan Korporat PLN, mengatakan, RUPTL 2021-2030 disusun dalam ketidakpastian permintaan listrik dampak pandemi COVID-19. Realisasi pertumbuhan listrik pada 2020 hanya -0,79%. Diproyeksi pertumbuhan listrik 10 tahun ke depan rata-rata 4,9% lebih rendah dari RUPTL 2019-2028 dengan rata-rata 6,4% per tahun.

Haryadi mengatakan, program 35 gigawatt yang telah direncanakan sejak 2015 sebagian besar masuk masa konstruksi dan segera beroperasi.

 

Baca juga: Belajar dari Kasepuhan Ciptagelar, Panen Energi dari Air dan Matahari

Indonesia masih andalkan batubara sebagai sumber energi padahal sumber energi terbarukan banyak. Foto : Tommy Apriando

 

Untuk pengembangan energi terbarukan, katanya, memperhitungkan keseimbangan antara pasokan dan permintaan, kesiapan sistem, keekonomian, serta harus diikuti kemampuan domestik untuk memproduksi industri energi terbarukan agar Indonesia tak hanya jadi importir.

Menurut Haryadi, transisi energi tetap memperhatikan trilemma energi, yakni keamanan pasokan, keberlanjutan dan keterjangkauan.

“Transisi energi ke terbarukan menjadi upaya bersama antara PLN, pemerintah dan semua pihak hingga dampak biaya tak hanya dibebankan kepada PLN maupun masyarakat, juga pemerintah dan lembaga donor internasional.”

Pertumbuhan listrik 2021, katanya, mempertimbangkan komitmen masuknya pelanggan besar potensial yang sudah sepakat untuk jual beli listrik.

Skenario dalam perencanaan infrastruktur kelistrikan pakai skenario moderat. Ini berdasarkan realisasi permintaan sampai Oktober 2020 jauh lebih baik dibanding proyeksi sebelumnya sejak pandemi.

Estimasi 2020, permintaan 242 TWh dengan pertumbuhan -0,4%. Skenario ini pakai rata-rata pertumbuhan ekonomi sekitar 5%. Proyeksi penjualan pada skenario ini tertunda tiga tahun dibanding RUPTL 2019-2028.

Data PLN, kapasitas terpasang pembangkit PLN pada 2020, 63,3 gigawatt. Rencana penambahan pembangkit baru 40,6 gigawatt selama 10 tahun dengan porsi energi terbarukan mencapai 20,9 gigawatt atau 51,6%. Rencananya, pembangkit PLTU akan pensiun 1,1 gigawatt dan ada penggantian PLTD, PLTM, PLTG tua 3,6 gigawatt. Hingga, kapasitas pembangkit PLN pada 2030 jadi 99,2 gigawatt.

Untuk mencapai rencana ini PLN meminta peran swasta dalam pengembangan infrastruktur ketenagalistrikan. PLN memberi 64,8% porsi pembangkit kepada swasta, dan 56,3% energi terbarukan.

Porsi besar untuk PLTS, 63,7% (54,4% on grid) juga akan dikembangkan swasta.

Dalam peta jalan pengembangan pembangkit energi terbarukan 2021-2030, penambahan pembangkit hingga 2025 mencapai 10,6 gigawatt.

“PLT EBT base merupakan rencana PLTU yang belum commited dan dapat digantikan pembangkit EBT untuk memenuhi kebutuhan pembangkit beban besar. Jenis pembangkit akan ditentukan melalui kajian yang lebih komprehensif,” katanya.

Untuk mencapai bauran energi terbarukan 23% pada 2025 PLN akan meningkatkan keberhasilan COD PLTP (1,4 gigawatt) dan PLTA atau PLTM (4,2 gigawatt) dengan percepatan izin, eksplorasi dan pembebasan lahan.

Ada program penggantian pembangkit diesel, 588 megawatt menjadi PLTS 1,2 gigawatt peak dan baterai. Juga akan dibangun 4,7 gigawatt PLTS dan 0,6 gigawatt PLTB untuk mencapai target bauran energi ini.

Untuk pembangkit beban dasar setelah 2025 yang sebelumnya dirancang pakai PLTU batubara, akan diganti dengan PLT terbarukan base 1 gigawatt.

 

Baca juga: Kala PLTU Batubara Picu Perubahan Iklim dan Ancaman Kesehatan Masyarakat

Sekitar 10 hektar mangrove dibabat untuk pembangunan PLTU Teluk Sepang, Agustus 2017. Foto: Koalisi Langit Biru

 

Tak serius?

PLN juga akan mempensiunkan 1,1 gigawatt PLTU sub critical di Muarakarang, Priok, Tambaklorok dan Gresik pada 2030.

Konsep pengembangan infrastruktur ketenagalistrikan dalam transisi energi bergantung pada ketersediaan sumber daya lokal, selama pasokan aman, dan langsung berkaitan dengan kemajuan ekonomi nasional.

“Listrik merupakan enabler industri hingga keekonomian tarif listrik menentukan kemajuan perekonomian nasional,” katanya.

Haryadi mengatakan, batubara masih berperan sangat penting pada ketahanan energi nasional karena menjadi pasokan primer yang terkendali, harga terjangkau, namun belum memenuhi kriteria emisi. Saat ini, PLTU batubara dilengkapi dengan carbon capture and storage (CCS) dan integrated gasification combine cycle (IGCC).

Sisi lain, ada energi terbarukan intermiten yakni solar PV dengan harga terjangkau namun dia merasa keamanan pasokan tak terjamin. Karena itu, katanya, perlu baterai sebagai pelengkap.

Bagaimana dengan geothermal?

“Pasokan terjamin dan terkendali serta rendah emisi, namun mahal,” katanya.

Untuk memasang PLTS secara massif PLN khawatir berdampak pada sistem karena fenomena duck curve.

Maksudnya, kata Haryadi, saat PLTS mulai produksi, pembangkit lain harus menurunkan produksi.

“Produksi PLTS menurun pada sore hari, terjadi kenaikan beban, dan pembangkit lain harus memenuhi kebutuhan daya itu dalam waktu cepat hingga butuh kemampuan peaking.”

Karena itu, pengembangan centralized PV ditargetkan untuk melistriki banyak komunitas terpencil yang jauh dari grid pada daerah tertinggal, pulau-pulau terdepan yang berbatasan dengan negara tetangga dan pulau-pulau terluar lain.

Sisi lain, PLN akan memanfaatkan sumber energi terbarukan dari air, panas bumi termasuk panas bumi skala kecil atau modular, biofuel, angin, sinar matahari, biomasa sampah dan lain-lain.

“Serta mendukung upaya renewable energy based on industrial development.”

Untuk konversi PLTD ke energi terbarukan dapat menggunakan baterai. Strategi ini untuk daerah dengan jam nyala rendah, di bawah 12 jam per hari, umumnya Indonesia Timur.

Pengembangan micro grid untuk daerah-daerah terisolasi atau daerah yang dalam dua sampai tiga tahun ke depan belum direncanakan untuk terbangun distribusi atau pembangkit termal kecil, diusulkan pakai PLTS.

Dia sebutkan juga, kalau pemerintah akan gunakan pembangkit energi terbarukan sebagai pasokan daya untuk ibukota baru.

Untuk mengurangi dampak atau risiko kelebihan pasokan, PLN akan meminimalkan penambahan kapasitas pembangkit baru dan meningkatkan permintaan dengan program pemasangan agresif seperti kompor induksi, kendaraan listrik dan lain-lain.

PLN juga mendorong pemerintah memicu pertumbuhan ekonomi hingga dapat meningkatkan permintaan listrik dan menciptakan demand baru di kawasan industri, kawasan ekonomi khusus, destinasi pariwisata prioritas dan super prioritas.

Pembangkit PLTG juga akan terrelokasi ke daerah atau sistem yang perlu meminimalkan biaya investasi dan meningkatkan utilisasi aset.

 

Baca juga: PLTU Terdampak COVID-19, Saatnya Kesehatan Warga jadi Pertimbangan Kala Bangun Pembangkit

Matahari penuhi keperluan energi di Kepri Coral Resort. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

Co-firing biomassa

Strategi lain andalan pemerintah yakni penggunaan co-firing menggunakan biomasa sampah kayu dan lain-lain pada PLTU batubara disamping pemanfaatan PLTS di lahan bekas tambang, waduk dan PLTS untuk menurunkan pemakaian pembangkit.

Implementasi co-firing biomasa pada PLTU PLN dengan porsi rata-rata 10% untuk PLTU di Jawa Bali dan 20% untuk PLTU di luar Jawa-Bali.

Opsi ini dipilih, katanya, karena program co-firing tidak memerlukan biaya modal baru dan hanya mengoptimalkan harga biomasa hingga risiko kelebihan pasokan dapat dihindari sembari meningkatkan bauran energi terbarukan.

“Selain juga penyesuaian jadwal COD pembangkit, transmisi dan gardu induk. Negosiasi penyesuaian jadwal baik kepada IPP maupun penyedia bahan bakar.” katanya.

Untuk co-firing biomassa pada PLTU batubara, PLN telah mengimplementasikan proyek percontohan co-firing dengan porsi 5% biomassa pada 32 PLTU yang ada dan akan diperluas hingga ke 52 lokasi.

Dia bilang, perlu biomassa yang sangat besar sekitar 8-14 juta ton per tahun untuk mencapai target bauran energi. PLTU baru harus dirancang untuk dapat co-firing minimal 30% biomassa.

Haryadi membenarkan, ada tantangan soal keberlangsungan pasokan biomassa dalam jangka panjang, harga yang masih mahal, biaya investasi lebih tinggi untuk porsi co-firing biomassa yang lebih tinggi dan dampak terhadap efisiensi dan BPP.

 

Tak memadai

Adila Isfandiari, Peneliti kampanye iklim dan energi Greenpeace Indonesia, menilai komitmen nyata pemerintah Indonesia untuk mencapai target 1,5 derajat celcius masih jauh dari memadai.

“Klaim RUPTL 2021-2030 berorientasi hijau tidak tepat. Batubara masih menjadi sumber andalan sektor kelistrikan nasional,” kata Dila mengacu pada rencana penambahan PLTU sebesar 13,8 gigawatt, yakni 43% dari kapasitas PLTU eksisting (31,9 gigawatt) dalam kurun waktu 2021-2030.

Tahun 2030, porsi batubara pada bauran energi masih akan memiliki porsi 59,4% atau dua kali lipat dari porsi energi terbarukan yang hanya 24,8% dan sebagian besar bersumber dari air dan panas bumi.

Penambahan kapasitas baru ini, katanya, akan menambah kontribusi emisi dari sektor energi berbuntut kontribusi emisi gas rumah kaca terbesar pada 2030 82 juta ton per tahun atau setara 40 juta mobil setahun.

Greenpeace menilai, belum ada sinyal batubara memasuki masa pensiun cepat. Di tengah kemunculan komitmen banyak negara dan lembaga finansial global untuk berhenti mendanai proyek batubara, Indonesia masih akan membangun PLTU baru yang jadikan Indonesia sebagai satu dari lima negara Asia yang menguasai 80% investasi pembangunan pembangkit batubara di dunia.

“Rencana setop PLTU batubara pun baru akan mulai pada 2023 dengan menyelesaikan pembangunan PLTU baru yang telah mendapat kontrak,” katanya.

Rencana PLN mempensiunkan PLTU batubara bertahap mulai 2025-2055 masih sangat bertentangan dengan rekomendasi dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang meminta pemerintah berbagai negara menutup 80% PLTU yang sudah beroperasi pada 2030. Juga phase out pada 2040 untuk mencapai target 1,5 derajat celcius.

“Beban biaya batubara makin tinggi,” kata Dila.

Mengutip studi Carbon Tracker, pada 2028 perlu biaya lebih mahal untuk mengoperasikan PLTU batubara daripada membangun solar PV baru. Terlebih ketika memperhitungkan harga bahan bakar batubara sangat fluktuatif, mencapai US$247 per ton, sangat jauh dibandingkan harga DMO Indonesia yakni US$70 per ton. Ini rekor tertinggi sejak 2008.

“Fluktuasi harga batubara sebagai komponen utama biaya listrik akan selalu jadi ancaman untuk ketahanan energi Indonesia apalagi dibandingkan potensi energi matahari dan angin yang berlimpah.”

Teknologi batubara, katanya, juga merupakan teknologi yang sudah matang hingga memperkecil kemungkinan untuk penurunan harga. Ini bertolak belakang dengan teknologi energi surya yang sudah turun drastis 90% dari tahun 2009, dan akan terus turun dalam beberapa tahun ke depan.

Penambahan kapasitas yang bersumber dari energi terbarukan angin dan surya dalam RUPTL juga dinilai tak signifikan.

Mengutip laporan Greenpeace sebelumnya, untuk berada di jalur 1,5 derajat celcius pada 2030 perlu 50% energi terbarukan dalam sektor kelistrikan.

Dengan skenario paling baik sekalipun, tanpa ada PLTU baru, Indonesia hanya bisa berada pada 26%.

“Apalagi dengan penambahan 13,8 gigawatt PLTU batubara baru.”

Dengan kata lain, posisi sumber energi Indonesia sudah terkunci oleh energi kotor hingga 40 tahun depan, sesuai masa operasional PLTU.

Mengenai strategi co-firing PLTU batubara, kata Dila, hanya jadi solusi semu.

Berdasarkan laporan The Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), keberlangungan feedstock biomassa juga akan menjadi tantangan karena jumlah besar dan harga mahal.

Sisi lain, ada ancaman perluasan lahan untuk memenuhi pasokan biomassa termasuk untuk keperluan biodiesel.

Simulasi Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia tahun lalu menunjukkan untuk realisasi B50 dalam kurun waktu 2021-2025 perlu lahan sawit produktif seluas 22,65 juta hektar. Perlu penambahan 9 juta hektar dari 13 juta lahan produktif yang ada.

“Ini berarti ancaman deforestasi dan pembukaan lahan di kawasan hutan makin besar.”

 

******

Foto utama: Turbin angin di Pulau Sumba. Foto: Tri Mumpuni

 

Exit mobile version