Mongabay.co.id

Musik dan Perubahan Bentang Alam di Sumatera Selatan

 

 

Musik adalah seni yang hadir seiring perjalanan peradaban manusia. Seni musik akan ditemukan pada setiap kebudayaan di dunia. Kehadiran sebuah karya musik sangat dipengaruhi aspek-aspek lain dari kebudayaan, seperti kepercayaan, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk kondisi sosial dan alam. Bagaimana perkembangan musik pada kelompok masyarakat terkait kondisi bentang alamnya?

Dua seniman musik dari Sumatera Selatan, Silo Siswanto dan Fikri MS, mencoba mempresentasikan karya musik yang digali dari bentang alam yang masih terjaga dan yang sudah mengalami kerusakan, dalam Festival Panggung Kecil [FPK] yang digelar Teater Potlot dan didukung Taman Budaya Sriwijaya [TBS] dan Mongabay Indonesia, 25 September-17 Oktober 2021.

Silo Siswanto, pemusik dan peneliti musik dari Universitas PGRI Palembang, mempresentasikan karya berjudul “Ayunan Umak” yang artinya “ayunan ibu”. Sementara Fikri MS mempresentasikan “Artmosf [Industrial versus Theremin Light]”.

Ayunan Umak ditampilkan dengan gitar klasik, didukung multimedia oleh Dyan Junecia, selama 15 menit.

Kata “ayunan” dijumpai dalam rejung, yakni seni sastra tutur yang diiringi gitar, pada masyarakat Suku Semende dan Pasemah yang hidup di wilayah pegunungan Bukit Barisan di Sumatera Selatan. Selain teknik “ayunan umak” juga dikenal “ayunan anak” pada rejung.

Baca: Pandemi dan Kecemasan Manusia Terhadap Persoalan Lingkungan

 

Sonia Anisah Utami mengekspresikan [tari] kenangan para ibu yang hidup di tepi Sungai Musi. Foto: Yudi Semai

 

Ayunan umak dan ayunan anak dapat dimaknai melodi dalam musikologi. “Ayunan umak dimainkan dengan nada rendah atau nada yang memiliki frekuensi besar. Sedangkan ayunan anak yang dimainkan pada nada tinggi atau nada yang berfrekuensi kecil,” kata Silo kepada Mongabay Indonesia, usai pertunjukan, Sabtu [16/10/2021].

“Ayunan umak dimainkan oleh bass yang cendrung monoton, sedangkan ayunan anak dimainkan pada nada tinggi, memiliki kreasi dan kebebasan dalam membentuk melodi,” jelasnya.

Ayunan umak dalam terminologi musik sebagai pondasi karena merangkul dan menaungi semua harmoni dan melodi dalam karya musik.

“Dalam pemaknaan, ayunan umak membawa pesan moral kepada ayunan anak. Sehingga ayunan anak yang memelajari pesan tersebut dengan pola kreativitas berbeda, berdasarkan interpretasi  pengetahuan yang didapat oleh ayunan umak,” katanya.

Sumber melodi ayunan umak, kata Silo, beranjak dari falsafah hidup masyarakat Suku Semende yang sangat menghargai alam, yang mereka sebut sebagai “umak” atau ibu.

Umak yang disimbolkan perempuan memiliki posisi penting dalam kehidupan sosial Suku Semende. Perempuan pewaris utama harta [rumah, sawah dan kebun] dalam setiap keluarga yang disebut adat “Tunggu Tubang”. Mereka percaya, perempuan lebih arif dalam mengelola harta, layaknya alam.

“Alam tidak memilih ciptaan Tuhan untuk hidup dan berkembang biak. Semuanya diberi sinar matahari, hujan, dan makanan,” kata Silo.

Intinya, “Alam merupakan ibu. Mother earth,” ujar Silo.

Maka, melodi ayunan umak biasanya menjadi pengiring sastra tutur, yang berisi pesan tentang Ketuhanan dan adat istiadat, yang menggambarkan kehidupan harmonis sesama manusia, manusia dengan makhluk hidup lainnya, dan alam.

Baca: Slank: Lagu Seleksi Alam untuk Introspeksi Kita Semua

 

Fikri MS menampilkan musik noice dari proses penghancuran hutan. Foto: Yudi Semai

 

Pencerahan

Silo Siswanto merupakan generasi ke-13 dari masyarakat rawang di wilayah Tulung Selapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI].

Masyarakat rawang adalah komunitas yang hidup di rawa gambut. Sejak tahun 1970-an, komunitas rawang mulai terdesak oleh aktifitas HPH, transmigran, HTI [Hutan Tanaman Industri], dan perkebunan sawit.

“Saat kecil saya masih merasakan jernihnya air rawa gambut di Dusun Ujung Tanjung [Tulungselapan]. Ikan-ikan air tawar seperti gabus, toman, lais, baung, didapatkan dengan mudah. Namun, sejalan dengan habisnya rawa gambut, keluarga kami terpaksa pindah ke daratan. Semua itu tinggal kenangan,” kata Silo.

Sebagai informasi, Tulungselapan merupakan kawasan rawa gambut di Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Sumatera Selatan. Namun aktifitas HPH menghabisi hutannya. Rawa gambutnya berubah menjadi kawasan HTI, perkebunan sawit, dan pertambakan udang.

“Semuanya habis. Budaya kami berubah. Sejumlah kesenian tradisional, seperti tembangan hilang, yang kini tergantikan oleh organ tunggal [OT],” kata Silo.

Tembangan merupakan sastra tutur yang diiringi alat musik, seperti rejung di Semende dan Pasemah, Senjang di Sekayu [Musi Banyuasin], Batanghari Sembilan di Palembang, atau gitar tunggal di pinggiran Kota Palembang.

Pada awalnya tembangan diiringi gitar. Tapi, dalam perkembangannya didukung ukulele, biola, dan gambus.

Ketika Silo melakukan penelitian musik rejung di Semende, “Saya seperti bertemu ibu saya [almarhum], yang merawat saya saat kecil. Itu semua karena kondisi alam di Semende yang masih terjaga, bersama rejung yang terus lestari,” ujar lelaki kelahiran 1982.

Rejung merupakan potret alam yang lestari. Jika alam di Semende rusak, mungkin rejung juga hilang seperti halnya tembangan di Tulungselapan,” katanya.

Baca juga: Pameran Mural: Bengkulu Harus Peduli pada Persoalan Lingkungan

 

Silo Siswanto, kehilangan rawa gambut, mencari ke Bukit Barisan. Foto: Yudi Semai

 

Noice kerusakan hutan

Laju deforestasi di Sumatera Selatan terus berlangsung hingga saat ini. Banyak hutan rusak akibat illegal logging, perkebunan, pertanian, serta pertambangan.

Bagi Fikri MS, kerusakan hutan tersebut menimbulkan kebisingan [noice], kebisingan deforestasi. “Karya Artmosf merupakan kebisingan deforestasi yang berlangsung di Sumatera Selatan,” kata Fikri, setelah pertunjukan yang berlangsung sekitar 20 menit.

Orkestrasi yang dihadirkan yakni kebisingan dari chainsaw, eskavator, serta pohon tumbang dan jeritan-jeritan satwa di hutan.

Guna mencapai kebisingan tersebut, Fikri menggunakan Theremin Light dan LDR [Light Dependent Resistor], yang menghasilkan bunyi noice, menggambarkan tragedi di hutan.

“Saya berharap karya ini mampu membangun kesadaran pendengarnya untuk menjaga atau melestarikan hutan,” kata Fikri.

Selain Silo Siswanto dan Fikri MS, dalam Festival Panggung Kecil [PFK], pekerja seni yang menampilkan tema persoalan lingkungan adalah Sonia Anisah Utami dengan “Remembering Mother In The River” dalam bentuk tari.

Ada juga sastra tutur Sardundun [Pasemah] yang ditampilkan Fadil Semende, Atta Show yang menampilkan musikalisasi puisi bertemakan rawa, monolog “Hula Hope Hole” oleh Kristian Padmasari, serta Teater Doel Moelok oleh Randi.

Berikutnya, pantomim oleh Palembang Mime Club, “Kelabu di Kepala Anwar” oleh Komunitas Kota Kata, “Alif dan Nun” oleh Teater Teriax, “Sepotong Tubuh Kembangan” oleh Studi Teater, dan Teater Potlot yang menampilkan “Inscribe Body”.

 

 

Exit mobile version