- Seniman Kota Bengkulu menggelar pameran mural sebagai bentuk kepedulian lingkungan.
- Mereka yang menamakan diri Atlet Mural Bengkulu ini menampilkan 32 gambar mural bertajuk Rumah Terakhir yang digelar 14 – 21 Maret 2021 lalu.
- Rumah disimbolkan tempat kembalinya semua aktivitas dari dunia luar yang bising, melelahkan dan penuh persaingan. Bagi satwa liar, rumah adalah habitatnya yang nyaman untuk menetap dan berkembang biak.
- Bengkulu merupakan rumahnya empat jenis penyu dari enam jenis yang ada di Indonesia. Yaitu penyu sisik, penyu lekang, penyu belimbing, dan penyu hijau.
Seekor penyu tengah berenang di laut penuh sampah. Matanya tampak merah. Kemalangan makin lengkap, karena di belakangnya terlihat cerobong merah putih pembangkit listrik tenaga uap [PLTU] yang mengeluarkan asap hitam pekat.
Gambaran tersebut adalah mural [lukisan di dinding atau tembok] karya kolaborasi Andi, Zhuan Zhulian dan kolega yang berjudul Last Home [rumah terakhir]. Mereka adalah seniman mural asal Kota Bengkulu.
Gambar itu hanyalah satu dari 32 karya yang dipamerkan oleh Atlet Mural Bengkulu di rumah bekas kebakaran, depan Kantor Camat Ratu Agung, Bengkulu. Pameran ini digelar 14 – 21 Maret 2021 lalu.
Rumah disimbolkan tempat kembalinya semua aktivitas dari dunia luar yang bising, melelahkan dan penuh persaingan. “Rumah adalah tempat ternyaman untuk istirahat dari semua urusan,” kata Zhuan kepada Mongabay Indonesia, akhir Maret 2021.
Namun, narasi itu berbanding terbalik dengan penyu, kata Zhuan, rumah mereka saat ini semakin terabaikan dan juga penuh ancaman. “Kami membuat mural penyu itu sebagai simbol bahwa laut kita sekarang dikotori sampah dan limbah.”
Baca: Penyu Enggan Datang ke Teluk Sepang

Indonesia merupakan rumah besar enam spesies penyu dari tujuh spesies yang ada di dunia. Jenis itu adalah penyu hijau [Chelonia mydas], penyu sisik [Eretmochelys imbricate], penyu lekang [Lepidochelys olivacea], penyu belimbing [Dermochelys coriacea], penyu pipih [Natator depressus], dan penyu tempayan [Caretta caretta].
Sebanyak empat jenis penyu ini menjadikan pesisir barat Bengkulu sebagai tempat bertelur, yaitu penyu sisik, penyu lekang, penyu belimbing, dan penyu hijau.
Khusus di Kota Bengkulu, saat ini hanya dua tempat aktif yang disinggahi penyu, yaitu Pulau Tikus [penyu sisik dan penyu hijau], dan Pantai Teluk Sepang [penyu sisik dan penyu lekang].
Namun, kedua tempat itu kini terancam pencemaran air laut, di Pantai Teluk Sepang misalnya, kini berdiri bangunan PLTU.
“Saat uji coba PLTU akhir 2019 dan awal 2020, terdata 28 penyu mati di pantai tersebut,” ujar Zhuan.
Baca: Kasus Matinya 28 Penyu di Bengkulu, Begini Hasil Uji Laboratorium

Hutan Bukit Barisan juga terancam
Pada pameran itu juga ditampilkan gambar seekor orangutan jantan dewasa yang duduk termangu. Matanya sayu sedangkan tangan kanannya menggenggam kawat berduri.
Gambar itu dibuat Budi. Menurutnya rumah satwa liar di Sumatera, di bentang Bukit Barisan juga tak kalah terancam dibandingkan satwa di pesisir dan laut.
“Hutan semakin terdesak, akibatnya satwa liar seperti orangutan, harimau sumatera, dan beruang madu terancam. Di Bengkulu habitat gajah sumatera juga mulai terganggu, sehingga ancaman kepunahan ini harus dihentikan.”
Kera besar berlengan panjang dan berbulu itu memang hanya hidup di hutan tropis, khususnya di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Di Indonesia ada tiga spesies orangutan, yaitu orangutan sumatera [Pongo abelii], orangutan tanapuli [Pongo tapanuliensis] dan orangutan kalimantan [Pongo pygmaeus].
“Ancaman nyata kehidupan satwa liar saat ini adalah hutan dikonversi menjadi perkebunan, adanya kebakaran, pembalakan liar, hingga perburuan,” ujarnya.
Baca: Banjir dan Komitmen Pemerintah Bengkulu Menanganinya

Hasil penelitian
Dalam studi yang dilakukan Maria Voigt, Serge A. Wich, Marc Ancrenaz, dkk., berjudul Global Demand for Natural Resources Elimanated More Than 100,000 Bornean Orangutans yang dipublikasikan dalam Jurnal Current Biology pada 15 Februari 2018, diperkirakan sekitar 100.000 orangutan kalimantan telah lenyap dalam 16 tahun tahun terakhir [periode 1999-2015].
“Eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan sangat mempengaruhi daerah tropis dengan keanekaragaman hayati tinggi,” tulis para peneliti.
Riset ini juga menegaskan, meskipun perkembangan pesat teknologi pemantauan jarak jauh telah memungkinkan perkiraan yang lebih tepat tentang perubahan tutupan lahan dalam skala spasial yang besar, namun pengetahuan kita tentang efek dari perubahan yang terhadap satwa liar masih jarang.
“Di sini kami menggunakan data survei lapangan, pemodelan distribusi kepadatan prediktif, dan penginderaan jauh untuk menyelidiki dampak penggunaan sumber daya dan perubahan penggunaan lahan terhadap distribusi kepadatan orangutan kalimantan,” lanjut mereka.
Penelitian itumenunjukkan, antara 1999 hingga 2015, setengah dari populasi orangutan terkena dampak penebangan, penggundulan hutan, atau perkebunan industri. Meskipun pembukaan lahan menyebabkan tingkat penurunan paling dramatis, namun perburuan adalah ancaman terbesar lainnya.
Peneliti menawarkan solusi untuk mencegah penurunan populasi orangutan, yaitu dengan cara mengatasi segala penyebabnya, di seluruh sektor politik dan sosial, seperti perencanaan penggunaan lahan, eksploitasi sumber daya alam, pembangunan infrastruktur, dan meningkatkan pengelolaan berkelanjutan jangka panjang.
Baca juga: Warga Bengkulu Protes Penghapusan FABA dari Kategori Limbah B3

Keprihatinan masyarakat
Hernandes, pengunjung pameran, turut menyampaikan keprihatinanya akan kondisi lingkungan Bengkulu dan Indonesia menyeluruh. Menurutnya, di tengah euphoria komunitas urban, seringkali kesadaran kelestarian lingkungan tidak diperhatikan.
“Kita sekarang hanya fokus pada pembangunan, kemandirian ekonomi, tapi lupa dengan kelestarian lingkungan, terutama hutan.”
Bagi Hernandes, gambar penyu dan orangutan yang ditampilkan itu adalah sebuah protes yang menyayat perasaan. “Pembangunan bukan untuk manusia saja, tapi untuk dinikmati semua makhluk hidup.”

Meidy Kurniawan [Cikmed], praktisi senirupa Bengkulu, sangat mengapresiasi pameran ini. Menurutnya lukisan itu sangat kental dengan pesan-pesan perubahan.
“Semua gambar yang ditampilkan membawa misi. Ada yang protes kondisi hutan di Bengkulu yang semakin terancam, ada yang menyinggung kondisi politik terkini yang semakin terpecah belah, ada yang menyorot sampah kota, udara kotor, perubahan sosial, hingga kritik kepada lembaga kesenian,” tuturnya.
Cikmed menegaskan, seniman Bengkulu berhasil memaksimalkan mural sebagai medium kritik. “Ini bagus sekali, berarti para seniman peduli kondisi yang terjadi,” tandasnya.